Langsung ke konten utama

Jalan Hilang di Pedalaman Ketapang…


Ada fenomena memprihatinkan terhadap sejumlah ruas jalan di pedalaman kabupaten Ketapang, terutama di Kecamatan Jelai Hulu. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah jalan yang menghubungkan antar desa dan kecamatan jarang dipergunakan warga. Akibatnya badan jalan hampir tidak kelihatan lagi dan di atas jalan ditutupi pepohonan.


Seperti yang terlihat di ruas jalan yang menghubungkan Desa Riam dengan Desa Biku Sarana dan Sengkuang Merabung. Jalan selebar emat meter ini tersisa sekitar 20 sentimeter lagi akibat ditutupi rumput dan pohon. Menurut Rudian, kepala desa Biku Sarana, mulanya itulah satu-satunya jalan yang dipakai meski pun rusak parah. Namun setelah masuknya perusahaan perkebunan sawit, warga memilih jalan perusahaan meskipun lebih jauh tetapi lebih baik. Karena tidak dipakai lagi, maka jalan antar desa itu menjadi seperti hutan.

Selain jalan, kondisi jembatan juga sangat memprihatinkan. Seperti terlihat di  jembatan yang menhubungkan Desa Pasir Mayang dan Limpang Jaya. Jembatan ini tersisa beberapa keping papan dan jalannya seperti bubur sehingga jika musim hujan praktis jalur ini tidak dipakai warga lagi.

Warga berharap agar pemerintah memperbaiki jalan darat di sana karena jika suatu waktu perusahaan menutup jalan mereka, maka masyarakat akan sangat kesulitan untuk melakukan aktivitas mereka. Jalan tersebut merupakan urat nadi perekonomian mereka. Jalan darat adalah nyawa mereka karena tidak ada lagi transportasi lain. Jika jalan darat ini lancar, maka bisa dipastikan ekonomi rakyat dengan sendirinya akan berkembang pesat. Hasil-hasil perkebunan, ternak, maupun hasil hutan bisa diangkut dengan lancar jika jalannya baik.

Warga Ketapang Selatan juga berharap agar dalam Pemilu nanti ada dari warganya yang terpilih sebagai wakil mereka di provinsi. Menurut Asurdius, pejabat Kepala Desa Tanah Hitam Kecamatan Singkup, selama ini persoalan yang ada di wilayah Ketapang selatan ini, seperti jalan provinsi, tidak terakomodasi karena tidak adanya putra Ketapang Selatan di DPRD Provinsi.Karena itu ia berharap warga Ketapang Selatan kompak memilih warga dari wilayah Ketapang Selatan sebagai wakil di provinsi.

Jurnalis warga Edi Vinsensius Petebang melaporkan untuk Ruaitv

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany