Langsung ke konten utama

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya?


Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga.

Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah Kota Singkawang dijejali massa yang mengatasnamakan dari Melayu. Sejumlah tokoh Melayu dari Singkawang, Sambas, Kabupaten Pontianak, Kayong Utara dan Kota Pontianak menyatu. Mereka membahas makalah Wali Kota Singkawang, Hasan Karman yang ditulis pada 26 Agustus 2008. Makalah itu mengulas soal Melayu, asal usul dan sejarahnya. Terseliplah di catatan kaki makalah itu ada kutipan yang memojokkan dan merendahkan masyarakat Melayu (sengaja KR tidak menyebut istilah itu agar tidak menjadi Hasan Karman kedua-red). Dalam makalah itu Hasan Karman mengutip buku "Chinese Democracies A Study Of The Kongsis Of West Borneo (1776 – 1884)" karangan Yuan Bingling.

Makalah itu disampaikan dalam bedah buku "Fiqih Melayu" karangan Baidillah Biyadi. Acara itu diadakan FKPM dan dihadiri 70-an orang tokoh masyarakat, akademisi dan guru. Ketika bedah buku tidak ada yang mempermasalahkan isi makalah. Namun setelah dua tahun kemudian beredar kabar adanya ketersinggungan pihak-pihak tertentu. Karena itu tanggal 11 Mei 2010 Hasan Karman di rumah dinas walikota memanggil pihak-pihak terkait untuk mengklarifikasinya. Yang hadir dari OKP Mahasiswa Pancasila, Kepala Kesbangpolinmas, Forum Melayu, DAD, MABT dan LSM serta Humas Pemkot Singkawang.

Para tokoh Melayu itu tidak hanya berkumpul, pada hari itu (28/5) juga disepakati keluarnya Dekrit Melayu 2010. Inti dekrit itu adalah minta Walikota Hasan Karman bertanggungjawab atas makalah itu dan mundur dari jabatan walikota. Bahkan mereka memberi waktu 1 x 24 jam bagi Hasan Karman meminta maaf kepada masyarakat Melayu, kepada kerabat Istana Melayu Sambas dengan cara-cara adat. Dekrit ini akan disampaikan ke Presiden. "Apabila 1 x 24 jam pihak berwajib tidak melakukan tindakan, maka seluruh masyarakat Melayu akan bertindak,”jelas Alqadrie, peserta pertemuan.

Alqadrie menjelaskan, yang bertandatangan di Dekrit Melayu 28 Mei 2010 itu adalah dari Kesultanan Sambas (Uray Aqamadin dan Zulfidar Zaidar), dari Tebas, Selakau, Jawai, Sambas, Pemangkat, Singkawang, Pontianak, Mempawah dan Ketua Umum PFKPM Ali Asmadi dan Korwil PFKPM Singbebas Noviar Ardiansyah, Ketua LSM KPM Sei Raya dan empat anggota DPRD Singkawang Dedi Mulyadi, Rozanudin, Mohammadin dan Awang Ishak.

Hampir pada saat bersamaan dengan pertemuan di Mess Daerah Singkawang, massa Front Pembela Islam (FPI) Singkawang bentrok dengan polisi di sekitar tugu naga Jalan Niaga-Jalan Kepol Mahmud. Massa yang datang juga sebelumnya menghadiri musyawarah di Mess Pemda. Massa FPI mau merobohkan patung naga. Menurut Ketua FPI Ilyas Buchari, patung naga itu harus dirobohkan karena tidak berdasarkan Perda patung itu lambang sakral umat Konghucu yang bukan pada tempatnya. "Pembangunan patung naga tersebut tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Kota Singkawang. Keberadaan patung naga tersebut sangat melukai hati umat Islam,"kata Ilyas.

Kedatangan massa disambut blokade polisi dan sejumlah tentara. Massa berorasi. Sempat terjadi dorong-dorongan dengan polisi. Pukul 15.30 WIB bentrok massa dan polisi tak terhindarkan. Massa melampar batu ke arah patung naga yang dijaga Polisi. Polisi membalas dengan menangkap beberapa orang yang dianggap provokator dan diseret. Polisi menangkap tujuh orang yang dianggap pemimpin/provokator. Yakni Ilyas Buchari (ketu FPI), Bambang Prayogi, Andri Hermawan, Iwan Purnama, Geri, Hariadi dan Uray Jimi.

Di Pontianak, Ketua Majelis Adat Budaya Melayu kalbar (MABM) yang juga rektor Untan, Prof.Dr. Chairil Effendi mengatakan, demo atau rusuh Singkawang itu tidak akan terjadi kalau sejak awal ada komunikasi antara kelompok masyarakat Melayu dengan Hasan Karman. "Tolong semua pihak duduk satu meja untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan hindari kekerasan,"pinta tokoh Sambas kelahiran Singkawang ini.

Anggota DPRD Kalbar Dapil Singkawang Awang Sofyan Razali mengatakan, polisi mestinya memanggil Walikota Singkawan Hasan Karman untuk menelusuri akar permasalah. Bukan malah sebaliknya menahan masyarakat yang melakukan aksi penolakan keberadaan Patung Naga. Jika persoalan ini tidak tuntas, kondisi Kota Singkawang akan terus tidak kondusif. Aksi-aksi serupa akan kembali terulang.“Sumber konflik masalah yang mesti polisi kejar, bukannya menahan masyarakat,” tegas Awang (Pontianak Post, 31/5). Menurut dia, persoalan yang timbul di Singkawang merupakan hal baru. Sebab sebelumnya Singkawang daerah paling aman. Selalu harmonis tata kehidupan masyarakatnya. Tetapi menjadi keruh karena kebijakan Patung Naga dan makalah Walikota Singkawang.

Awang mengatakan sebenarnya masyarakat Singkawang tidak anti naga. Tetapi kebijakan pembuatan naga yang cenderung tidak mengakomodir suara masyarakat. Hal itu yang menjadi masalah. Karena menimbulkan pro dan kontra ke tengah masyarakat. “Sebagai Walikota harusnya berhati-hati mengeluarkan statmen. Konteksnya pemimpin itu mesti bijak. Sehingga apa yang diucapkan tidak menyebabkan ketersinggungan suatu kelompok etnis tertentu,” kata Awang. Karena itu, lanjutnya, pihak DPRD Singkawang mesti meminta Hasan Karman menjelaskan atas timbulnya masalah di Kota Tasbih itu. “Bila perlu buat Pansus,” katanya.

Ferden Firdaus, mantan Wakil Ketua DPRD Sambas priode 1999-2004 berpendapat bahwa soal makalah Hasan Karman biarlah ahli sejarah yang menilai benar atau salahnya. Ia mengingatkan bahwa perdebatan atas isi makalah tersebut dapat dimanfaatkan pihak yang tidak senang dengan kerukunan dan keharmonisan masyarakat Singkawang yang majemuk dan plural. “Catatan hitam sejarah masa lalu kita sangat banyak. Sebagai contoh pada zaman kejayaan kerajaan Sambas pernah terjadi perang Kenceng, perang Sungkung, dan di masa orde baru terjadi penumpasan antek-antek PKI dan PGRS PARAKU serta beberapa kali terjadi rusuh etnis,” kata Ferden.

Menurutnya, biarlah sejarah menjadi pelajaran dan jangan diusik. Pengungkapan sejarah masa silam tidak salah, namun lebih baik diserahkan kepada ahlinya agar lebih objektif dan memenuhi kualifikasi keilmiahan.

Sabtu 29 Mei 2010: paska bentrok Jumat, warga Singkawang masih diliputi ketakutan akan bentrok susulan. Kasus ini mendapat pemberitaan yang luas di media massa cetak dan elektronik baik lokal maupun nasional. Akibatnya, warga Singkawang banyak mendapat telpon, sms, email dari sanak keluarganya dari berbagai penjuru tanah air. Banyak pihak menyesalkan terjadinya kerusuhan Singkawang dan tindak kekerasan, baik yang dilakukan massa FPI maupun polisi yang terkesan brutal dalam menangani massa. Komite Mahasiswa Kabupaten Sambas (KMKS) di Pontianak menyampaikan siaran pers. KMKS mengatakan bahwa apa yang dipaparkan Hasan Karman sangatr tidak bijak dan terlalu bernuansa rasis. Eko Sanjaya, Ketua KMKS minta Hasan Karman mencabut pernyataannya dan meminta maaf.

Rusuh Singkawang masih makin berdampak luas. Karena itulah, Minggu 30 Mei 2010 malam untuk membahas keamanan Kota Singkawang, Muspida Singkawang menggelar rapat khusus tertutup di kantor Bappeda yang merupakan kantor walikota sementara. Wali Kota Singkawang Hasan Karman, Kepala Polres Singkawang AKBP Tony EP Sinambela, Dandim Singkawang Letkol TNI (Arm) Teddy Surahmat dan tokoh masyarakat dan agama.

Usai pertemuan itu Hasan Karman meminta maaf. "Kalau memang ada yang merasa tersinggung, saya minta maaf. Isi makalah itu bukanlah pernyataan pribadi, tapi kutipan pernyataan orang lain. Kalau saya menyatakan bahwa Melayu perompak maka saya adalah orang yang paling bodoh,"paparnya.

Sementara itu kecaman dari berbagai pihak terkait dugaan tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi FPI terus berlanjut. Namun itu dibantah Kapolres Singkawang AKBP EF Tony Sinambela. "Kami prosedur dalam menangani aksi unjukrasa. Unjukrasa itu melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan penyampaian pendapat, dilarang melakukan unjukrasa dihari besar nasional. Mereka yang ditangkap dan dijadikan tersangka telah melakukan tindak pidana pasal 170 tentang pengrusakan,” Sinambela kepada wartawan.

Kabid Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar Suhadi SW mengatakan, pihaknya sudah melihat tayangan televisi dan gambar di media massa terkait dugaan pelanggaran penanganan kasus Singkawang. "Tim akan mengusut apakah dalam penanganan unjukrasa itu sudah melalui protap atau tidak. Pengecekan di lapangan akan menentukan apakah ada pelanggaran atau tidak. Jika ada pelanggaran, dipastikan ada sanksi bagi mereka yang melakukannya,"urai Suhadi.

Senin, 31 Mei 2010 Singkawang belum kondusif. Warga masih was-was. Apalagi pada dinihari sebuah mobil Kijang milik Jomadi Loka, salah satu fotografer senior Kalbar dibakar orang tidak dikenal.

Di pusat bisnis Kecamatan Tebas dipasang bendera kuning bersama bendera tiga warna yang merupakan simbol rumpun Melayu (putih, kuning dan hitam). Bendera ini sebagai tanda berduka atas makalah Hasan Karman yang dinilai merusak keharmonisan antar-etnis masyarakat Kabupaten Sambas. Koordinator Rumpun Melayu Tebas Uray Edi Bakar, pihaknya menghargai sikap Walikota Singkawang telah mengucapkan permintaan maaf melalui media massa. Menurutnya bendera duka ini tetap berkibar sebelum Hasan Karman meminta maaf dan bersilaturahmi ke Istana Sambas.

Selasa, 1 Juni 2010 Kota Singkawang belum kondusif. Teror bom molotov dan SMS melanda warga Singkawang. Bom Molotov dilemparkan di sebuah kios pedagang di lorong Jalan Budi Utomo pukul 14.30. Molotov ini nyaris membakar ruko yang letaknya berhimpitan. Hampir pada saat bersamaan terror molotov terjadi di pada mobil Toyota Avanza yang diparkir di rumah Tony (42) dan Ava (33) di Jalan Antasari pukul 15.30 WIB . Syukurlah sebelum api membesar sudah ketahuan dan bisa dipadamkan. Sore pukul 16.50 bengkel di Jalan Stasiun dilempari bom molotov. Pukul 17.00 di Jalan Pelangi sebuah bengkel juga dilempari bom molotov namun tak menimbulkan kebakaran. Namun Kapolres Singkawang AKBP Tony EF Sinambela menegaskan pihaknya sudah mendapatkan nama-nama para pelau terror itu dan akan menangkapknya. "Pelakunya lebih dari satu orang,"jelas Tony.

Selain terror bom Molotov, SMS gelap pun banyak beredar. Ada SMS yang mengajak masyarakat Melayu untuk membantu saudaranya di Singkawang; sebaliknya ada juga SMS yang mengajak warga Tionghoa agar tidak gencar dan bersolidaritas dengan warga Tionghoa Singkawang.

Malam pukul 19.30 tujuh tersangka tragedi Tugu Naga tiba di Singkawang setelah ditahan di Mapolda Kalbar. Mereka adalah Ilyas Buchari (ketu FPI), Bambang Prayogi, Andri Hermawan, Iwan Purnama, Geri, Hariadi dan Uray Jimi. Ratusan orang menyambut mereka di Masjid Raya Singkawang. Ketujuh orang ini disambut massa dengan meriah. Meski ditangguhkan penahanannya, proses hukum tetap jalan. Mereka wajib lapor dua kali seminggu. Menurut Mansyur, pengacara para tersangka, persoalan di Singkawang belum selesai. Pihaknya tetap akan menggiring Hasan Karman ke ranah hukum dan akan menyampaikan aspirasi ke DPRD Kota Singkawang.

Pagi, di Mapolda Kalbar diadakan pertemuan antara Kapolda Kalbar Brigjen Pol Erwin TP :Lumban Tobing dengan perwakilan Puak Melayu Kalbar dan tokoh pemuda Singkawang. Antara lain Ketua MABM Prof.Dr. Chairil Effendi, Ilham Sanusi, Awang Rozali, Khasmir Bafiroes, Mansyur dari unsur pemuda. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa rusuh Singkakwang bukanlah pertentangan antara etnis Melayu dan Tionghoa. "Bukan, jangan sekali-kali dibelokkan ke persoalan etnis. Ini pribadi Hasan Karman, bukan Tionghoa,"tegas Erwin. Kapolda minta agar jangan ada tindakan anarkis dan provokasi. "Jika ada anarkis, polisi akan bertindak tegas,"ujarnya kepada wartawan di Mapolda Kalbar. Peserta juga sepakat agar tugu naga dipindahkan ke tempat lain agar tidak menimbulkan konflik lagi.

Selesai pertemuan Ketua MABM Kalbar Prof.Dr.Chairil Effendi menyesalkan Hasan Karman yang mengutip tanpa melakukan kritisi, yang berarti sama dengan menyetujui kutipan itu. "Kutipan yang dipakai Hasan Karman bahwa Melayui membangun kerajaan atau wilayahnya dengan perompakan adalah pandangan kolonial yang memang hanya melihat sisi negatif pribumi. Sangat disayangkan Hasan Karman yang juga walikota meneruskan pandangan itu. Ini yang menimbulkan reaksi keras,"jelas Rektor Untan ini.

Kota Singkawang masih mencekam. Beredar isu bahwa massa dalam jumlah besar akan masuk kota Singkawang. Karena itu polisi menggelar razia dan memperketat akses masuk ke kota Singkawang. Semua kendaraan yang keluar-masuk diperiksa. Dilengkapi kendaraan water canon, beberapa jalan yang merupakan pintu masuk ke Kota Singkawang dijaga ketat. Puluhan anggota Polres Sambas juga berjaga-jaga di perbatasan Singkawang. Polisi juga bersiaga di sekitar rumah dinas Wali Kota Singkawang Hasan Karman. Ini setelah satu unit mobil dirusak orang tidak dikenal. Tempat-tempat penjaja makanan yang biasanya ramai mendadak sepi. "Jika ada massa dari Sambas mau ke Singkawang tentu akan kami cegah,"jelas Kapolres Sambas AKBP Winarto.

Seiring mudah dan murahnya akses masyarakat ke dunia maya (internet), maka tak pelak lagi kasus Singkawang ini selain konflik fisik juga terjadi konflik di dunia maya. Ada yang pro, kontra dan netral. Setiap berita yang ditulis di koran selalu mendapat komentar pembaca. Namun umumnya para pemberi komentar tidak memakai nama aslinya.

Misalnya seseorang yang mengaku bernama Era Jaya dan Sassy menulis " FPI lah biang keroknya. Kalimantan jangan disamakan pulau Jawa. Hayo Pak Polisi besarkan nyalimu. Jangan hanya bisa menangkap kucing, harimau harus ditindak. Jangan biarkan keharmonisan yg selama ini terjalin dihancurkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab".

"Biang keroknya adalah FPI. Sebelum ada FPI di sini, keharmonisan Kota Singkawang sangat baik. Saya minta agar semua pihak menahan diri dan menjaga keharmonisan Singkawang,"tulis Hartanto

Ada lagi yang menulis "Cidayu....Chiness Dayak Melayu, adalah aset kota Singkawang kita mesti menjaganya. Siapa pun boleh datang dan berbaur di sini. Tapi tak berbuat onar, sekali lagi kami cinta damai. Jangan sampai ada oknum yg mengambil keuntungan di balik semua ini"

Kasus Singkawang akhirnya pelan-pelan mereda karena Hasan Karman (HK) bersedia meminta maaf secara adat Melayu ke Kesultanan Sambas.

Selasa, 8 Juni 2010 Hasan Karman yang seolah menghilang akhirnya buka suara. "Saya siap dipanggil DPRD Singkawang dan siap periksa polisi. Dalam situasi begini, saya jadi sasaran tembak, saya mau apa? Harus begini dong sikap saya. Nanti saya pelajari dulu. Silahkan saja,"ucap alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini kepada wartawan.


Motif kasus Singkawang

Kasus Singkawang ini mengundang pendapat dari banyak kalangan. Drs. Gusti Suryansah, M.Si., dosen Magister Ilmu-Ilmu Sosial FISIP Untan yang juga pewaris tahta Kerajaan Landak secara khusus menulis di harian Borneo Tribun (2/6) untuk menilai apakah secara metodologis ilmiah tulisan Hasan Karman benar. Menurutnya, pada beberapa bagian dalam tulisan Hasan Karman tidak sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah sehingga menimbulkan salah tafsiran.

Gubernur Kalbar Cornelis meminta agar semua pihak menahan diri dan jangan terpengaruh oleh kepentingan sesaat. "Kalau itu masalah imiah dibantah secara ilmiah, jika itu masalah hukum selesaikan secara hukum. Selesaikan dengan baik, semua pihak hendaknya bisa duduk satu meja,”pinta Cornelis seperti dilansir Borneo Tribun (1/6). Ia mengaku sangat menyesalkan kejadian di Singkawang itu dan berharap kasus itu menjadi pelajaran berharga buat semua pihak.
Mantan Gubernur Kalbar Usman Jafar juga meminta agar masyarakat Kalimantan Barat khususnya di Singkawang menahan diri agar tidak terjadi konflik sosial atas makalah Walikota Hasan Karman. "Selesaikan dengan kepala dinginlah. Agar tidak meluas semua orang harus menahan diri,"kata anggota DPR dari PPP ini di gedung DPR RI Jakarta (Borneo Tribun 2/6).
Kasus Singkawang ini menyedot perhatian banyak pihak, baik di Kalbar bahkan sampai keluar negeri. Ini tidak terlepas dengan mudahnya akses informasi serta banyaknya warga Singkawang yang bermukim maupun yang bertempat tinggal di luar negeri. Banyak orang terheran-heran mengapa peristiwa yang terjadi dua tahun lalu baru di permasalahkan sekarang. Pendapat pun bermunculan. Ada yang berpendapat bahwa kasus ini adalah kental bermuatan politis; banyak juga yang berpendapat bahwa ini benar-benar murni bukan politis.

Terlepas politis atau bukan; yang pasti semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi pejabat dan semua pihak agar berhati-hati dalam berkomentar apalagi memuat tulisan yang menyerempet suku, agama, ras, golongan karena masih sangat sensitive di masyarakat kita.

Mengutip pendapat Prof.Dr. Syarif Ibrahim Algradrie, kemelut dalam masyarakat demokratis dan multikultural (seperti kasus Singkawang) seharusnya diselesaikan dengan jalan damai dengan saling menguntungkan dan tidak mempermalukan kedua belah fihak (win-win solution.

Akar rusuh
Prof.Dr. Syarif I.Alqadrie, guru besar Fisipol UNTAN dan salah seorang kerabat Keraton Pontianak menulis di sejumlah media yang terbit di Kalbar yang diharapkan bisa menjernihkan masalah dan menenangkan massa. Prof. Syarif berpendapat bahwa apa yang terjadi di Singkawang tampaknya menurut beberapa pengamat sosiologi etnis bukan semata-mata ekspresi dan manifestasi dari kemarahan “spontan” sebagai akibat –katakanlah-- dari rasa “keterusikan” dan rasa “dipermalukan” yang dirasakan oleh satu kelompok etnis dan agama tertentu terhadap makalah Hasan Karman (HK) dan patung naga. Ia lebih merupakan ekspresi dan manifestasi dari “ketersinggungan” dan “kemarahan” psikologi massa dari berbagai kelompok etnis, agama, golongan dan lapisan yang muncul berbaur bersamaan dan sekaligus.

"Oleh karena itu, adalah sangat arif jika kita semua, masyarakat Kalbar, khususnya masyarakat Singkawang dengan para tokohnya yang merasa terusik dan tersinggung dengan pernyataan akademis HK dalam makalahnya 2 tahun yang lalu, mampu dan bersedia memaafkan dan memberi ia kesempatan untuk lebih mendalami psikologis politis dan budaya politis masyarakat kita"tulisnya dalam kolom Opini AP Post (1/6).

Menurut Prof. Syarif, kasus itu timbul dari percikan berbagai api motif yang masuk dan berbaur di dalamnya menjadi satu. Motif yang paling sulit diantisipasi dan diredam adalah motif politis praktis dan motif etnis politis. Karena itulah, kemelut Singkawang tampaknya belum perlu sampai mengeluarkan Dekrit Melayu, Dekrit Singkawang atau Dekrit Sambas atau lainnya, ia juga belum perlu melibatkan Forum Pembela Islam (FPI). Apakah sebuah Makalah dan Patung Naga sudah dan sedang menghina dan menghancurkan Melayu dan Islam –sebagaimana itu dilakukan oleh Israel terhadap Palestina yang mayoritas Islam?

"Dari perbincangan dengan beberapa tokoh muda Singkawang baik dari kalangan legislatif, eksekutif, bisnis, agama dan pendidikan, mereka setuju bahwa “kemelut” Singkawang merupakan manifestasi dan ekspresi dari psikologis massa berbagai kelompok yang berbaur jadi satu. Namun, tidak seorangpun dari mereka melihatnya sebagai persoalan etnisitas murni, artinya pertentangan dengan HK disebabkan ia adalah Tionghoa. Lalu, masyarakat Singkawang “belum” siap dipimpin oleh seorang Tionghoa. Saya juga sangat tidak percaya itu. Sama juga saya tidak percaya bahwa beban dan tekanan psikologis itu timbul karena walikota HK adalah seorang Tionghoa,"tulisnya.

Prof. Syarif berkeyakinan bahwa masyarakat Singkawang tidak mudah tergelincir dalam sikap, perilaku dan masalah SARA serta anarkhisme. Ini sebenarnya modal utama dalam menyelesaikan ‘Kasus Singkawang’ ini bukan berdasarkan SARA dan tidak seharusnya diselesaikan secara anarkhis. Karena itu, saya percaya sepenuhnya kepada para tokoh dan pemimpin kelompok masyarakat Singkawang bahwa mereka seharusnya dapat berperan penting dalam menenangkan dan membujuk kelompok mereka masing-masing: kelompok yang menentang/oposisi terhadap HK dan kelompok yang pro/ mendukungnyanya agar membatasi diri untuk tidak terlibat dalam masalah SARA dan anarkhis.

"Kemelut dalam masyarakat demokratis dan multikultural seharusnya diselesaikan dengan jalan damai dengan saling menguntungkan dan tidak mempermalukan kedua belah fihak (win-win solution). Cara ini, menurut hemat saya dapat dilakukan: (1) dengan saling meminta maaf dan maaf memaafkan; (2) mengkaji kembali keberadaan dan relevansi sesuatu hal yang dipersoalkan demi kemaslahatan banyak orang (patung naga-red)," tulis profesor tamu Nordic Institute of Asian Study (NIAS), Copenhagen, Denmark ini.***

Edi v.Petebang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany