Langsung ke konten utama

Bom Waktu Konflik Lahan di Aliran Sungai Jelai


Selama dua pekan, akhir Februari sampai awal Maret 2014, jurnalis warga Ruaitv, Edi Petebang, mengunjungi puluhan kampung di sepanjang aliran sungai Jelai Kiri di kecamatan Jelai Hulu dan kampung-kampung di aliran Sungai Jelai di Kecamatan Manis Mata.


Perjalanannya dimulai dari Dusun Benatu, Desa Limpang Jaya, Kecamatan Jelai Hulu dan berakhir di Desa Pakit Suak Burung, Kecamatan Manis Mata, desa terakhir berbatasan langsung dengan Kalteng. Dalam setiap diskusi dengan warga di desa-desa di sepanjang aliran sungai ini, masalah utama yang mereka hadapi adalah belum direalisasikannya kebun mitra dari perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana. Padahal warga sudah menyerahkan tanah kepada perusahaan. Kondisi ini jika dibiarkan maka akan menjadi bom waktu konflik perebutan lahan antara perusahaan dengan masyarakat di sana.

Seperti diketahui,perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di sana menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Masyarakat menyerahkan tanah 10 hektar akan mendapat kebun 2 hektar. Masalahnya menurut Bidau, kepala adat Desa Tebing Berseri atau Tembiruhan, kebun milik perusahaan sudah panen, tetapi kebun jatah petani belum dibangun.

YP. Miah, tokoh masyarakat Desa Penyarang mengaku heran mengapa perusahaan belum membangun kebun untuk petani; sedangkan areal yang tersisa sudah habis digarap. Bahkan cukup banyak warga yang merasa tidak menyerahkan lahan namun digarap perusahaan.

Konflik lahan yang sudah lama, terjadi di empat desa di Kecamatan Manis Mata. Yakni Desa Suak Burung, Desa Batu Sedau, Desa Seguling dan Desa Manis Mata. Masyarakat di keempat desa ini tahun 2004 telah menyerahkan lahan ke perusahaan namun sampai tahun 2014 ini belum menjapat jatah kebun mitra.

Menurut Ruslan, Kepala Dusun Kuala Asam, Kecamatan Manis Mata, ada 1.343 kepala keluarga yang menyerahkan lahan ke perusahaan sawit. Namun yang mendapat jatah kebun hanya 289 kepala keluarga. Masyarakat tidak terima dan sudah beragam cara memperjuangkan hak mereka namun belum berhasil. 

Semoga kasus-kasus konflik antara perkebunan sawit dengan warga ini dapat dicarikan jalan keluar terbaik agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan yang mengorbankan masyarakat.


* Artikel ini ditayangkan Ruaitv Pontianak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany