Oleh Edi V.Petebang, S.Sos
Pemilu Legislatif 2014 paripuran sudah; kita
memiliki wakil-wakil di pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Apakah Anda memilih
mereka yang duduk ini atau tidak, itulah konsekuensi dari sistem Pemilu kita.
Ironis memang, misalnya, ada Caleg Pusat yang mendapat 60 ribu suara pribadi
tetapi tidak mendapat kursi di Senayan. Sebaliknya, ada yang mendapat 27 ribu
suara pribadi malah melenggang ke Senayan. Sistem ini harus kita perbaiki agar
wakil rakyat kita benar-benar representatitf.
Itu sisi lain dari Pemilu yang lalu. Dimensi
lain yang tidak kalah mencengangkan kita dalam Pileg 2014 adalah tingginya
angka golongan putih (golput). Sejak istilah golput ini dipopulerkan Arif
Budiman pada Pemilu 1971, pengikut “partai golput” ini terus menanjak. Dalam
Pemilu 1971 Golput 6,67%. Pada Pemilu 1977 Golput naik jadi 8,40%; tahun 1982
Golput 9,61%; Pemilu 1987 Golput 8,39%; Pemilu 1992 Golput 9,05%; Pemilu 1997
Golput 10,07%; tahun 1999 sejumlah 10.40%; Pemilu 2004 Golput melonjak menjadi 23,34%.
Pada Pemilu 2009 jumlah Golput naik menjadi 34%. Jumlah ini jauh unggul
dibanding perolehan suara Parpol pemenang Pemilu, yakni PDI Perjuangan
(19,67%), Golkar (14,54%), Gerindra (11,86%), atau Demokrat (9,75%).
Dan pada Pemilu 2014 jumlah Golput memang
menurun dibanding Pemilu sebelumnya, yakni 24,89% dengan partisipasi pemilih 75,11%
dengan total suara 124.972.491 suara dari total DPT 185.826.024 orang
(kompas.com 10/5/2014). Jika suara yang tidak sah, karena kesengajaan mencoblos
salah, juga dikategorikan Golput, maka jumlah Golput pada Pemilu 2014 mencapai
31,89 persen. Artinya jumlah Golput Pemilu 2014 jauh lebih besar dibanding 5
parpol dengan suara terbanyak; yakni (1). PDIP (23.681.471/18,95%); (2). Golkar
(18.432.312/14,75%); (3).Gerindra (14.760.371/11,81%); (4).Demokrat
(12.728.913/10,19%); (5).PKB (11.298.957/9,04%).
Kesadaran
vs Kealpaan Negara
Tingginya jumlah Golput dari Pemilu ke Pemilu
harus menjadi keprihatinan bersama kita sebagai sebuah bangsa. Menurut saya,
Golput ini ada dua kategori. Pertama, Golput karena dengan sadar memang tidak
mau memilih—tentu dengan beragam alasan. Kedua, Golput karena kealpaan
Negara—baca penyelenggara Pemilu, mulai dari KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK sampai PPS. Keduanya menjadi masalah krusial kita sebagai
bangsa yang harus diselesaikan agar Pemilu menghasilkan wakil rakyat (baca
pemimpin) yang benar-benar mampu mengelola kekayaan Republik ini supaya rakyat
lebih sejahtera.
Golput sebagai sebuah kesadaran tentu harus
kita hormati--sebagai hak asasi setiap orang untuk memilih dan tidak memilih.
Golput dalam kategori ini adalah sebagai bentuk protes, perlawanan terhadap
ketidakadilan, ketidakdemokratisan, korupsi dan aneka kebobrokan
(penyelenggaran) Negara. Jika demikian, tentu jumlah Golput sebagai sebuah
kesadaran ini pasti akan menurun jika
Negara semakin demokratis, adil, dan mensejahterakan rakyatnya.
Seperti yang dikatakan peneliti ICW, Tama S. Langkun, tingginya
tingkat korupsi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
(voa-islam.com). Korupsi mulai awal Januari sampai Desember 2013 mencapai Rp
7,4 triliun. Dan para pelaku korupsi tersebut adalah juga wakil rakyat yang
dipilih pada Pemilu.
Belum lagi kelakukan wakil rakyat yang tidak bertanggung
jawab terhadap tugasnya. Lihat saja tingginya angka absen di setiap persidangan
dan semakin meningkat menjelang pemilu 2014 karena 90% anggota DPR kembali
mencalonkan diri. Mereka yang menjadi Caleg incumbent memanfaatkan
waktu menjelang Pemilu (dengan dana Negara untuk reses) untuk kampanye ke
daerah-daerah. Akibat banyak bolos, baru 20 dari 77 RUU dalam program legislasi
nasional yang rampung tahun 2013. Belum lagi tabiat (oknum) wakil rakyat yang
melakukan perbuatan amoral, menambah ketidakmauan publik ikut memilih pada
Pemilu.
Rakyat yang Golput karena kesadaran, tidak percaya lagi
dengan Pemilu karena Pemilu belum mampu melahirkan pemimpin yang memiliki
karakter sebagai negarawan, pro rakyat, adil dan bersih.
Golput karena surat suara sengaja dirusak oleh pemilih
masih cukup banyak ditemukan dalam Pemilu lalu. Pemilih seperti ini umumnya mencoblos
semua caleg biar adil. Mereka demikian karena tidak kenal track record caleg atau kecewa karena partai tidak meloloskan bakal
caleg yang mereka jagokan. Atau dari pada surat suara disalahgunakan pihak
tertentu jika tidak dicoblos.Tentu ada juga yang memang salah coblos karena
ketidaktahuannya.
Golput karena kealpaan Negara berawal dari
ketidakprofesionalan petugas dalam melakukan pendataan calon pemilih. Seminggu
sebelum Pemilu 9 April 2014 silam saya berkesempatan ke sejumlah kampung di
pedalaman Ketapang. Di hampir setiap kampung, di setiap TPS, ada warga yang
tidak terdaftar sebagai pemilih. Dan umumnya yang tidak terdaftar ini adalah
mereka yang pada Pemilu-Pemilu sebelumnya sudah memilih. Hal ini menjadi
pertanyaan besar terhadap kinerja petugas pemilihan; apakah ada unsur
kesengajaan karena pesanan caleg/parpol tertentu?
Termasuk kealpaan Negara yang mengakibatkan
pemilih terpaksa Golput adalah pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit.
Sehari setelah Pemilu 9 April 2014 saya mengurus ayah opname di salah satu
rumah sakit di Kota Ketapang. Pada hari pemilihan, diumumkan akan didatangi
petugas pemilihan ke rumah sakit agar para pasien bisa memilih. Namun nyatanya
tidak pernah ada panitia pemilihan yang datang, padahal ada ratusan pasien dan
keluarga yang menunggunya.
Tidak lama lagi kita kembali akan melaksanakan pemilihan
umum, yakni Pilpres. Semoga dalam Pilpres nanti jumlah Golput karena kealpaan
Negara dan atau kesadaran untuk Golput semakin menurun. Dalam waktu yang tidak
lama ini, Parpol, Penguasa dan Negera harus mampu mengembalikan kepercayaan rakyat
akan demokrasi dan harapan akan Negara yang mempau mensejahterakan rakyatnya;
membasmi korupsi; pemerintah yang demokratis, jujur dan adil.
Kita berharap akan hadir Capres/Cawapres yang benar-benar
diinginkan rakyat untuk bisa memperbaiki nasib rakyat. Jika ini terjadi,
niscaya Golput akan menurun dalam Pilpres nanti, tidak sebanyak Golput Pileg
lalu. Gmasyarakat akan manfaat sejatinya demokrasi. Diantaranya, dengan
menurunkan tingkat korupsi dan melahirkan wakil rakyat yang berkualitas dan pro
rakyat.*
*Penulis adalah Ketua “Sandu Institut”, Pontianak
Komentar