Langsung ke konten utama

Prambanan, My Amazing Indonesian….



Dari sekian banyak tempat menarik dan unik di Jogyakarta, bagi saya yang paling ingin dikunjungi adalah candi Prambanan. Keinginan itu menjadi kenyataan pada hari Sabtu, 28 September 2013. Setelah lima hari setengah bergulat dengan materi training strategic planning dan business plan (SPBP) credit union yang diselenggarakan Puskopdit BKCU kalimantan, setengah hari terakhir kami berkesempatan jalan-jalan. Training untuk menjadi trainer SPBP credit ujin ini diikuti 47 peserta dari 15 credit union anggota BKCUK dari Kalimantan, Jawa, dan Sumatera.
 
banyak warga dalam-luar negeri mengagumi kemegahan candi prambanan
Momen itu saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dari tempat kegiatan pelatihan di Hotel Colombo di kawasan Candi Kalasan, ke candi Prambanan hanya sekitar 5 menit dengan Trans Jogya dengan tari Rp3.000 (PP hanya Rp 6.000). Dari halte Trans Jogya berjalan kaki sekitar 500 meter sampailah ke candi-candi Prambanan. Dengan membayar tiket masuk Rp30.000 perorang kita dengan puas bisa berkeliling dan naik ke candi-candi di sana.    

Di arah pintu keluar candi kia bisa melihat museum Borobudur dan Taman Dolanan Nusantara. Jika Anda hobi menyanyi, ada juga pentas musik di dekat museum ini. Setelah capek berjalan mengelilingi candi-candi, di pintu keluar tersedia kedai-kedai yang menjual makanan dan minuman.

Jika belum sempat membeli oleh-oleh dari Jogya, jangan kuatir karena di ujung pintu keluar kita dapat membeli aneka bentuk souvenir khas Jogya dan Candi Prambanan. Seperti baju kaos, kemeja, celana, sepatu/sandal, topi, anek tas, patung, gerabah, gantungan kunci, mainan anak-anak, lukisan dari kanvas dan kulit, aneka makanan dan minuman; dan yang tidak terlupakan: bakpia pathok dan salak pondoh. Harga barang di sini mulai seribu hingga jutaan; tidak jauh berbeda dengan harga barang di Malioboro; asalkan pandai-pandai menawar harganya.     

Tahun lalu (2012) bersama kawan-kawan dari credit union dalam sebuah acara BKCUK juga, saya berkesempatan berkunjung ke candi Borobudur. Menurut saya keduanya mempunyai nuansa dan nilai yang berbeda. Candi Borobudur hanya satu buah dengan ukuran besar; sedangkancandi Prambanan terdiri dari belasan candi besar dan jika hikayat RoroJongrang benar, Prambanan ini terdiri dari seribu buah candi. Kesamaan keduanya adalah betapa hebatnya orang Indonesia jaman dulu yang bisa membuat bangunan monumental ini. Bukan hanya kita, dunia pun mengakui kehebatan maha karya ini sehingga PBB menjadikan kedua candi kebanggan Indonesia ini sebagai warisan dunia.

Melihat dari dekat ukiran-ukiran di batu kali yang ditumpuk-tumpuk tanpa lem sehingga membentuk candi, membuat kita takjub. Benar-benar karya agung yang menakjubkan dari bangsa Indonesia. Sayang, masih banyak candi di komplek Prambanan ini yang ambruk akibat gempa Jogya yang hingga kini (29/9/2013) belum dikonstruksi ulang. Reruntuhan candi terlihat berserakan di arah pintu keluar.   

Untuk mengetahui lebih lengkap tentang candi Prambanan ini, berikut ini saya copy paste-kan tulisan tentang sejarah candi prambanan yang dimuat di situs http://candi.pnri.go.id.


Candi Prambanan terletak di lingkungan Taman Wisata Prambanan, kurang lebih 17 km ke arah timur dari Yogyakarta, tepatnya di Desa Prambanan Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya hanya sekitar 100 m dari jalan raya Yogya-Solo, sehingga tidak sulit untuk menemukannya. Sebagian dari kawasan wisata yang yang terletak pada ketinggian 154 m di atas permukaan laut ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman,  sedangkan sebagian lagi masuk dalam wilayah Klaten.

Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun dan atas perintah siapa, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Syiwagrha yang ditemukan di sekitar Prambanan dan saat ini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti berangka tahun 778 Saka (856 M) ini ditulis pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.

Pemugaran Candi Prambanan memakan waktu yang sangat panjang, seakan tak pernah selesai. Penemuan kembali reruntuhan bangunan yang terbesar, yaitu Candi Syiwa, dilaporkan oleh C.A. Lons pada tahun 1733. Upaya penggalian dan pencatatan pertama dilaksanakan di bawah pengawasan Groneman. Penggalian diselesaikan pada tahun 1885, meliputi pembersihan semak belukar dan pengelompokan batu-batu reruntuhan candi.

Pada tahun 1902, upaya tersebut dilanjutkan kembali oleh van Erp. Pengelompokan dan identifikasi batu-batu reruntuhan dilaksanakan secara lebih rinci. Pada tahun 1918, pemugaran terhadap Candi Prambanan dilanjutkan kembali di bawah pengawasan Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst) yang dipimpin oleh P.J. Perquin. Melalui upaya ini, sebagian dari reruntuhan Candi Syiwa dapat direkonstruksi kembali. 

Pada tahun 1926, dibentuk sebuah panitia pemugaran di bawah pimpinan De Haan untuk melanjutkan upaya yang telah dilaksanakan Perquin. Di bawah pengawasan panitia ini, selain pembangunan kembali Candi Syiwa semakin disempurnakan hasilnya, dimulai juga persiapan pembangunan Candi Apit.

Pada tahun 1931, De Haan meninggal dan digantikan oleh V.R. van Romondt. Pada tahun 1932, pemugaran kedua Candi Apit berhasil dirampungkan. Pemugaran terpaksa dihentikan pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih pemerintahan di Indonesia.  Setelah melalui proses panjang dan tersendat-sendat akibat perang dan peralihan pemerintahan, pada tahun 1953 pemugaran Candi Syiwa dan dua Candi Apit dinyatakan selesai. Sampai saat ini, pemugaran Candi Prambanan masih terus dilaksanakan secara bertahap.

Denah asli Candi Prambanan berbentuk persegi panjang, terdiri atas halaman luar dan tiga pelataran, yaitu Jaba (pelataran luar), Tengahan (pelataran tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar merupakan areal terbuka yang mengelilingi pelataran luar. Pelataran luar berbentuk bujur dengan luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi oleh pagar batu yang kini sudah tinggal reruntuhan. Pelataran luar saat ini hanya merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula terdapat bangunan atau hiasan lain di pelataran ini.

Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling, terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2 dan tinggi 14 m.  Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya saja.

Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan tinggi 4 m.
Reruntuhan candi yang belum dibangun ulang


Di pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara selatan. Di barisan barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara adalah Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di barisan timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi nama sesuai dengan binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya terletak di hadapannya.

Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang disebut Candi Apit.

CANDI SYIWA

Pada saat ditemukan, Candi Syiwa berada dalam kondisi rusak berat. Pemugarannya memakan waktu yang cukup lama, yaitu dimulai pada tahun 1918 dan baru selesai pada tahun 1953. Dinamakan Candi Syiwa karena di dalam candi ini terdapat Arca Syiwa. Candi Syiwa dikenal juga dengan nama Candi Rara Jonggrang, karena dalam salah satu ruangannya terdapat Arca Durga Mahisasuramardani, yang sering disebut sebagai Arca Rara Jonggrang. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m.  Candi Syiwa, yang terletak di tengah barisan barat, merupakan candi terbesar. Denah dasarnya berbentuk bujur sangkar seluas 34 m2 dengan tinggi 47 m.
Sepanjang dinding kaki candi dihiasi dengan pahatan dua macam hiasan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama adalah gambar seekor singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru. Hiasan ini terdapat di semua sisi kaki Candi Syiwa dan kelima candi besar lainnya.

Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan singa di atas diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang binatang yang sedang berteduh di bawah sebatang pohon kalpataru yang tumbuh dalam jambangan. Berbagai binatang yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak, kijang, kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger dua ekor burung.

Pada sisi-sisi lain dinding kaki candi, baik kaki Candi Syiwa maupun candi besar lainnya, panil bergambar binatang ini diganti dengan panil ber gambar kinara-kinari, sepasang burung berkepala manusia, yang juga sedang berteduh di bawah pohon kalpataru.

Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Tangga atas ini dilengkapi dengan pipi tangga yang dindingnya dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan binatang. Pangkal pipi tangga dihiasi pahatan kepala naga yang menganga lebar dengan sosok dewa dalam mulutnya. Di kiri dan kanan tangga terdapat candi kecil yang beratap runcing dengan pahatan Arca Syiwa di keempat sisi tubuhnya.

Di puncak tangga terdapat gapura paduraksa menuju lorong di permukaan batur. Di atas ambang gapura terdapat pahatan Kalamakara yang indah. Di balik gapura terdapat sepasang candi kecil yang mempunyai relung di tubuhnya. Relung tersebut berisi Arca Mahakala dan Nandiswara, dewa-dewa penjaga pintu.
Di permukaan batur terdapat selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi tubuh candi. Selasar ini dilengkapi dengan pagar atau langkan, sehingga bentuknya mirip sebuah lorong tanpa atap. Lorong berlangkan ini berbelok-belok menyudut, membagi dinding candi menjadi 6 bagian.  Sepanjang dinding tubuh candi dihiasi deretan pahatan Arca Lokapala. Lokapala adalah dewa-dewa penjaga arah mata angin, seperti Bayu, Indra, Baruna, Agni dan Yama.
 
salah satu relief di dinding candi
Sepanjang sisi dalam dinding langkan terpahat relief Ramayana. Cerita Ramayana ini dipahatkan searah jarum jam, dimulai dari adegan Wisnu yang diminta turun ke bumi oleh para raja guna mengatasi kekacuan yang diperbuat oleh Rahwana dan diakhiri dengan adegan selesainya pembangunan jembatan melintas samudera menuju Negara Alengka. Sambungan cerita Ramayana terdapat dinding dalam langkan Candi Brahma.

Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat 2 motif pahatan yang ditampilkan berselang-seling, yaitu gambar 3 orang yang berdiri sambil berpegangan tangan dan 3 orang yang sedang memainkan berbagai jenis alat musik.

Pintu masuk ke ruangan-ruangan dalam tubuh candi terdapat di teras yang lebih tinggi lagi. Untuk mencapai teras atas, terdapat tangga di depan masing-masing pintu ruangan. Dalam tubuh candi terdapat empat ruangan yang mengelilingi ruangan utama  yang terletak di tengah tubuh candi. Jalan masuk ke ruangan utama adalah melalui ruang yang menghadap ke timur. Ruangan ini ruangan kosong tanpa arca atau hiasan apapun. Pintu masuk ke ruang utama letaknya segaris dengan pintu masuk ke ruang timur. Ruang utama ini disebut Ruang Syiwa karena di tengah ruangan terdapat Arca Syiwa Mahadewa, yaitu Syiwa dalam posisi berdiri di atas teratai dengan satu tangan terangkat di depan dada dan tangan lain mendatar di depan perut. Arca Syiwa tersebut terletak di atas umpak (landasan) setinggi sekitar 60 cm, berbentuk yoni dengan saluran pembuangan air di sepanjang tepi permukaannya. Konon Arca Syiwa ini menggambarkan Raja Balitung dari Mataram Hindu (898 - 910 M) yang dipuja sebagai Syiwa.
salah satu arca di depan museum

Tidak terdapat pintu penghubung antara Ruang Syiwa dengan ketiga ruang di sisi lain. Ruang utara, barat, dan selatan memiliki pintu sendiri-sendiri yang terletak tepat di depan tangga naik ke teras atas. Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, yaitu Durga sebagai dewi kematian, yang menggambarkan permaisuri Raja Balitung. Durga digambarkan sebagai dewi bertangan delapan dalam posisi berdiri di atas Lembu Nandi menghadap ke Candi Wisnu. Satu tangan kanannya dalam posisi bertelekan pada sebuah gada, sedangkan ketiga tangan lainnya masing-masing memegang anak panah, pedang dan cakram. Satu tangan kirinya memegang kepala Asura, raksasa kerdil yang berdiri di atas kepala mahisa (lembu), sedangkan ketiga tangan lainnya memegang busur, perisai dan bunga. Arca Durga ini oleh masyarakat sekitar disebut juga Arca Rara Jonggrang, karena arca ini diyakini sebagai penjelmaan Rara Jonggrang. Rara Jonggrang adalah putri raja dalam legenda setempat, yang dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bandawasa.

Dalam ruang barat terdapat Arca Ganesha dalam posisi bersila di atas padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak kaki saling bertemu. Kedua telapak tangan menumpang di lutut dalam posisi tengadah, sementara belalainya tertumpang dilengan kiri. Arca Ganesha ini menggambarkan putra mahkota Raja Balitung. selempang di bahu menunjukkan bahwa ia juga seorang panglima perang.

Dalam ruang selatan terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru. Arca ini meliliki postur tubuh agak gemuk dan berjenggot. Syiwa Mahaguru digambarkan dalam posisi berdiri menghadap ke Candi Brahma di selatan dengan tangan kanan memegang tasbih sdan tangan kiri memegang sebuah kendi. Di belakangnya, di sebelah kiri terdapat pengusir lalat dan di sebelah kanan terdapat trisula. Konon Arca Syiwa Mahaguru ini menggambarkan seorang pendeta penasihat kerajaan.

CANDI WISNU
Candi Wisnu terdapat di sebelah utara Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang membentuk selasar berlangkan. Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.

Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat relief Krisnayana. Krisnayana adalah kisah kehidupan Krisna sejak ia dilahirkan sampai ia berhasil menduduki tahta Kerajaaan Dwaraka.
Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.

Candi Wisnu hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Wisnu dalam posisi berdiri di atas 'umpak' berbentuk yoni. Wisnu digambarkan sebagai dewa bertangan 4. Tangan kanan belakang memegang Cakra (senjata Wisnu) sedangkan tangan kiri memegang tiram. Tangan kanan depan memegang gada dan tangan kiri memegang setangkai bunga teratai.

CANDI BRAHMA
Candi Brahma letaknya di sebelah selatan Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang membentuk selasar berlangkan. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.

Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat kelanjutan cerita Ramayana di dinding dalam langkan Candi Syiwa. Penggalan cerita Ramayana di Candi Brahma ini mengisahkan peperangan Rama dibantu adiknya, Laksmana, dan bala tentara kera melawan Rahwana sampai pada Sinta pergi mengembara ke hutan setelah diusir oleh Rama yang meragukan kesuciannya. Sinta melahirkan putranya di hutan di bawah lindungan seorang pertapa.
Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, menghadap ke luar, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan Brahma sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.

Candi Brahma juga hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Brahma dalam posisi berdiri di atas umpak berbentuk yoni. Brahma digambarkan sebagai dewa yang memiliki empat wajah, masing-masing menghadap ke arah yang berbeda, dan dua pasang tangan. Pada dahi di wajah yang menghadap ke depan terdapat mata ketiga yang disebut 'urna'. Patung Brahma itu sebetulnya sangat indah, tetapi sekarang sudah rusak. Dinding ruang Brahma polos tanpa hiasan. Pada dinding di setiap sisi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.

Candi Nandi
Candi ini mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, yaitu ke Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci tunggangan Dewa Syiwa. Jika dibandingkan dengan Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di sebelah kanan dan kirinya, Candi Nandi mempunyai bentuk yang sama, hanya ukurannya sedikit lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa, pada dinding kaki terdapat dua motif pahatan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama merupakan gambar singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru dan yang kedua merupakan gambar sepasang binatang yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di atas pohon bertengger dua ekor burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat juga pada candi wahana lainnya.

Candi Nandi memiliki satu ruangan dalam tubuhnya. Tangga dan pintu masuk ke ruangan terletak di sisi barat. Dalam ruangan terdapat Arca Lembu Nandi, kendaraan Syiwa, dalam posisi berbaring menghadap ke barat. Dalam ruangan tersebut terdapat juga dua arca, yaitu Arca Surya (dewa matahari) yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda dan Arca Candra (dewa bulan) yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh sepuluh ekor kuda. Dinding ruangan tidak dihias dan terdapat sebuah batu yang menonjol pada tiap sisi dinding yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak. Dinding lorong di sekeliling tubuhcandi juga polos tanpa hiasan pahatan.


Candi Garuda.  Candi ini letaknya di utara Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Wisnu. Garuda merupakan burung tunggangan Wisnu. Bentuk dan hiasan pada kaki dan tangga Candi Garuda serupa dengan yang terdapat di Candi Nandi. Walaupun dinamakan candi Garuda, namun tidak terdapat arca garuda di ruangan dalam tubuh candi. Di lantai ruangan terdapat Arca Syiwa dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di Candi Syiwa. Arca ini diketemukan tertanam di bawah candi, dan sesungguhnya tempatnya bukan di dalam ruangan tersebut.

Candi Angsa.  Candi ini letaknya di selatan Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Brahma. Angsa merupakan burung tunggangan Brahma. Ukuran, bentuk dan hiasan pada kaki dan tangga Candi Angsa serupa dengan yang terdapat di Candi Garuda. Ruangan di dalam tubuh candi dalam keadaan kosong. Dinding ruangan juga tidak dihias, hanya terdapat batu yang menonjol pada dinding di setiap sisi ruangan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.

CANDI APIT
Candi Apit merupakan sepasang candi yang saling berhadapan. Letaknya, masing-masing, di ujung selatan dan ujung utara lorong di antara kedua barisan candi besar. Kedua candi ini berdenah bujur sangkar seluas 6 m2 dengan ketinggian 16 m.  tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Tidak terdapat selasar di permukaan kaki candi. Masing-masing mempunyai satu tangga menuju satu-satunya ruangan dalam tubuhnya. Hanya ada hal yang istimewa tentang candi ini, ialah ketika candi ini sudah selesai di bangun kembali, kelihatan sangat indah.
CANDI PENJAGA
Selain keenam candi besar dan dua candi apit yang telah diuraikan di atas, di pelataran atas masih terdapat delapan candi berukuran sangat kecil, yaitu dengan denah dasar sekitar 1,25 m2. Empat di antaranya terletak di masing-masing sudut latar, sedangkan empat lainnya ditempatkan di dekat gerbang masuk ke pelataran atas.

Wajah Prambanan sekarang telah terlihat cantik. Di depan komplek candi, dibangun panggung pentas sendratari Ramayana dan Taman Wisata Prambanan yang dapat mempercantik wajah komplek Prambanan.

Roro Jonggrang - Legenda Candi Prambanan
Dahulu kala ada seorang raja bernama Prabu Boko yang memerintah di Prambanan. Prabu Boko adalah seorang raksasa yang sakti. Ia mempunyai seorang puteri yang bernama Roro Jonggrang. Roro Jonggrang sangat cantik.

Berbatasan dengan kerajaan Boko ada sebuah kerajaan bernama Pengging. Pada suatu hari raja Pengging ingin memperluas wilayah kerajaannya, maka ia mengutus puteranya, Bandung Bondowoso memimpin pasukan menyerang kerajaan Prambanan. Bandung Bondowoso berhasil mengalahkan pasukan Boko bahkan membunuh raja Boko.

Bandung Bondowoso pun tinggal di istana Prambanan. Ia jatuh cinta kepada Roro Jonggrang dan meminta gadis itu menjadi permaisurinya. Roro Jonggrang tidak ingin menjadi isteri Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahandanya. Ia mencari akal agar dapat menolak pinangan pangeran Pengging itu dengan halus.

Akhirnya ia menemui Bandung Bondowoso dan berkata, “Aku mau menjadi isterimu, tetapi sebagai syaratnya engkau harus membuat dua buah sumur dan seribu candi dalam waktu semalam.”Meskipun syarat yang diajukan Roro Jonggrang mustahil dipenuhi orang lain, Bandung Bondowoso langsung menyanggupinya. Ia mengumpulkan makhluk-makhluk halus yang menjadi anak buahnya dan mulai menggali sumur dan membangun candi.

Bandung Bondowoso dan anak buahnya bekerja dengan sangat cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah menyelesaikan sebuah sumur dan ratusan candi.

Roro Jonggrang mengamati dari kejauhan dengan cemas. Ia berpikir keras untuk menemukan cara menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang pun memanggil dayang-dayang dan menyuruh mereka membakar jerami dan menabuh lesung.

Api dari jerami yang dibakar membuat suasana menjadi terang dan suara tabuhan lesung yang gaduh mengejutkan makhluk-makhluk halus yang sedang bekerja. Mereka mengira hari telah pagi. Mereka pun melarikan diri, meninggalkan Bandung Bondowoso serta sumur dan candi yang belum selesai.

Bandung Bondowoso berusaha memanggil mereka kembali, tetapi mereka tetap meninggalkannya. Roro Jonggrang menemui Bandung Bondowoso dan bertanya, “Waktumu sudah habis, Bandung. Apakah candiku sudah selesai?” 

Bandung Bondowoso sangat marah karena ia tahu Roro Jonggrang telah menggagalkan kerja kerasnya, namun ia berusaha menahan diri, “Tentu saja candi sudah selesai. Kalau tak percaya, silakan kau hitung sendiri.” Roro Jonggrang ditemani dayang-dayangnya menghitung candi satu persatu. Ternyata Bandung Bondowoso telah berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi. 

“Kau gagal, Bandung. Masih kurang satu candi lagi,” kata Roro Jonggrang.
Bandung Bondowoso naik darah, “Kalau kau tidak berbuat curang, aku pasti bisa menyelesaikan seribu candi untukmu, Jonggrang,” katanya.

“Baiklah, aku penuhi keinginanmu. Jadilah kau, Roro Jonggrang, candi yang keseribu!” kutuk Bandung Bondowoso.

Maka Roro Jonggrang pun menjelma menjadi patung batu yang sangat cantik dan ajaib, batu-batu tersusun satu demi satu dengan sendirinya membentuk candi,  mengelilingi patung itu. 
Sampai sekarang patung batu Roro Jonggrang yang cantik dapat kita saksikan di dalam ruangan candi utama di Prambanan.*******


Jogyakarta, 29 September 2013



Komentar

Lusi Andriani Banong mengatakan…
MANTAP PAK TULISANNYA. BLOGNYA JUGA KEREN. SALAM KENAL.
jalan-kalimantan mengatakan…
iya bu, semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei...

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami ru...

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K...