Langsung ke konten utama

Agustusan Jogya-Bedono...

"Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu satunya yang tersisa
Proklamator tercinta

Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia....


Bait awal lagu "Hatta' dari Iwan Fals yang dinyanyikan dua orang pengamen di dalam bis Ramayana di terminal Jombor, Jogya pagi itu membangunkanku dari lamunan. Saya baru ingat, hari Minggu ini adalah 17 Agustus, peringatan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Tidak ada hiruk pikuk agustusan di terminal antar kota yang menghubungkan kota-kota di Jawa ke Jogyakarta pagi itu. Saya beruntung, inilah kali pertama bisa merasakan nuansa hari kemerdekaan di tanah Jawa. Hari ini saya ingin mengunjungi anak kami Raja yang baru sebulan sekolah di SMA Sedes dan tinggal di asrama.


Saya naik bis patas Ramayana dari terminal Jombor. Tepat pukul 06.25 bis Patas "Ramayana" berangkat menuju Semarang. Hanya setengah saja penumpangnya karena (mungkin hari libur). Saya memilih kursi persis di belakang supir. Karena alasan keamanan dan kenyaman, pilihan kursi itu agar saya tidak kelewatan dari SMA Sedes di Bedono. Jarak Jogya-Bedono  sekitar 55 kilometer. Bedono cukup dingin karena berada di ketinggian 711 m di ataspermukaan laut; lokasi tertinggi yang dilewati oleh jalur utama yang menghubungkan Jogya- Semarang. Jalur Jogya-Bedono melewati Kabupaten Magelang. Kota kecamatan yang ramai yang dilewati antara lain  Muntilan, Secang, Tidar.



14084379541043192642
Jalanan di Magelang terlihat lengang (foto by edi v.petebang)
Di sepanjang jalan yang saya lalui suasana perayaan kemerdekaan tidak terasa. Orang-orang beraktivitas seperti biasa, seperti yang naik turun bis ini. Hanya Terlihat beberapa pentas kecil di pinggir jalan yang aka nada hiburan malamnya. Di semua kantor pemerintah dan sekolah dilaksanakan upacara bendera. Jalur yang dalam hari normal terkenal padat ini, hari itu lengang.

Tepat pukul 08.15 saya turun di dekat SMA Sedes. Karena di sekolah sedang ramai siswanya, saya turun di ujungnya, di rumah Bu Tatik. Rumah ini tempat saya menginap ketika mengantar Raja sebulan lalu. Rupanya siswa SMA Sedes ikut upacara 17 Agustus di Kantor Desa Bedono. Sekitar pukul 10.00 wib barulah mereka datang ke sekolah.

14084380591782168278
Raja, setelah sebulan di asrama Sedes (foto: edi v.petebang)
Saya senang karena Raja merasa betah di asrama. Apalagi ia dipilih kawan-kawan asramanya sebagai ketua angkatan 2014. "Dik Raja aktif di kegiatan sekolah, Pak,"jelas Pak Ario, pembina asramanya.  Hari sebelumnya, 16 Agustus, SMA Sedes merayakan 25 tahun berkarya. Raja salah seorang pengisi acaranya. Ia memainkan gitar sape' mengiring nyayian lagu daerah. Agustusan ini ia juga menjadi anggota paduan suara sekolanya.


Setelah bersama sekitar dua jam, karena Raja akan latihan paduan suara dan saya pun harus pulang ke Jogya, kami pun berpisah.


Aneka ria bis umum

Setelah menunggu sekitar setengah jam, saya naik bis pulang ke Jogya. Kali ini dapat bis non ac; sesuai saran penjual di warung agar naik bis apa saja yang paling cepat dapat. Bis disesaki penumpang dengan aneka bau badan dan macam-macam bawaan; bahkan ada yang membawa ayam jago.

1408438175407521990
Persawahan di tepi jalan Jogya-Bedono
Meski menyesakkan, naik bis ini membawa banyak kisah: ada suka dan keprihatinan di hari kemerdekaan Indonesia. Setelah berdiri sekitar setengah jam, saya mendapat tempat duduk dekat jendela. Sepanjang jalan berjejer rumah penduduk dengan latar belakang hutan buatan. Yakni pohon sengon, jati, bambu. Beda sekali dengan pohon di Kalimantan.  Di beberapa tempat terlihat sawah terasering.

Naik bis non ac ini menjadi lebih lama dibanding bis patas ac karena sering berhenti. Bahkan di setiap terminal berhenti (ngetem) mencari penumpang antara 10-15 menit. Di terminal Tidar, Magelang, ketika bis mulai berjalan, dari kursi belakang saya dengar ada suara mirip Atiek CB. Ternyata ada pengamen wanita yang berdandan dan bernyanyi meniru suara Atiek CB diiringi gitar dari seorang pria temannya.

14084385021385756765
Pengemis tuna rungu di terminal Magelang (foto: edi v.petebang)
Di terminal Magelang, karena ngetemnya cukup lama, ada banyak jenis pedagang asongan, pengamen dan pengemis yang masuk bis. Yang menarik perhatian saya adalah lelaki pengemis buta yang diiringi perempuan (mungkin isterinya).

Di Muntilan, bis melalui pasar rakyat yang menjual aneka macam produk di pinggir jalan. Di tepi jalan raya Muntilan kita bisa saksikan banyak beragam jenis, bentuk dan ukuran patung dari batu yang dijual.


Di ujung Magelang ketika bis berhenti, masuk dua orang pengemis perempuan setengah baya. Mereka membagikan amplop kecil bertuliskan "mohon bantu untuk membeli susu anak kami". Selesai menyanyi, amplop-amplop tersebut dikumpulkan kembali. Ini model ngamen yang baru pertama kali saya temui. Saya sempatkan memfoto tulisannya dengan hp. Ada-ada saja cara orang mencari uang...  
14084387531050152065
Cara kreatif pengamen..(foto:edi v.petebang)

Sesampai di tengah kota Magelang, bis ngetem di dekat carefour. Di tiang listrik di pinggir jalan saya lihat tiga orang pengamen berbagi saling menghisap setengah batang rokok setelah turun dari ngamen di bis.


Sekitar pukul tiga sore, sekita 2,5 jam perjalanan, sampai di dekat terminal Jombor. Sebagian besar penumpang turun dan sebagian lagi melanjutkan perjalanan entah kemana. Dari terminal Jombor, naik Trans Jogya ke shutle di terminal Condong Catur.Dari Condong Catur naik dijemput Mas Aris, staff CU Cindelaras Tumangkar dan kembali ke wisma Pojok Indah.



Dirgahayu kemerdekaan Indonesia..













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei...

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami ru...

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K...