Langsung ke konten utama

Malino, Kota Dingin Yang Mendamaikan


Suhu dingin dan angin gunung yang bertiup kencang segera menyergap. Jalanan berkelok-kelok menyusuri tepian jurang sungai dan mendaki gunung.  Gemuruh suara dari daun-daun pinus yang ditiup angin kencang menyambut kita memasuki wilayah Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
 
Penulis dgn latar belakang kios bunga di Malino
Saya beruntung bisa menikmati indahnya alam dan historisnya Malino. Bersyukur bisa duduk di kapel tempat Konferensi Malino dan menyaksikan hotel tempat deklarasi Malino. Juga beruntung bisa memfasilitasi pelatihan penulisan untuk 49 orang staff credit union-credit union anggota Puskopdit BKCUK di wilayah Indonesia Timur di Malino (21-24/8). Yakni CU Sauan Sibarung (Tana Toraja), Mekar Kasih (Makasar), Kasih Sejahtera (Atambua), Bahtera Sejahtera, Sinar Saron (Larantuka), Mototabian (Sulut), Hati Amboina (Ambon), Likku Abba, Ndar Sesepok (Agats), Prima Danarta (Surabaya) dan Pancur Dangeri (Kalbar). Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang menikmati damainya daerah mereka karena Deklarasi Malino.    

Kapel eks konferensi Malino
Konferensi Malino di kapel suster JMJ
Malino adalah kota kecil yang bersejarah bagi banga Indonesia, sejak jaman Belanda hingga kemerdekaan. Pada bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Tanggal 15-25 Juli 1946 di Malino dilaksanakan konferensi wakil-wakil daerah dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian: Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya. Konferensi ini bertujuan membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur. Konferensi yang kemudian dinamakan “Konferensi Malino” ini dihadiri oleh 39 orang dari 15 daerah dari Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost).



Dalam konferensi yang dipimpin GUbernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook tersebut dibentuk Komisariat Umum Pemerintah (Algemeene Regeeringscommissaris) untuk Kalimantan dan Timur Besar yang dikepalai Dr. W. Hoven. Diangkat pula menjadi anggota luar biasa Dewan Kepala-kepala Departemen (Raad van Departementshooden) untuk urusan kenegaraan adalah Sukawati (Bali), Najamuddin (Sulawesi Selatan), Dengah (Minahasa), Tahya (Maluku Selatan), Liem Tjae Le (Bangka, Belitung, Riau), Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan) dan Oeray Saleh (Kalimantan Barat), yang disebut pula "Komisi Tujuh" (lihat di http://id.wikipedia.org/wiki). Nama Malino pun melambung ke seluruh dunia setelah konferensi itu.

Air terjun Tikallang
Konferensi tersebut dilaksanakan di sebuah kapel Katolik di kota Malino, karena itulah satu-satunya tempat yang layak. Saat ini kapel tersebut masih ada dan tetap berfungsi sebagai kapel yang dikelola biarawati JMJ (Jesus Marie Joseph). Jika hari minggu kapel yang berkapasitas sekitar 70 orang ini disejajali umat dari Makasar yang berlibur di Malino untuk ikut misa kudus.   

Malino kembali menyita perhatian publik Indonesia dan dunia ketika 12 Februari 2002 dilaksanakan Deklarasi Malino I dan II yang menghasilkan Deklarasi Malino I dan II untuk menghentikan konflik agama yang berdarah selama 36 bulan (1999-2002) di Ambon, Maluku. Deklarasi Malino ini diprakarsai dan dipimpin oleh HM Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI yang memang berasal dari Sulsel. Jusuf Kalla pernah mengungkapkan bahwa ia memilih Malino sebagai tempat penyelenggaraan perdamaian konflik Ambon karena posisi strategis Malino yang sangat mudah disterilkan keamanannya lantaran hanya ada satu jalur dari Makasar; dan iklimnya yang dingin sehingga dapat mendinginkan suasana yang panas dan menyejukkan hati yang dendam.


Kota Wisata

Pemandian lembah biru
Tidak diketahui dengan pasti apa arti kata Malino. Dulu warga menyebutnya kampung ‘Lapparak’, yang dalam bahasa Makassar berarti datar. Maksudnya, hanya di tempat itulah yang merupakan daerah datar diantara gunung-gunung. Malino mulai dikenal dan makin popular sejak zaman penjajahan Belanda. Yakni saat Gubernur Jenderal Caron memerintah di “Celebes on Onderhorighodon mulai tahun 1927 menjadikan Malino tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah. Kini pun Malino menjadi tempat peristirahatan, terutama warga dari Makasar, dan tempat lain di Sulawesi Selatan.

Daerah yang terletak 90 km arah Selatan dari Kota Makasar ini memiliki banyak obyek wisata alam yang menjadi magnet bagi para wisatawan. Jika hari Sabtu-Minggu dan hari libur “Kota Bunga” ini disesaki para pelancong. Suhu yang berkisar antara 17-22 derajat Celsius menjadikan tempat ini nyaman untuk beristirahat.

Ada obyek wisata berupa hutan wisata berupa pohon pinus yang tinggi berjejer di antara bukit dan lembah. Ada wisata air terjun Lembanna atau air terjun seribu tangga, air terjun takapala, air terjun parang bugisi, air terjun lembanna, air terjun malino, air terjun biroro, kebun teh nittoh, pemandian lembah biru, bungker peninggalan Jepang, kapel tempat Konferensi Malino, hotel tempat Deklarasi Malino; ada tempat untuk outbond.

Suhu yang dingin menjadikan Malino sentra pertanian. Buah-buahan dan sayuran tumbuh subur lereng Gunung Bawakaraeng, gunung berapi yang tidak aktif lagi yang sebagian warga dianggap suci dan keramat. Ada istilah “Naik Haji” ke gunung ini. Kol, brokoli, bawang prei, kentang, tomat, wortel dan stroberi dengan mudah tumbuh di sini. Harganya pun murah. Bunga brokoli misalnya hanya Rp.10.000 per kilogram.

Penulis bersama peserta pelatihan menulis-PSDM2
Kita bisa belanja oleh-oleh khas, yakni buah markisa, dodol ketan, Tenteng Malino, apel, wajik, dll. Malino juga menjadi daerah penghasil beras bagi wilayah Sulawesi Selatan. Atau kita bisa juga membeli bibit bunga yang dijual di pondok-pondok bunga di tepi jalan. Bunga juga menjadi salah satu ciri khas kota ini sehingga juga disebut “kota bunga”.

Sebagai daerah tujuan wisata, di sini tersedia hotel, wisma, villa, dan penginapan. Tarif hotel berkisar Rp.300.000,-sampai Rp.500.000,- per malam. Bisa berhemat dengan memilih wisma yang harganya sekitar Rp.200.000,-per malam. Atau jika ingin lebih ekonomis, juga tersedia penginapan yang tarifnya sekitar Rp.100.000,- per malam.

Sambil menikmati indahnya pemandangan di bebukitan dan menuruni kelok-kelok jalanan menuju Makasar, saya teringat akan pesan perdamaian di Malino. Malino mengingatkanku akan prasasti perdamaian serupa yang juga banyak dibuat di Kalbar dan daerah lain untuk momentum penghentian konflik kekerasan. Saya, kita, diingatkan untuk merawat dan mengisi perdamaian. Kita, terutama para elit, diingatkan untuk tidak mempergunakan kekerasan atas nama apapun demi meraih kekuasaan dan kepentingan pribadi dan golongannya karena ketika terjadi konflik kekerasan, kita semua adalah korbannya.***


Edi V.Petebang dari Malino, 25 24 Agustus 2013

Komentar

susantho mengatakan…
komplit.
mohon ijin ya saya jadikan bahan referensi.
jalan-kalimantan mengatakan…
silakan mas susantho..

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei...

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami ru...

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K...