Langsung ke konten utama

Anomali Gidot dan Demokrat Kalbar...



Saya sebenarnya tidak terlalu mengikuti lagi perkembangan Partai Demokrat di Kalbar. Karena sejak ikut proses seleksi anggota Dewan Pendidikan Provinsi bulan September 2014 silam (dan terpilih) , saya sudah mengundurkan diri sebagai pengurus DPD Provinsi karena fungsionaris partai tidak boleh menjadi anggota dewan pendidikan. Namun peristiwa hari ini, jumat 21 Agustus 2015 menggelitik saya. Hari ini Sekretarisnya DPP Demokrat Hinca Panjaitan melantik Albert Yaputra sebagai Plt.Ketua DPD Demokrat Kalbar menggantikan Suryadman Gidot dan Bonifasius Beni sebagai Plt.Ketua DPC Bengkayang menggantikan Yosua Sugara. Meski sepertinya hal lumrah, namun menurut saya ini adalah suatu anomali bagi Demokrat Kalbar umumnya dan pagi Bang Gidot dan Yosua.
Setelah saya mengikuti pemberitaan di media massa lokal, saya mulai mengerti kenapa Gidot dan Yosus diganti. Keduanya menurut DPP Demokrat dianggap tidak taat aturan partai.
Seperti diketahui, Gidot dicalonkan Demokrat sebagai Calon Bupati Kabupaten Bengkayang yang kedua kalinya. Prosedur pencalonan inilah yang menurut DPP dianggap melanggar aturan organisasi.
Gidot sendiri belum mendapat penjelasan langsung dari DPP Demokrat kenapa dia diganti. "Sampai hari ini, kita tidak boleh berandai-andai, untuk menyasalahkan si A atau B. Pastinya ini merupakan pekerjaan organisasi, harus dihormati dan taat sebagai kader.  Saya berjanji akan mempertanyakan masalah ini ke DPP langsung,"tuturnya kepada http://pontianak.tribunnews.com/ hari ini.
Pencopotan Gidot dan Yosua ini tentu sangat tidak lazim dalam sebuah organisasi. Padahal keduanya punya andil dalam membesarkan Demokrat di Kalbar.
Kasus ini mengingatkan saya akan adagium "politik itu kejam".
Sebagai teman kuliah--yang berbeda jalan hidup--dan beberapa kali bertemu, bahkan di rumahnya yang asri di Bengkayang, semoga kasus ini memberikan hikmah.***   




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany