Langsung ke konten utama

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir.
Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak

Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing. 

Apa yang saya alami rupanya dirasakan orang-orang yang pernah naik mobil sejenis; baik ke Tumbang Titi, Nanga Tayap, Sandai dan kota/desa di jalur Selatan lainnnya. Penumpang selalu ingin duduk di depan karena merasa lebih aman dan tidak mabuk. Karena umumnya mobila travel ini dipacu dengan kecepatan yang cukup tinggi, antara 70-110 km. Sopir sengaja berkecepatan tinggi karena jarak yang cukup jauh dan jalanan yang relatif sepi, tidak seramai jalur ke kawasan Pantai Utara (Singkawang-Sambas). Jalan yang berkelok dan turun naik dengan kecepatan tinggi membuat kita mudah mabuk.

Di perjalanan, beberapa kali kami berhenti. Yang wajib berhenti adalah di penyeberangan Tayan-Piasak. Ketika kami melintas PT ASDP mengoperasikan Ferry KMP Seluang yang hanya bisa membawa 2 bis/truk dan 4 mobil kecil. Karena ada puluhan mobil yang lebih duluan mengantri, sopir memilih penyeberangan swasta dengan kapal ponton. Kapal ini lebih cepat dan bisa mengangkut 12-14 mobil. Bedanya harga tiket fery ASDP Rp.50.000 per mobil; kalau pakai ponton Rp.100.000. “Kalau kita menunggu fery Seluang tadi bisa 3 jam menunggu disini,”jelas sopir.

Ketika pulang saya, kebetulan PT ASDP mengoperasikan KMP Silok dengan kapasitas lebih besar, bisa mengangkut 14 mobil. Hanya menunggu satu jam, kami bisa mendapat giliran menyeberang. Mestinya dengan banyaknya mobil yang melintas di Tayan-Piasak ini setiap hari PT ASDP mengoperasikan kapal yang besar.

Dari Piasak perjalanan dilanjutkan dengan mulus. Di kiri-kanan jalur darat yang mulus sampai ke kota kecamatan Nanga Tayap ini kita bisa menyaksikan areal pertambangan PT Antam, perkebunan sawit, kebun  karet, ladang, sawah, kebun, bebukitan dan kampung-kampung penduduk.

Jalan aspal berakhir enam kilometer meninggalkan Nanga Tayap. Mulai dari simpang Desa Betenung sampai ke Tumbang Titi sekitar 39km, jalanan berdebu jika kemarau dan licin jika hujan karena jalan tanah merah. Meski jaraknya dekat, namun dengan mobil paling cepat Tayap-Tumbang Titi bisa ditempuh dua jam. Pukul 21.00 wib saya baru sampai ke rumah adik di Tumbang Titi, setelah sebelumnya membayar ongkos perpenumpang Rp.400.000. Meski belum ada tarif resmi dan trayek resmi yang dikeluarkan pemerintah, karena cukup tingginya permintaan penumpang dari dan ke Tumbang Titi dan sekitarnya, ada biro jasa travel yang melayani penumpang ke sini (masih berplat hitam, alias belum ada izin resmi).    

42 jarau dalam menganjan alm.silan di serengkah kanan
Selama tiga hari (6-8/7) saya dan tim dari Institut Dayakologi mendokumentasikan “ritual menganjan” Dayak Pesaguan di Serengkah Kanan. Ini ritual langka karena perlu waktu tiga hari dan biaya puluhan juta rupiah.

Senin (9/7) mulai pukul 01.00-11.00 wib, setelah kemarau sebulan, kawasan Tumbang Titi, Tayap diguyur hujan lebat. Air bah dari hulu menggenangi jalan darat. Jalur di dekat Desa Batu Tajam 2 sedalam 1-2 meter. Ratusan motor dan belasan mobil tidak bisa lewat. Untunglah ada warga yang berinisiatif (sekalian meraup rupiah) membuat rakit dari ban mobil untuk menyeberangkan motor dan pengemudinya. Tiga titik jalan yang  memakai rakit, masing-masing permotor membayar Rp.20.000. Sorenya, kiriman dari hulu sungai Pesaguan menyebabkan banjir besar di Tumbang Titi dan menggenangi rumah di pasar hampir semeter tingginya.
Antrian rakit saat banjir dekat Bt.Tajam2

Lolos dari tiga titik di Batu Tajam 2, banjir kembali menghadang di jalur dekat Desa Batu Mas. Syukurnya motor masih bisa lewat dengan didorong karena kedalaman air baru sekitar setengah meter. Akibat banjir tersebut, perjalanan Tumbang Titi-Tayap yang biasanya hanya 1,5 jam; menjadi 3 jam.

Malam itu saya bermalam di sebuah losmen di Nanga Tayap untuk melanjutkan perjalanan dengan mobil travel berplat kuning ke Pontianak esoknya. Agak unik, karena di mobil travel tersebut tertulis jurusan Pontianak-Sintang; bukan Nanga Tayap-Pontianak.
  
Perjalanan darat Pontianak ke kawasan Selatan bak resonansi nada; naik turun, berkelokan, mulus dan kasar; namun menghasilkan nada yang merdu, menghasilkan pengalaman hidup yang beragam; menampakkan apa yang telah dilakukan pemerintah untuk membangun pedalaman Kalimantan Barat.***  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K