Langsung ke konten utama

Warga Silingan-Ketapang Terancam PT WHW


Pembangunan pabrik pengolahan tambang bauksit dan bijih besi milik PT WHW mengancam keselamatan warga kampung Silingan, Desa Mekar Utama Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang-Kalimantan Barat.

Warga merasa terancam karena jutaan ton lumpur gambut yang dikeruk PT WHW untuk lokasi pabrik itu dibuang ke hulu sungai tidak jauh dari kampung mereka. Mereka kuatir jika musim hujan, lumpur tersebut akan hanyut dan menutupi sungai dan perkampungan warga.

PT WHW di Silingan, Kendawangan, Ketapang
Selain soal limbah tersebut, warga juga menuntut kejelasan soal perusahaan tersebut karena mereka belum pernah mendapat penjelasan. “Kami juga menuntut agar perusahaan memberikan lapangan kerja kepada masyarakat di sekitar perusahaan, yakni dari kampung Silingan, Sungai Gantang, Sukaria, Cempedak, dan Kelukup Belantak,”jelas Kuni, kepala adat kampung Silingan. Warga juga mempertanyakan keberadaan puluhan tenaga kerja asal negara RRC di perusahaan tersebut karena tidak ada laporan ke pemerintah desa. Mereka minta Imigrasi dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Ketapang memeriksa tenaga kerja asing di perusahaan tersebut.

Sebagai bentuk protes warga, sudah tiga kali mereka berdemo dengan memblokade jalan perusahaan. Dua kali demo belum membuahkan hasil bahkan blockade yang dibuat warga dibuka paksa pihak perusahaan. Yang terakhir blokade dilakukan oleh lebih banyak orang dari lima kampung disertai upacara adat Dayak. Demo ketiga ini barulah perusahaan menanggapi tuntutan warga dan duduk bersama mencari solusi terbaik.

Sesungguhnya keberadaan PT WHW sendiri sangat vital bagi perekonomian rakyat di lima kecamatan wilayah Ketapang Selatan; yakni Jelai Hulu, Marau, Air Upas, Singkup, dan Kendawangan. Seperti diketahui, semula warga di sana mengandalkan pertambangan bauksit dan bijih besi. Namun sejak Januari 2014 tambang ini ditutup pemerintah karena belum mempunyai pabrik. Jika pabrik PT WHW ini selesai, maka perusahaan tambang tersebut akan beroperasi lagi.

* Artikel ini dimuat di Ruaitv, Pontianak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany