Setiap tanggal 21 April
bangsa kita merayakan Hari Kartini, hari emansipasi wanita; momentum untuk
melawan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Peran dan status perempuan
di dunia ini unik: dalam semua suku bangsa, agama, ia dipuji, ditinggikan;
namun di sisi lain diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan masih
sangat tinggi hingga saat ini.
Ilustrasi tentang kemuliaan
ibu (perempuan) ini terlukiskan dengan pas dalam tulisan P.Ludo, SX dalam
"Perempuan dan Keadilan", Seri Forum LPPS No.36. Berikut potongan
teksnya.
Tidak terhitung jumlah ciptaan Allah di dunia ini. Namun yang membuat paling sibuk adalah saat menciptakan IBU. Untuk menciptakan seorang ibu, Beliau (Allah) bekerja lembur selama 6 hari. Bayangkan, untuk menciptakan langit dan bumi Allah membutuhkan cukup satu hari saja.

Tidak terhitung jumlah ciptaan Allah di dunia ini. Namun yang membuat paling sibuk adalah saat menciptakan IBU. Untuk menciptakan seorang ibu, Beliau (Allah) bekerja lembur selama 6 hari. Bayangkan, untuk menciptakan langit dan bumi Allah membutuhkan cukup satu hari saja.
Di tengah kesibukkanNya,
datanglah Malaikat katanya: “Wah alangkah sibuknya Allah mengerjakan seorang
ini (Ibu)”. Ya, sebab tuntutan pemesan sangat banyak. Apa kau sudah baca,”
jawab Allah? “ Belum, kata malaikat,”. Coba kau lihat ini: ia harus tahan air,
tetapi tidak boleh dibuat dari plastic; dia harus mempunyai 180 bagian yang
dapat digerak-gerakan dan dapat diganti apabila rusak; ia harus mampu bekerja
berat dengan hanya minum kopi pahit dan makanan sisa; ia harus mempunyai
pangkuan yang besar bila duduk, tetapi ia harus langsing ketika berdiri;
ciumannya harus mampu menyembuhkan apa saja, kaki yang patah hingga hati yang
patah; ia sanggup memberi makan secukupnya bagi keluarganya yang besar itu,
hanya dengan satu kilogram beras; ia mampu meyakinkan anaknya yang berumur empat tahun untuk mandi dan bersisir sendiri.
Malaikat mengitari ibu yang
diciptakannya perlahan-lahan sambil memegang, “ Ini sih terlalu lunak,”katanya.
“Biarpun lunak tetapi ia kuat sekali”, kata Allah dengan gembira. Sebab engkau
tidak membayangkan berapa banyak yang dapat dikerjakan dan berapa banyak yang
diderita oleh ibu.”
Akhirnya malaikat menunduk
sambil meraba pipi ibu itu, “Wah ada kebocoran. Sudahlah, Engkau terlalu
memaksakan banyak sifat dalam makhluk ini,”kata Malaikat kepada Allah.
Allah mendekati ciptaanNya,
meneliti dengan hati-hati. Ia mengambil cairan dari pipi pada ujung jariNya. ”Ah…
ini bukan kebocoran, ini air mata”. “Air mata?,”seru Malaikat heran, untuk apa
air mata itu? “Oh…, air mata dapat menjawab bermacam pertanyaan yang menyangkut
perasaan hatinya, seperti kegirangan, kesedihan, kekecewaan, kasih sayang,
penderitaan, kesepian, kebanggaan, kedukaan, penghiburan, dan lainnya”. “Allah,
Engkau sungguh luar biasa,”puji Malaikat.
Ilustrasi ini menggambarkan
betapa mulia hidup seorang perempuan. Dan itulah kenyataan hidup sehari-hari.
Dalam semua suku bangsa (dan agama) di dunia ini, perempuan ditempatkan pada
posisi yang tinggi.
Misalnya dalam suku bangsa
Dayak Kanayatn di Kalbar. Menurut kepercayaan orang Kanayatn, Nek Panitah
sebagai dewa tertinggi yang membawahi Jubata, Kamang dan Antu, mempunyai
seorang isteri yang bernama Nek Duniang. Artinya kedua suami isteri dewa ini
secara bersama memimpin alam semesta. Di beberapa subsuku Dayak lainnya perempuan menduduki posisi strategis dalam masyarakat
seperti kepala adat, tabib/balin, kepala kampung. Pada Dayak Jalai di Ketapang
(Kalbar) hukum adat memberi perhatian lebih untuk perempuan. Misalnya, jika
yang dibunuh perempuan,maka si pembunuh dihukum lebih berat dibanding lelaki
karena jika membunuh perempuan sama artinya membunuh banyak orang (reproduksi).
Orang Minangkabau yang menganut paham matrilineal, perempuan
adalah kepala keluarga, pemililk seluruh kekayaan, pemimpin masyarakatnya
(disebut bundo kanduong). Dalam masyarakat Jawa, wanita disebut perempuan.
Berasal dari kata empu (Jawa kuno), berarti pemimpin (raja), orang pilihan,
ahli, yang pandai, pintar. “Indung tunggul
rahayu bapa tangkal darajat”. Artinya tiada keselamatan, kebahagiaan, dan
kesejahteraan tanpa doa ibu dan bapak,”kata orang Sunda.
Dalam agama Islam, Hindu,
Budha, Kristiani dan sebagainya, posisi perempuan setara dengan laki-laki.
Diskriminasi-Refleksi
Teori dan fakta berkata lain
tentang perempuan. Data menunjukkan 33% perempuan
Indonesia tidak tamat sekolah dasar; perempuan
buta huruf 14,5 % lebih besar dari pria 6,9% dan hidup di bawah garis
kemiskinan; dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur dan
budaya hukum yang diskriminatif gender—meskipun ada produk hukum khusus untuk
perempuan (UU No.7/1984/penghapusan diskriminasi, UU No 23/2004/KDRT, UU Pemilu 2004, Inpres 9/2000 PUG).
Dalam masa
pen-Caleg-an ini sejumlah Parpol kesulitan memenuhi kuota 30 persen perempuan.
Akhirnya (diduga) sejumlah Caleg perempuan lebih untuk memenuhi kuota saja;
tidak benar-benar dipersiapkan Parpol; perempuan belum diberikan porsi yang
proporsional dalam kepengurusan Parpol dalam semua jenjang
(pusat-daerah-cabang-ranting).
Harus diakui masih ada pandangan umum bahwa
perempuan di sektor domestik saja, urusan rumah. Sikap ini sebagai dampak dari
praktek hegemoni lelaki dari jaman bahula yang masih kental melekat di
masyarakat. Namun kita yakin, pelan tapi pasti jika perempuan terus berjuang
dan lelaki menyadarinya, maka kesetaraan peran, kedudukan dan keadilan akan
dinikmati kaum perempuan Indonesia.
Sekarang sudah
mulai. Di parlemen misalnya, pada Pemilu 1999: 8,6% perempuan; Pemilu 2004:
11,6%; Pemilu 2009: 18,3%; Pemilu 2014 diperkirakan akan meningkat. Dibidang
ekonomi, dari 53,8 juta pelaku koperasi-UKM
Indonesia, 21 juta dikelola perempuan.
Pertanyaan refleksi di Hari
Kartini untuk perempuan: “Apa yang sudah Anda kontribusikan untuk memperbaiki,
melawan ketidakadilan,diskriminasi di keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara?”
Perempuan mesti proaktif dalam semua aspek kehidupan. Bagi lelaki, mari kita
memperlakukan perempuan secara proporsional tanpa bias jender. Selamat Hari
Kartini, 21 April 2013.*
Penulis adalah aktivis Sandu
Institut, Pontianak
Komentar