Langsung ke konten utama

Revolusi Mental untuk Pembangunan Gereja Siantan,Pontianak

Awal tahun 2015 ini saya mendapat tantangan yang unik. Dalam rapat Dewan Paroki Stella Maris akhir November 2014, saya didaulat untuk mengkordinir seminar motivasi. Kalau seminar biasa,orang diundang dan tanpa harus membayar, sudah biasa saya lakukan, sudah puluhan kali. Nah, yang berbayar ini yang belum pernah. Apalagi untuk masyarakat kota Pontianak khususnya danKalbarpada umumnya, seminar sejenis ini belumlah lazim. Yang lazim justru seminar dimana pesertanya diberi transpor pulang atau bingkisan produk.Dan bukantanggung-tanggung, target peserta 400 orang dengan harga tiket Rp.150.000 per orang. 

Anthony Dio Martin


Di tengah keraguan akan keberhasilan seminar ini,saya dan tim (kami 10 orang) berkeyakinan (lebih tepatnya mensugesti diri) bahwa apa pun kalau dilakukan untuk Tuhan,pasti ada jalan keluar.


Langkah pertama yang kami lakukan adalah diskusi dengan narasumber untuk memilih tema yang pas dengan kondisi kekinian masyarakat Kalimantan Barat.Disepakatilah temanya "Revolusi mental untuk sukses dan bahagia".


Berikutnya adalah melakukan promosi/informasi dengan cara yang murah meriah tetapi bisa menjangkau banyak orang. Yakni mengumumkan di sepuluh gereja Katolik di kota POntianak dan Sungai Ambawang; menempel stiker di papan pengumuman di 10 gereja; mendistribusikan brosur di 10 gereja; iklan di majalh Duta milik keuskupan Agung Pontianak, iklan di Tabloid Arue, iklan baris di koran AP Post (koran terluas peredarannya di Kalbar) selama 7 hari; memasang spanduk di 7 tempat strategis. Tidak lupa media sosial (facebook, twitter, bbm) kami manfaatkan; juga sms. Selain upaya itu, secara langsung (face to face) kami bertemu banyak orang,mitra untuk menawarkan tiketnya.


Tiga hari sebelum hari H, kami rapat dan betapa terkejut, ternyata baru ada 150 orang. Kerja keras dan dengan bantuan banyak pihak, termasuk narasumber, pas sehari sebelum pelaksanaan seminar kami mendapat 250 peserta.

saya memberikan pengantar seminar

Hari H pun tiba. Selasa 6 Januari 2015, bertempat di Restoran Gajahmada, Jalan Gajahmada Pontianak seminar ini dilaksanakan. Narasumber seminar ini adalah Anthony Dio Martin, seorang motivator terkenal Indonesia. Pak Martin, demikian ia biasa disapa, semasa SD Kanisius dan SMP Suster, rajin menjadi putra altar.Kini ia bermukim di Jakarta namun menunjukkan perhatiannya yang sangat besar untuk pembangunan Gereja Stella Maris. Kalau dalam seminar lainnya beliau dibayar mahal, untuk seminar dalam rangka penggalangan dana pembangunan gereja ini, beliau tidak meminta bayaran. 

Peserta antusias mengikuti seminar

Luar biasa, untuk kali pertamanya kegiatan seperti ini di Pontianak, ada 280 orang peserta yang hadir memenuhi aula lantai 2 Restoran Gajahmada. Ditambah panitia dan undangan, total ada 300 orang yang mengikuti seminar ini.

Seluruh dana yang didapat dari penjualan tiket dan sponsor (dari Puskopdit BKCU Kalimantan, CU Pancur Kasih, CU Stella Maris, CU Khatulistiwa Bakti) disumbangkan untuk pembangunan gereja Stella Maris. Di akhir acara Pak Martin memimpin penggalangan dana melalui amplop-amplop sumbangan. Total dana yang terkumpul dari penjualan tiket, sponsor dan sumbangan berjumlah Rp.90 juta.

"Apa yang dilakukan Pak Martin semoga menjadi inspirasi bagi umat Paroki Stella Maris, baik yang sudah tidak di Pontianak maupun yang masih di Pontianak untuk peduli dan membantu mencarikan dana bagi pembangunan gereja ini,"ujarnya P. Servi,MSC, Pastor Paroki Stella Maris yang hadir dalam seminar tersebut.****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany