Langsung ke konten utama

Caleg Masyarakat Adat Rapatkan Kekuatan



Jalur politik adalah salah satu bentuk pilihan perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk menegakkan kedaulatan masyarakat adat di Indonesia. Untuk itulah AMAN mengadakan konsolidasi nasional para caleg yang berasal dari aktivis maupun simaptisan AMAN dari seluruh Indonesia. Acara yang diikuti 75 orang  caleg DPD, DPR, dan DPRD Provinsi atau pun kabupaten-kota ini berlangsung di Jakarta tanggal 16-17 Desember2013.


Menurut Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, pertemuan konsolidasi ini dimaksudkan untuk mempertegas dan memperkuat sinergi antara para caleg yang berasal dari aktivis AMAN Pusat dan daerah untuk memperjuangkanhak-hak masyarakat adat melalui politik. “Sinergi ini penting untuk memperjuangkan cita-cita AMAN,yakni berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
    
Forum konsolidasi ini disampaikan materi dari KPU serta sharing pengalaman dari para tim sukses caleg, anggota legislatif, serta dari Teten Maduki, mantan calon wakil gubernur Jawa Barat. Juga disajikan materi tentang bagaimana berkampanye dengan biaya murah tapi efektif.  

Edi V.Petebang, salah seorang peserta dari Kalimantan Barat mengapresiasi acara ini karena inilah pertama kalinya ada forum lintas partai yang membicarakan nasib mamsyarakat adat. Menurut Edi, ia dan semua peserta berkomitmen penuh untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat melalui jalur politik.

Di akhir acara dilakukan penandatangan kesepahaman bersama antara AMAN dan para caleg DPD dan DPR. Forum serupa akan dilaksanakan di tingkat di wilayah yang akan dihadiri caleg-caleg pro masyarakat adat dari provinsi dan kabupaten/kota***



 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany