Langsung ke konten utama

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan


Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta?

Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto Bersih, Aman, Indah, Sehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya.

Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak seimbang: enam orang melawan dua orang di kawasan Perum Korpri Jalan Seranai III, Juata Kec. Tarakan Utara. Abdul Rahman (suku Tidung) bersama Jay, warga Belalung Kelurahan Juata Permai berniat membeli rokok di Perum Korpri Jalan Seranai III, Juwata Kec. Tarakan Utara. Ia bertanya kepada sekawanan pemuda (warga Bugis Letta) yang tidak dikenalnya untuk mencari Rudy. Terjadi pembicaraan dan entah apa sebabnya terjadilah pemalakan dan pengeroyokan terhadap Jay dan Rahman. Abdul Rahman mengalami luka-luka akibat pengeroyokan itu.

Jay melarikan diri dan melapor kepada salah satu keluarganya, Lili Sutrisna dan ayah Rahman, Abdullah bin Salim (56). Lili awalnya hanya mengajak Jay, namun Abdullah memaksa ikut. Sekitar pukul 00.30 WIT, Abdullah beserta enam orang rekannya mencari para pelaku pengeroyokan dengan membawa mandau, parang dan tombak.

Mereka mendatangi sebuah rumah yang diduga tempat tinggal salah seorang pengeroyok. Penghuni rumah yang mengetahui akan diserang lalu mempersenjatai diri dengan badik dan parang. Terjadilah perkelahian antara kelompok Abdullah dengan penghuni rumah (warga Suku Bugis Letta). Naas, Abdullah meninggal akibat sabetan senjata tajam.

Kabar perkelahian dan kematian Abdullah segera menyebar luas. Apalagi Abdullah adalah imam masjid sekaligus penghulu. Warga Tidung marah besar atas kematian Abdullah. Pukul 01.00 WIT di Perum Korpri Jl Seranai III Tarakan Utara terjadi penyerangan yang dilakukan sekitar 50 orang warga Tidung lengkap dengan mandau, parang dan tombak. Warga merusak rumah milik Noodin (warga Bugis Letta).

Pada pukul 05.30 WIT terjadi lagi pembakaran terhadap rumah milik Sarifudin (Bugis Letta) di Perum Korpri Jl. Seranai RT 20 Kel.Juata Permai, Tarakan Utara. Massa juga mencari Asnah (Bugis Letta), namun berhasil diamankan anggota Brimob.

Tarakan mulai mencekam. Beredar isu sweeping oleh suku Tidung. Rumah warga Tidung diberi tanda pita berwarna kuning dan rumah warga Bugis diberi tanda pita putih. Pukul 10.00 WIT massa kembali mendatangi rumah tinggal Noodin dan langsung membakar berikut empat sepeda motornya.

Polisi menahan dan memeriksa sembilan orang sebagai saksi untuk menyelidiki insiden itu. Kabar penangkapan tersebut memicu kedatangan kelompok kerabat Abdullah yang meminta tersangka diserahkan untuk diadili dan mengepung kantor Polres Kota Tarakan. Tidak ada insiden karena massa kemudian membubarkan diri.

Pukul 14.30 WIT Abdullah dimakamkan. Sorenya, pukul 18.00 WIT terjadi pengeroyokan terhadap Samsul Tani (warga Bugis), warga Memburungan RT 15 Kec Tarakan Timur, Kota Tarakan, oleh orang tidak dikenal.

Karena keadaan belum bisa dikendalikan, personel gabungan dari Polres Tarakan diperbantukan untuk mengamankan TKP.

Agar konflik tidak meluas, pada pukul 20.30-22.30 WIT bertempat di Kantor Camat Tarakan Utara diadakan pertemuan yang dihadiri unsur Pemda setempat seperti Walikota, Sekda, Dandim, Polda serta perwakilan dari Suku Bugis dan Suku Tidung. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.

1. Sepakat untuk melihat permasalahan tersebut sebagai masalah individu.
2. Sepakat untuk menyerahkan kasus tersebut kepada hukum yang berlaku.
3. Segera temukan pelaku.
4. Seluruh kegiatan pemerintahan dan perekonomian berjalan seperti biasa.
5. Elemen masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama mendukung upaya
penegakkan hukum.
6. Mengatasi akar permasalahan secara tuntas.
7. Tidak menciptakan pemukiman yang homogen.
8. Seluruh tokoh elemen masyarakat memberikan pemahaman kepada warganya agar
dapat menahan diri.
9. Peranan pemerintah secara intern terhadap kelompok etnis.

Pada hari Selasa 28 September 2010 pada pukul 11.30 WITA, telah diamankan 2 (dua) orang yang diduga kuat sebagai pelaku pembunuhan Abdullah, yaitu Baharudin alias Bahar (20 tahun) berperan pelaku penebas parang ke tubuh Abdullah dan Badarudin alias Ada (16 tahun) yang membantu Bahar.

Meski sudah ada kesepakatan damai, namun pihak yang bertikai belum puas. Karena itu pada hari Selasa (28/9) kerusuhan kembali pecah di kota Tarakan, tepatnya di simpang empat Grand Tarakan Mall. Dalam kerusuhan hari ini Pugut dan Mursidul Amin tewas serta empat orang terluka. Kios-kios di Jalan Gajahmada dibakar. Satu rumah di belakang mal itu dibakar massa yang marah. Lokasi bentrokan cuma 100 meter dari kantor Polresta Tarakan dan 1.000 meter dari Lanal Tarakan yang keduanya jadi tempat pengungsian.

Rabu (29/9) bentrokan kembali pecah di jalan Yos Sudarso mulai pukul 08.00 WIT. Dua orang tewas dalam bentrokan ini, yakni Iwan (31) dan Unding (30). Saat bentrokan kota Tarakan sedang gerimis. Massa Bugis Letta yang mengenakan ikat kepala pita putih datang dan berhadap-hadapan dengan massa suku Tidung yang bertanda ikat warna kuning. Polisi yang berjaga-jaga tidak mampu menahan massa, sehingga bentrokan pun tidak bisa dihindari. amuk massa dari kedua belah pihak. Pukul 11.00-16.00 WIT massa terkonsentrasi di dua titik. Suku Tidung di sekitar masjid Al Ma'arif dan massa Bugis Letta di Jalan Gajahmada.

Rabu siang (29/9) kerusuhan dapat diatasi. Dan pada Rabu malam kedua belah pihak sepakat menandatangani perdamaian. Dikutip dari situs www.bbcnews.co.uk dan www.kompas.co.id perundingan damai dipimpin oleh Gubernur Kalimantan Timur Awang Faruk bertemapt di VIP Bandara Juwata, Tarakan. Selengkapnya BERIKUT 10 kesepakatan damai itu.

 

10 Kesepakatan Tarakan

1. Forum Komunikasi Rumpun Tidung (FKRT) Kota Tarakan sebagai pihak ke satu
2. Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kota Tarakan sebagai pihak ke dua

Sehubungan dengan peristiwa kelabu tanggal 27-29 September 2010 yang merupakan tragedi yang menimpa masyarakat kota Tarakan Kaltim yang tentunya tidak diinginkan oleh semua pihak yang selama ini hidup damai dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka masing-masing pihak yang tersebut di atas menyatakan hal hal sebagai berikut.

1. Mengakhiri segala bentuk pertikaian dan membangun kerjasama yang harmonis demi kelanjutan pembangunan kota Tarakan khususnya dan Kaltim umumnya.
2. Memahami bahwa apa yang telah terjadi adalah murni persoalan tindak pidana dan merupakan persoalan individu bukan persoalan kelompok/suku/agama.
3. Menyerahkan penanganan persoalan tersebut kepada aparat yang berwajib sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
4. Bersepakat melaksanakan pembubaran konsentrasi massa yang berada di semua tempat sekaligus melarang atau mencegah membawa/menggunakan senjata tajam/senjata lainnya di tempat tempat umum sesuai perundangan yang berlaku.
5. Menghormati tradisi dan adat istiadat yang berlaku sebagai upaya meningkatkan dan mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan sebagai warga kota Tarakan sesuai dengan kata pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
6. Masyarakat yang berasal dari luar kota Tarakan dari kedua belah pihak yang berniat membantu penyeleseian perselisihan agar segera kembali ke daerah masing-masing selambat-lambatnya 1x24 jam.
7. Semua pengungsi di semua lokasi akan dipulangkan ke rumah masing-masing difasilitasi oleh pemerintah kota Tarakan dan Aparat.
8. Diharapkan pemerintah kota Tarakan dan pemerintah provinsi Kaltim membantu kerugian kerugian mateiil dan immateriil yang dialami semua korban dari kedua belah pihak.
9. Apabila setelah pernyataan kesepakatan damai dari kedua belah pihak dilanggar, maka aparat yang berwenang akan mengambil tindakan tegas sesuai perundang-undangan yang berlaku.
10.Mensosialisasikan hasil pernyataan kesepakatan damai ini kepada seluruh masyarakat kota Tarakan terutama warga kedua belah pihak.

Kesepakatan ini berlaku sejak ditandatangani oleh semua pihak pada hari Rabu tanggal 29 September 2010 pukul 18.30 WITA.

Tarakan, 29 September 2010
Pihak Pertama, Forum Komunikasi Rumpun Tidung; tertanda Sabirin Sanyong, MSi.
Pihak Kedua, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kota Tarakan; tertanda Ir. Yancong

Saksi-saksi yang turut menandatangani kesepakatan itu adalah (1). H. Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim; (2). Luther Kombong, DPD RI; (3). H.M. Mukmin Faisyal, Ketua DPRD Kaltim; (4). Mayjen TNI Tan Aspan, Pangdam VI Mulawarman; (5). Irjenpol Soenarko, Asisten Operasi Kapolri.

"Mereka sudah sepakat untuk mengakhiri pertikaian dan perselisihan dan sepakat pula untuk menyelesaikan persoalan ini kepada pihak kepolisian," jelas Kepala Humas Polda Kalimantan Timur, Komisaris Besar Antonius Wisnu Sutirta kepada BBC Indonesia.

Antonius mengakui bahwa ini bukan kesepakatan damai pertama yang dicapai oleh kedua pihak yang bertikai dalam minggu ini namun dia mengatakan yakin kesepakatan ini akan dipatuhi dan dilaksanakan. "Kalau ada yang melanggar kesepakatan ini, maka kedua pihak sudah setuju, penyelesaiannya akan ditangani polisi dengan memakai aturan yang ada,"jelasnya.

Menindaklanjuti kesepakatan damai tersebut Walikota Tarakan H. Udin Hianggio mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 300/1566 tertanggal 01 Oktober 2010 yang berisikan 7 hal seperti berikut.

Surat Edaran Walikota Tarakan
1. Setiap warga masyarakat Kota Tarakan agar tidak terpengaruh/terpancing oleh berbagai bentuk provokasi/isu-isu yang mungkin sengaja dihemuskan/disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik melalui SMS maupun cara-cara dan bentuk lainnya.
2. Semua Kantor Pemerintahan, Kantor Perbankan, Kantor Perusahaan, BUMN, BUMD, Jasa Angkutan Darat/Laut/Udara, Jasa Perhotelan, Tempat Wisata, agar tetap melaksanakan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana mestinya.
3. Semua sekolah, sarana pendidikan mulai PAUD. Play Group, TK, SD/Ibtidaiyah, SLTP/Tsanawiyah, SLTA/Aliyah, Kampus Perguruan Tinggi dan Lembaga Pendidikan lainnya, agar tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar sebagaimana mestinya.
4. Pusat-pusat perbelanjaan, kompleks pertokoan, pasar, restoran, warung dan seluruh usaha/kegiatan jasa boga dan jasa lainnya agar tetap buka dan melaksanakan aktifitas sebagaimana biasa.
5. Semua tempat ibadah, Majelis Ta`lim, kebaktian dan kegiatan keagamaan lainnya agar tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.
6. Setiap Warga agar dapat meningkatkan jalinan silaturahmi, saling hormat menghormati, memupuk rasa persaudaraan dan bekerjasama tanpa memandang latar belakang Suku dan Agama serta hal-hal lainnya yang menjadi fitrah bagi manusia.
7. Menghindarkan diri dari segala bentuk perkatan tulisan maupun perbuatan yang dapat merusak tatanan social, adat istiadat dan norma-norma kehidupan masyarakat baik secara indivindu, kelompok maupun secara kelembagaan.

Untuk mengendalikan kerusuhan, dari Jakarta, Rabu 29/9, Mabes Polri dan TNI mengirim satu Batalyon TNI dan 172 Personel Brimob Dikirim ke Tarakan. Kapolri memerintahkan seluruh Kapolda dan apapar kepolisian dan TNI untuk memperketat penjagaan di wilayah perbatasan Kaltim dengan Kalteng, Kalsel dan Kalbar untuk mencegah masuknya orang luar ke Tarakan.

Di Jakarta (29/9) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh jajaran pemimpin formal dan informal di Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim), turun tangan untuk memastikan konflik antarkomunitas di daerah itu tidak meluas. Keterlambatan penanganan konflik yang pernah mengakibatkan meluasnya kerusuhan Sampit di Kalteng tahun 2000 diharapkan tidak terulang kembali.

Kepada pers di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh pemimpin formal dan informal di Tarakan turun tangan untuk memastikan konflik antarkomunitas itu tidak kian meluas dan tidak terlambat ditangani. Presiden menginstruksikan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, dan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.

”Saya ingatkan lagi kepada tiga pejabat yang tadi pagi saya berikan instruksi, dulu kenapa peristiwa Sampit jadi luas dan besar, karena saat terjadi kekerasan, tidak dilakukan langkah-langkah cepat, tepat, terpadu, dan tuntas,” ujar Presiden di Kantor Presiden kemarin.

Ditegaskan Presiden, penanganan bentrokan dan ketegangan di Tarakan saat ini tidak dapat diserahkan kepada kepolisian dan TNI saja. Gubernur, wali kota, camat, kepala desa, serta tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama dan tetua adat, diharapkan Presiden agar turun tangan menyadarkan semua pihak supaya kekerasan tidak berkembang.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengemukakan, pihaknya telah mengoordinasikan penanganan masalah Tarakan dengan Polri dan TNI, dengan menambah pasukan keamanan di sana.

Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, mengaku prihatin dengan bentrokan yang melibatkan warga dari Suku Bugis dengan Suku Tidung di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Syahrul mengaku, siap membantu upaya perdamaian antara kedua kelompok tersebut.

Syahrul juga mengaku sudah menjalin komunikai dengan Gubernur Kaltim Awang Faruk dan tokoh-tokoh Sulsel yang sudah lama bermukim di Tarakan. Dia berharap, bisa segera ditemukan jalan keluar sebagai upaya perdamaiaan. Syahrul yakin masalah ini akan cepat diselesaikan aparat keamanan. Sebab karakter perantau Bugis-Makassar pandai bergaul dengan warga di beberapa daerah.

"Saya meminta kasus ini ditangani secara persuasif dan peran kepolisian harus optimal. Saya juga mengimbau warga asal Sulsel tidak terprovokasi dengan kasus ini," ungkap Syahrul.

Sejak bentrokan hari Senin dinihari, maka mulai senin (27/9) semua toko, rumah makan, dan tempat belanja meletus tutup total. Suasana kota menjadi seram dan aktivitas kota nyaris lumpuh total. Angkutan umum tidak beroperasi kecuali penerbangan. Perahu cepat hanya melayani tujuan keluar Tarakan. Penumpang pesawat ketika mendarat di Bandar Udara Internasional Juwata, Kota Tarakan diminta tidak pergi sendiri, apalagi melewati konsentrasi massa. Di Kota Tarakan, jalan amat lengang.”Kami tidak bisa beli makanan karena semua toko dan warung tutup,” kata Yanti, seorang warga kepada Kompas.

Warga dari suku Tidung maupun Bugis Letta dan etnis lainnya berduyun-duyun meninggalkan rumah dengan sepeda motor atau berjalan kaki. Yang lebih banyak menumpang kendaraan polisi dan tentara. "Dari pagi, ada anggota TNI yang mengetok pintu rumah ke rumah. Mereka mengimbau warga untuk mengungsi. Tidak ada paksaan. Tetapi kami merasa di sini lebih aman," ujar seorang pengungsi.

Mereka mengungsi ke pangkalan TNI AL Jl Yos Sudarso, Tarakan, kemudian di Yonif 613 Raja Alam, Juata, Kodim dan instalasi militer lainnya. Banyak juga yang pergi meninggalkan Tarakan menuju kabupaten/kota terdekat yang lebih aman. Mereka pergi meninggalkan rumah membawa barang seadanya, yaitu pakaian pada tubuh, bantal, tikar, serta sedikit makanan dan air. Ada yang datang dengan perahu dan memarkirkan kendaraan laut mereka itu di pangkalan. Hingga Rabu malam (29/9) ada 32.000 warga yang mengungsi.

Keadaan baru mulai pulih pada Kamis (30/9), setelah terjadi kesepakatan damai. Sekolah yang diliburkan sejak senin mulai masuk kembali.Toko dan sejumlah perkantoran pun mulai normal. Para pengungsi kembali ke rumah masing-masing, termasuk yang mengungsi ke luar kota Tarakan.    

Selama kerusuhan sejak Minggu hingga Rabu total lima orang yang tewas, yakni Abdullah, Mursidul Armin, Pugut, Iwan (31), dan Unding (30). Selain tewas, empat warga terluka, belasan kios dibakar, 6 rumah rusak dan dibakar, dan 4 sepeda motor terbakar.

Kalbar siaga
Tempias dari bara konflik etnis di Tarakan mulai dirasakan juga di provinsi Kalimantan lainnya, terutama Kalbar. Selain punya sejarang panjang konflik antar-etnis, di Kalbar warga Bugis cukup banyak. Untuk mencegah konflik dan memberikan rasa aman dan damai, Gubernur Kalbar bersama POlda dan Kodam XII Tanjungpura mempertemukan tokoh etnis-etnis yang ada di Kalbar.

Para tokoh etnis itu mendeklarasikan pernyataan cinta damai di Kantor Gubernur Kalbar, Rabu (29/9/2010). Ketua Dewan Adat Dayak Kalbar Thadeus Yus menyatakan, pada dasarnya masyarakat Dayak tidak menginginkan terjadi tindak kekerasan seperti bentrokan antarwarga yang terjadi di Kota Tarakan, Kaltim. "Kami masyarakat Dayak cinta damai dan menganggap etnis lainnya sebagai saudara," ujar Thadeus.

Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Kalbar Chairil Effendy juga menyatakan hal senada. "Masyarakat Kalbar sebenarnya sudah jenuh dan capek seperti insiden di Kota Tarakan sehingga selalu berusaha menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masing-masing," katanya.

Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kalbar Kadir Ubbe mengatakan, warga KKSS di Kalbar selalu menjaga hubungan baik dan silaturahim antaretnis. Ia menuturkan, insiden di Kota Tarakan perlu diwaspadai karena satu pulau dengan Kalbar. "Kami berharap para tokoh masyarakat dan etnis menggunakan ketokohannya untuk mengajak masyarakat agar tidak terpancing oleh isu-isu yang menyesatkan," ujar Kadir.

Kapolda Kalbar Brigjen (Pol) Sukrawardi Dahlan mengimbau masyarakat agar tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang sifatnya memperkeruh suasana.

Di Kalsel, puluhan tokoh dari berbagai agama dan 17 tokoh etnis di Kotabaru, Kalsel berikrar damai (29/9). Wakil Bupati Kotabaru, Rudy Suryana, usai berkoordinasi bersama tokoh agama dan perwakilan dari 17 suku di Kotabaru mengatakan, jauh-jauh hari Kotabaru telah membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Saijaan untuk mempererat kebersamaan dan persaudaraan agar tetap terjaga.

"Bertepatan dengan terjadinya konflik di Tarakan itu, forum ini kembali dimantapkan dengan mengucapkan ikrar dan menyelenggarakan kegiatan pentas budaya daerah," jelasnya seperti diberitakan Kompas (30/9)
.
Tujuan dari ikrar damai tersebut, kata Rudy, agar tidak terjadi konflik horizontal antarsesama, seperti yang terjadi di Tarakan, Sampit dan Poso. "Karena meskipun masyarakat Kotabaru yang terdiri dari berbagai adat istiadat dan suku serta budaya itu, tetapi tetap satu, yakni "Masyarakat Saijaan", masyarakat yang seia sekata," terangnya Rudy.

Akar Konflik
Mirip dengan konflik sejenis yang pernah terjadi di Kalbar dan Kalteng, akar konflik di Tarakan adalah banyak fakator yang menyatu: faktor ekonomi, sosial, budaya, politik dan lainnya serta belum adanya sense of conflict di kalangan aparat keamanan di sana.

Jika saja aparat sensitive terhadap konflik, kerusuhan ini diyakini bisa dicegah. Sangat disayangkan aparat kepolisian terkesan lamban dan aparat sipil sepertinya menyepelekan konflik ini awalnya.

Sebelum kasus pengeroyokan terhadap Abdul, menurut sejumlah warga Tarakan sudah ada dua peristiwa yang membuat warga Tidung marah. Seperti yang dituliskan Ismail, seorang warga Tarakan (lihat "Puluhan Tahun Kami Hidup Damai, tiba-tiba…"), pertama adalah kasus perkosaan terhadap gadis Tidung yang diduga dilakukan oknum warga Bugis. Kedua, pemukulan sepasang kekasih dari suku Tidung oleh oknum Bugis. Mestinya ketika terjadi kasus perkelahian yang menewaskan Abdullah, polisi sudah tahu bahwa itu bukan perkelahian biasa dan segera mengerahkan pengamanan yang maksimal


Di jajaran pejabat sipil pun setali tiga uang. Awalnya pemerintah menganggap kerusuhan di Tarakan perkelahian biasa.  Ini tercermin dari pendapat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Gubernur Kaltim Awang Faroek. Menurutnya kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim), merupakan perkelahian biasa antarwarga. Hanya karena kebetulan melibatkan warga dari dua etnis berbeda.

“Itu kan insiden yang tiba-tiba-tiba saja,  perkelahian biasa saja, kebetulan saja dari dua suku,” ujar Gawaman Fauzi kepada wartawan di kantornya, Selasa (28/9) seperti dimuat situs www.hariansumutpos.com.

Gamawan mengaku sudah dua kali bicara dengan Gubernur Kaltim, Awang Farouk. Dari penjelasan Awang, kata Gamawan, situasi di Tarakan sudah aman. “Sudah aman, aman. Proses hukumnya berjalan dan sudah semakin tenang,” ujar Gamawan yang mantan gubernur Sumbar itu menirukan ucapan Awang Faroek.

Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Prof.Sarosa Hamongpranoto menilai, bentrokan antarkelompok warga Tarakan terjadi bukan cuma akibat satu masalah.”Saya rasa ada kecemburuan sosial dan konflik budaya,” kata Sarosa (Kompas 30/9). Maksudnya, ada kelompok yang lebih berhasil daripada kelompok lain. Perbedaan budaya terkadang dalam hal yang sepele— misalnya ucapan—bisa memicu pertikaian lebih besar.

Sarosa menyarankan aparat dan pemerintah bahu-membahu mengatasi konflik di Tarakan dengan menciptakan kebersamaan. Tindakan tegas terhadap warga yang memancing keributan jelas perlu, tetapi untuk menghadapi massa yang kesal perlu pendekatan yang bersahabat.

Sama seperti konflik serupa di tempat lain yang membawa nama etnis, konflik di Tarakan pun sesungguhnya tidak melibatkan semua warga Tidung dan Bugis. Masih jauh lebih banyak warga Tidung dan Bugis yang menghindari konflik dan cinta damai. Buktinya di pengungsian mereka berbagi makanan dan kasih sayang. Anak-anak kecil dibelai dan dihibur agar tidak menangis. Mereka saling merawat agar tidak ada yang sakit dan rasa penderitaan berkurang. Mereka sama-sama mengangis melihat sesama saudara saling bunuh.

Pasti kita semua berharap agar tidak pernah ada lagi terjadi konflik kekerasan atas nama apapun. Kekerasan hanya akan menghasilkan kehancuran bagi semua pihak.***

Edi V Petebang, dari berbagai sumber


Tarakan: Singgah Makan

Tarakan, berasal dari Bahasa Tidung, yang artinya tempat singgah (tarak) dan makan (ngakan). Sesuai dengan namanya pulau ini berfungsi sebagai tempat persinggahan atau tempat istirahat dan melakukan barter kaum nelayan dari Kerajaan Tidung pada masa sebelum datangnya kaum Kolonial Belanda. Kini selain Tidung juga ada suku Dayak, Banjar, Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain.

Sebagai pulau kecil yang dikelilingi laut, Tarakan mempunyai potensi kelautan yang melimpah. Sumber daya ini telah dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakatnya dalam mencari nafkah sebagai nelayan dan petambak udang.

Kota Tarakan terdiri dari 4 kecamatan dan 18 kelurahan yang terdiri dari dua pulau, yakni Tarakan dan Sadau. Sampai September 2008 penduduknya 178.111 jiwa. Kepadatan penduduknya adalah 716 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk 7,17% per tahun. Pendapatan per kapita tahun 2006 Rp.15.783.741,00. Pertumbuhan ekonomi 7,51%

Menurut agama mayoritas penduduknya adalah adalah Islam (152.899), Protestan (16.477), Katolik (4.745), Hindu (91), Budha (2.704), Lainnya (3).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany