Langsung ke konten utama

Semarak Bulan Kitab Suci 2015 di Stella Maris, Pontianak

Setiap bulan September, umat Katolik di seluruh Indonesia mendedikasikannya untuk lebih mendalami kitab suci dan menjadikan kitab suci panduan hidup umatnya. Hampir di semua paroki, seperti di paroki kami, Paroki Stella Maris Pontianak, diadakan beragama kegiatan, seperti lomba baca kitab suci, lomba koor, cerdas cermat kitab suci, kuis kitab suci, pameran kitab suci dan sebagainya.

Tahun ini ada yang beda di paroki kami. Dalam rangka penggalangan dana, maka saya "ditugaskan" Dewan Paroki untuk menerbitkan buletin PAO edisi khusus bulan kitab suci. Seluruh pendapatan penjualan PAO maupun iklan, disumbangkan untuk pembangunan gereja. Paroki kami memang sedang membangun gereja berarsitektur China, namun kini terpaksa dihentikan karena kekurangan dana. Pembangunan sampai kerangka yang siap dipasang atap.

Puji Tuhan, dalam waktu seminggu PAO bisa dicetak. Saya mengetik sebagian isinya, me layout dan mencetak. Beruntung karena saya ada percetakan sehingga proses pencetakannya bisa dikontrol agar lebih cepat.

Cepatnya proses penerbitan PAO ukuran setengah folio 40 halaman+sampul ini juga berkat bantuan banyak orang dan terutama tulisan-tulisan di internet. Baik renungan maupun bacaan-bacaan kitab sucinya.

Salah satu tulisan yang saya muat di PAO adalah tulisan Romo Hans Handrianto Widjaja Pr, Pastor Keuskupan Denpasar, Bali yang dimuat di situs www.sesawi.net dengan judul "Memberi Hati di Bulan Kitab Suci Nasional".

Saya mengutip bagian akhir dari tulisan Romo Hans berikut ini.
"Mari kita mohon agar dalam setiap kegiatan kita, setiap ucapan kita menjadikan hati kita semakin dekat satu sama lain. Sehingga ikatan kita satu sama lain semakin erat, di dunia dan di surga. Sehingga semua yang kita mohonkan dalam nama Tuhan Yesus merupakan perwujudan kasih kita satu sama lain. Dan doa-doa kita pasti akan didengarkan Tuhan Amin".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany