Langsung ke konten utama

Manjau,Potret Trans Lokal Yang Berhasil



Jalan di kampung Manjau
Sekitar 35 kilometer dari ibu kota Ketapang kita akan sampai di kampung Manjau, Desa Laman Satong. Inilah satu diantara empat kampung warga Dayak yang masuk wilayah kota Ketapang; selain kampung Kepayang, Nek Doyan dan Kecurap. Keberadaan warga Dayak di kampung ini adalah hasil proyek transmigrasi lokal Keuskupan Ketapang. Kampung ini bisa dikatakan sebuah contoh transmgrasi lokal yang berhasil. Hari minggu (9/2) saya bersama Suharto, Jeno Leo dan Anti-Paidin berkesempatan bertemu dengan warga Manjau ini.


Keberadaan trans lokal di manjau bermula tahun 1972. Kala itu Uskup Ketapang, Mgr.G.W. Sillekens melalui Delegasi Sosial (Delsos) membuat sejumlah proyek, antara lain proyek pertanian dan peternakan di Manjau. Dulu ada balai pelatihan pertanian dan ternak. Proyek ini berkelanjutan dan mulai tahun 1981 didatangkanlah warga Dayak Mali dari dari beberapa kampung di Kecamatan Balai-Batang Tarang Kabupaten Sanggau sebagai transmigrasi lokal.
Gereja Manjau

Menurut Yohanes Ujang, 66 tahun, warga trans pertama yang datang ke Manjau, kedatangan mereka ke Manjau karena diminta pihak keuskupan Ketapang untuk mengajari warga Manjau bercocok tanam dan berkebun. Ia dan warga lainnya lalu membawa anak isteri. Mereka diberi tanah dan bebas berladang di hutan. Karena kehidupan baru ini menyenangkan dibanding daerah asalnya, mereka pun memilih menetap di sana hingga kini.

Awalnya mereka hanya 9 kepala keluarga. Lalu datang lagi 21 kepala keluarga dengan rata-rata membawa isteri dan dua anak. Kini jumlah mereka mencapai 200 kepala keluarga atau sekitar seribu jiwa. Menurut Ujang, kehidupan mereka menyenangkan dan lebih baik dibanding daerah asalnya."Atas nama warga trans Manjau, saya mengucapkan terima kasih kepada Keuskupan Ketapang yang telah membawa kami ke Manjau. Meski awalnya berat hidup di daerah baru, namun kini kami merasakan keberhasilan dan kehidupan lebih baik di sini,"ujar Yohanes Ujang kepada saya di rumahnya, di Manjau (10/2).

Kampung Manjau bisa dijadikan contoh poret transmigrasi lokal yang cukup berhasil. Di beberapa tempat transmigrasi lokal ini gagal; terutama yang dilakukan oleh pemerintah. Orang lokal awalnya mau pindah ke daerah trans, tetapi setelah jatah hidupnya habis, mereka kembali lagi ke pedahasan/pedukuhan. Pemukiman trans pun ditinggalkan begitu saja. 

Keberhasilan warga Manjau ini bisa kita lihat dari rumah-rumah permanen yang mereka miliki, kendaraan, kehidupan ekonomi dan kemampuan menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi.

Beberapa tahun ini masuk perusahaan perkebunan sawit dan tambang ke wilayah kampung Manjau. Tentu ini akan membawa dampak positif dan negatif bagi lingkungan dan masyarakat Manjau. Semoga masyarakat Manjau makin maju dan berkembang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany