Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Golput, Kesadaran vs Kealpaan Negara

Oleh Edi V.Petebang, S.Sos Pemilu Legislatif 2014 paripuran sudah; kita memiliki wakil-wakil di pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Apakah Anda memilih mereka yang duduk ini atau tidak, itulah konsekuensi dari sistem Pemilu kita. Ironis memang, misalnya, ada Caleg Pusat yang mendapat 60 ribu suara pribadi tetapi tidak mendapat kursi di Senayan. Sebaliknya, ada yang mendapat 27 ribu suara pribadi malah melenggang ke Senayan. Sistem ini harus kita perbaiki agar wakil rakyat kita benar-benar representatitf. Itu sisi lain dari Pemilu yang lalu. Dimensi lain yang tidak kalah mencengangkan kita dalam Pileg 2014 adalah tingginya angka golongan putih (golput). Sejak istilah golput ini dipopulerkan Arif Budiman pada Pemilu 1971, pengikut “partai golput” ini terus menanjak. Dalam Pemilu 1971 Golput 6,67%. Pada Pemilu 1977 Golput naik jadi 8,40%; tahun 1982 Golput 9,61%; Pemilu 1987 Golput 8,39%; Pemilu 1992 Golput 9,05%; Pemilu 1997 Golput 10,07%; tahun 1999 sejumlah 10.40%; Pemilu 2

Bom Waktu Konflik Lahan di Aliran Sungai Jelai

Selama dua pekan, akhir Februari sampai awal Maret 2014, jurnalis warga Ruaitv, Edi Petebang, mengunjungi puluhan kampung di sepanjang aliran sungai Jelai Kiri di kecamatan Jelai Hulu dan kampung-kampung di aliran Sungai Jelai di Kecamatan Manis Mata. Perjalanannya dimulai dari Dusun Benatu, Desa Limpang Jaya, Kecamatan Jelai Hulu dan berakhir di Desa Pakit Suak Burung, Kecamatan Manis Mata, desa terakhir berbatasan langsung dengan Kalteng. Dalam setiap diskusi dengan warga di desa-desa di sepanjang aliran sungai ini, masalah utama yang mereka hadapi adalah belum direalisasikannya kebun mitra dari perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana. Padahal warga sudah menyerahkan tanah kepada perusahaan. Kondisi ini jika dibiarkan maka akan menjadi bom waktu konflik perebutan lahan antara perusahaan dengan masyarakat di sana. Seperti diketahui,perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di sana menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Masyarakat menyerahkan tanah 10 hektar akan

Jalan Hilang di Pedalaman Ketapang…

Ada fenomena memprihatinkan terhadap sejumlah ruas jalan di pedalaman kabupaten Ketapang, terutama di Kecamatan Jelai Hulu. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah jalan yang menghubungkan antar desa dan kecamatan jarang dipergunakan warga. Akibatnya badan jalan hampir tidak kelihatan lagi dan di atas jalan ditutupi pepohonan. Seperti yang terlihat di ruas jalan yang menghubungkan Desa Riam dengan Desa Biku Sarana dan Sengkuang Merabung. Jalan selebar emat meter ini tersisa sekitar 20 sentimeter lagi akibat ditutupi rumput dan pohon. Menurut Rudian, kepala desa Biku Sarana, mulanya itulah satu-satunya jalan yang dipakai meski pun rusak parah. Namun setelah masuknya perusahaan perkebunan sawit, warga memilih jalan perusahaan meskipun lebih jauh tetapi lebih baik. Karena tidak dipakai lagi, maka jalan antar desa itu menjadi seperti hutan. Selain jalan, kondisi jembatan juga sangat memprihatinkan. Seperti terlihat di   jembatan yang menhubungkan Desa Pasir Mayang dan Limp

Menanti Tanggung Jawab Perusahaan Tambang

Sejak 15 Januari 2014 Pemerintah melarang seluruh operasional perusahaan tambang mineral dan batubara yang tidak mempunyai pabrik pengolahan   atau smelter.Salah satu perusahaan itu adalah PT KWAM, anak perusahaan Harita Grup, yang berlokasi di Desa Limpang Jaya, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang, Kalbar. Perusahaan tambang bijih besi tersebut sudah berhenti total. Penghentian operasional perusahaan ini menimbulkan dampak bagi perusahaan dan karyawannya serta masyarakat yang sudah menyerahkan lahan untuk lokasi tambang. Dampak yang paling terasa adalah kehancuran lingkungan dan masyarakat kehilangan lapangan kerja. Seperti yang terlihat di areal Bukit Sejambuan, Desa Limpang Jaya, bukit yang dikeruk bekas galian tambang dibiarkan begitu saja. Perusahaan sama sekali tidak melakukan penghutanan kembali areal bekas tambangnya. Menurut Philip, Ketua BPD Desa Limpang Jaya, masyarakat di desanya meminta dua hal kepada perusahaan. Pertama, perusahaan dibuka kembali

Warga Silingan-Ketapang Terancam PT WHW

Pembangunan pabrik pengolahan tambang bauksit dan bijih besi milik PT WHW mengancam keselamatan warga kampung Silingan, Desa Mekar Utama Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang-Kalimantan Barat. Warga merasa terancam karena jutaan ton lumpur gambut yang dikeruk PT WHW untuk lokasi pabrik itu dibuang ke hulu sungai tidak jauh dari kampung mereka. Mereka kuatir jika musim hujan, lumpur tersebut akan hanyut dan menutupi sungai dan perkampungan warga. PT WHW di Silingan, Kendawangan, Ketapang Selain soal limbah tersebut, warga juga menuntut kejelasan soal perusahaan tersebut karena mereka belum pernah mendapat penjelasan. “Kami juga menuntut agar perusahaan memberikan lapangan kerja kepada masyarakat di sekitar perusahaan, yakni dari kampung Silingan, Sungai Gantang, Sukaria, Cempedak, dan Kelukup Belantak,”jelas Kuni, kepala adat kampung Silingan. Warga juga mempertanyakan keberadaan puluhan tenaga kerja asal negara RRC di perusahaan tersebut karena tidak ada laporan ke