Langsung ke konten utama

Kontroversi PKPU 15: Pilih Caleg Atau Parpol?



Oleh Edi V.Petebang

Nuansa,  keriuhan dan kemeriahan suasana Pemilu 9 April2014 mendatang akan berbeda dibanding Pemilu tahun 2009. Bisa dipastikan pemandangan dalam Pemilu 2014 tidak semeriah Pemilu sebelumnya. Kita tidak akan bisa menyaksikan wajah-wajah caleg terpampang di sembarang tempat. Warna-warni pinggir jalan raya oleh baliho, bendera, umbul-umbul tidak semarak dulu.    

Ini terjadi karena KPU sebagai penyelenggara Pemilu menerbitkan Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2013 (PKPU 15) tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Di dalam PKPU 15 secara khusus diatur tentang alat peraga kampanye. Alat peraga kampanye adalah “semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya yang dipasang untuk keperluan Kampanye Pemilu yang bertujuan mengajak orang memilih Peserta Pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD dan DPRD tertentu” (pasal 20 PKPU No.1/2013).

Di dalam pasal 17 ayat (1) PKPU 15/2013 ini kampanye Pemilu dalam bentuk pemasangan alat peraga di tempat umum tidak bisa sembarangan lagi. Dalam pasal ini dikatakan “alat peraga kampanye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan” (pasal 17 ayat 1a).

Peserta Pemilu dapat memasang alat peraga kampanye luar ruang dengan 5 ketentuan (pasal 17 ayat 1b).  Pertama, baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Parpol 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar Parpol dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD.

Kedua, calon anggota DPD dapat memasang baliho atau papan reklame (billboard) 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya. Ketiga, bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Parpol dan calon Anggota DPD pada zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah.

Keempat, spanduk dapat dipasang oleh Parpol dan calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 m hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/ Kota bersama Pemerintah Daerah.

KPU, KPU/KIP Provinsi, KPU/KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan PPLN berkoordinasi dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/ Kelurahan, dan Kantor Perwakilan Republik Indonesia untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye Pemilu.

Kontroversi?
PKPU 15 ini sedikit mengundang kontroversi di kalangan praktisi politik. Penyebabnya karena bertolak belakang dengan ketentuan siapa caleg yang berhak mendapatkan kursi di DPR dan DPRD yang didasarkan pada suara terbanyak. PKPU 15 ini sepertinya ingin menonjolkan partai ketimbang caleg.

Padahal dalam beberapa survey mayoritas calon pemilih akan memilih caleg; bukan parpol. Misalnya surve yang dilakukan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) pada bulan Juni 2013. Dari hasil survey, ternyata 6 dari 10 reponden akan memilih caleg dibanding parpol. Sebanyak 58% responden memilih berdasarkan potensi calon legislatif jika Pemilu legislatif diadakan saat ini; 30% memilih Parpol dan 12% menyatakan tidak memilih.

Dalam survey yang mengambil sampel 1.799 responden di seluruh Indonesia dengan margin of error hingga 2,31 persen dan tingkat keakuratan 95 persen tersebut diketahui bahwa Parpol juga dinilai tidak berfungsi dengan baik sehingga mayoritas responden tak memedulikan adanya Parpol. Mayoritas responden (58,8%) menjawab tidak ada kedekatan dengan partai.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan, kepercayaan rakyat terhadap partai politik memang terus menurun. Partai telah gagal di mata rakyat, apalagi ketika munculnya kasus korupsi dan perilaku kader partai yang kurang disukai rakyat. Rekam jejak caleg pun sangat diperlukan untuk memudahkan rakyat menjatuhkan pilihannya (http://politik.news.viva.co.id).

Peluang
Meski PKPU 15/2013 membatasi ruang gerak individu Caleg untuk memperkenalkan diri kepada calon pemilih, maish banyak peluang dan cara lain yang bisa dilakukan. Dan terutama adalah karya nyata Caleg di masyarakat selama ini. Promosi/kampanye itu sebenarnya untuk memperjelas dan mengingatkan rakyat saja tentang “siapa” caleg.

Hasil survei LIPI tersebut menjadi peluang bagi para Caleg DPR/DPD untuk merebut 186.612.255 pemilih seluruh Indonesia dan kesempatan bagi Caleg DPRD provinsi/kabupaten di Kalbar untuk mendapatkan suara dari 3.513.732 pemilih (DPT). Inilah kesempatan bagi para Caleg yang mempunyai kredibilitas, cakap dan merakyat untuk bisa terpilih sebagai wakil rakyat. Diantara ribuan Caleg, cukup banyak diantara mereka yang layak dipilih.

Kita, rakyat, tentulah berharap Pemilu 2014 menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar menjalankan fungsinya sesuai amanat konstitusi dan peraturan perundangan lainnya. Yakni menjalankan tiga fungsi pokok: legislasi, penganggaran dan pengawasan. Rakyat sedih karena ketiga fungsi pokok wakil rakyat ini belum terpenuhi secara maksimal.

Untuk mendapatkan wakil rakyat yang ideal, yang amanah dan mampu menjalankan fungsinya, kartu kuncinya ada di tangan rakyat sebagai pemilih. Bisa dikatakan, baik buruknya kualitas wakil rakyat kita sebenarnya menunjukkan kualitas para pemilihnya. Jangan tergoda uang, pemberian barang lainnya dan janji-janji Caleg yang akan memberikan ini itu.

Pilihlah Caleg yang berintegritas (bersih, jujur, berakhlak mulia), cakap (mempunyai kapasitas dan ada karya nyata), dan merakyat; caleg yang mempunyai empati (bukan hanya simpati) kepada rakyat, mempunyai komitmen tinggi untuk memperjuangkan aspirasi rakyat--minimal daerah pemilihan yang diwakilinya--secara maksimal.** 
        
Penulis adalah praktisi politik, tinggal di Pontianak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany