“Kalau
kalian mau punya keturunan, pergilah mengayau ke Arut, Kalimantan Tengah, ke
arah matahari terbit. Potong kepala Patih Arut. Bawa kepalanya utuh dan segar sebagai
ganti kalian untuk tumbal menganjan,”perintah Ukat Bebodah kepada Sesulor dan
Sesileh.
Peristiwa
ini selalu dikenang masyarakat Dayak Pesaguan yang menghuni daerah aliran
sungai Pesaguan dan anak-anaknya di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dalam
setiap ritual menganjan. Menganjan adalah ritual agar arwah masuk ke serugo tujoh sebayan dalam (surga,
bahasa Pesaguan). “Dalam ritual menganjan,
masyarakat Dayak Pesaguan diingatkan akan pengorbanan jiwa raga orang Tuluyan
yang selalu dijadikan tumbal dalam setiap ritual menganjan,”jelas Gemalo Nius,
kepala adat kampung Serengkah Kanan (55 tahun).
Menganjan
dilakukan pada saat kematian atau beberapa tahun kemudian. Jika saat kematian,
maka menganjan dilakukan jika pembuatan sandung
atau tambak telah selesai. Artinya
butuh waktu tiga atau empat hari. Tambak adalah bangunan bujur sangkar dengan ukiran motif di dindingnya
yang diletakkan di pusara makam dan di bagian atasnya diberi atap. Sandung tempat abu jenasah yang dibakar. Abu ini disimpan dalam tempayan kecil dan
diletakkan di atas tiang belian berdiameter 20-30cm yang berukiran setinggi 3-4
meter.
“Secara sederhana makna menganjan adalah ungkapan kemenangan
atas maut. Dengan menganjan dimaksudkan agar suasana duka
dalam masa berkabung diganti dengan suasana riang gembira. Menganjan juga untuk melepaskan semacam ikatan yang disebut pantang pamali. Setelah menganjan orang
yang berkabung boleh bersukaria, termasuk boleh
menikah lagi,”jelas Nius yang memimpin seluruh prosesi menganjan.
Membersihkan "kepala" |
Ritual menganjan yang terbaru terjadi di Kampung
Serengkah Kanan, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, 450 km Selatan
Kota Pontianak tanggal 6-8 Juli 2012. Ada empat orang yang dikanjakan, yakni almarhum
Gando Bakah Berandong
Marsianus Silan, Salesta Ita, Petrus dan Dalmasius Itan. Silan adalah kepala
adat kampung Serengkah Kanan selama sembilan tahun; sedangkan Ita, Petrus dan
Itan adalah anaknya. Tuan rumah mengundang warga dari 9 kampung. Karena itulah,
ribuan orang berkumpul di sana. Penulis mengikuti seluruh prosesi ritual ini.
Ritual inti menganjan dimulai dengan ritual memotong
batang kayu garong. Sebanyak 20 orang wakil ansang (sebutan untuk tamu) memotong kayu garung yang dipasang
melintang di tengah jalan di ujung kampong. Dentuman empat laras senapan lantak, letusan puluhan
petasan, pekikan puluhan ansang menandai putusnya tiang pembatas ansang dan tuan rumah itu. Empat pasang penari datang menjemput ansang dan mengiringnya sampai ke tempat
acara yang dinamakan tetarok. Di sini para tamu dijamu dengan sirih pinang dan tuak, minuman beralkohol sekitar 25% yang terbuat dari beras
ketan diberi ragi.
Setelah para tamu (ansang) diterima di
tetarok, dilaksanakan lagi sejumlah ritual menganjan. Sebelum tamu datang juga
telah dilaksanakan serangkaian ritual. Ada 14 ritual yang dilaksanakan selama
proses menganjan. Yakni (1). memberi makan
tiang garong (2). membersihkan kepala kayau (3).pemberi makan roh-roh
(4). dongeng asal-usul kanjan (5). penyerahan jarau (6). memotong
garong (7). menyerahkan
pelelawat (8).mengambil salib ke kuburan
(9). memutus bulen
(10). menebang
jarau (11). mengembalikan
salib ke kuburan (12). memotong kasau (13). bepalit parang beliung (14). piring beras.
Dari 14
prosesi ritual tersebut, yang paling menarik perhatian warga dan paling sakral
adalah ritual menumang kepala, sangan
sesulor sesileh, memotong garong dan memantang jarau.
Menumang kepala adalah membakar kepala di atas tungku tumang (tungku berkaki tiga). Jaman pengayauan dulu, yang dibakar kepala manusia hasil mengayau. Meskipun orang Dayak Pesaguan tidak ada tradisi mengayau, namun
jika ada pengayau yang menyerang maka diadakan perlawanan untuk membela diri. Kepala kayau merupakan simbol kemenangan. Kini karena tidak ada pengayauan lagi, maka yang dibakar buah kelapa hijau
yang muda.
Setelah ditumang, buah kelapa pengganti kepala itu diberi makan dengan seekor ayam, abu
dingin, nasi dingin. Selanjutnya buah kelapa itu diberi lobang,
airnya dibuang diganti dengan tuak. Tuak
di dalam batok kelapa ini diminum secara
bergiliran kepada semua yang hadir.
Selesai dipakai minum, kelapa muda ini dibungkus dengan kain dari kulit kayu berwarna kuning
dan dipegang sambil
dibawa menari. Tarian ini disebut tari menimang kepala. Tarian ini diiringi musik teranjak,
yakni gamalan cepat dan bersemangat.
Pengorbanan Orang Tuluyan
Setelah
menumang kepala, pemimpin ritual menceritakan dongeng sesulor sesileh. Di dalam
dongeng inilah kita bisa mengetahui makna menganjan. Konon, dulu ada dua
bersaudara bernama Sesulor dan Sesileh. Mereka adalah orang keturunan tuluyan. Orang tuluyan adalah kelompok dalam masyarakat
Dayak Pesaguan yang ditakdirkan untuk dijadikan korban dalam setiap upacara menganjan. Mereka disiksa dengan tombak dan mandau, lalu dibunuh dan menjadi
tumbal pada dasar tiang sandung atau tambak.
Untuk
menghapus takdir ini, pada jaman Ukot Kebodah (pendiri kampung Serengkah), Sesulor dan Sesileh ini diminta
mengayau kepala adat kampung Arut, Kalteng. Konon kepala adat Arut ini sangat sakti dan
bermuka tiga. Kepala itu harus utuh karena Ukot Kebodah mau melihat muka tiga
tersebut. Dua bersaudara inipun setuju dan berhasil mengayau kepala adat Arut.
Karena jarak Kalteng-Serengkah jauh, sekitar seminggu jalan hutan, agar tidak
busuk, kepala itu dikuliti dan dikeringkan.
Sesampai
di kampung Serengkah, keduanya disambut seluruh warga. Namun sayang, karena
kepalanya tidak utuh, keduanya malah dituduh mencuri kepala orang dari
pekuburan. Sesulor dan Sesileh tetap dikorbankan. Sebelum
dibunuh mereka berpesan, "Jika di kaki kuburan tumbuh pohon keriato dan di kepala tumbuh pohon kumpang, berarti yang kami bawa memang benar,”ujar mereka.
Tiga hari setelah dibunuh dan dikubur, orang
Pesaguan kaget bukan main karena di atas pusara Sesulor
Sesileh tumbuh pohon keriata dan kumpang. Masyarakat Pesaguan pun akhirnya mengakui bahwa tengkorak
kepala yanag dibawa Sesulor Sesileh adalah kepala adat Arut. Untuk mentaati
perjanjian dengan Sesulor Sesileh, maka sejak itulah orang Pesaguan tidak lagi mengorbankan
kepala manusia dalam ritual menganjan. Sebagai gantinya adalah babi dan ayam.
Menurut Gemalo Nius,
sebagai wujud penghargaan orang Pesaguan kepada keturunan orang tuluyan, maka
jika mereka meninggal akan disandung. Sandung adalah kuburan untuk abu jenasah.
Jasad dibakar, lalu abunya disimpan dalam tempayan kecil dan diletakkan di atas
tiang kayu belian setinggi 3-4 meter.
Menurut Gemalo Nius,
Orang Tuluyan ini bukanlah budak/kuli, tetapi orang yang memang dari awal
ditakdirkan untuk dikorbankan jika ada ritual menganjan. Untuk mengubah nasib,
di beberapa kampung Orang Tuluyan ini melarikan diri/ pindah ke daerah lain.
Misalnya, orang Tuluyan dari Kalteng yang lari dan membuka kampung Beringin,
orang Tuluyan di Lemandau, Kalteng yang melarikan diri dan kini menjadi
penduduk Kampung Petobang; orang Tuluyan dari Serengkah lari ke daerah
Kengkubang (Jelayan-Natai Panjang), Batu Tajam, Pengatapan, Sungai Melayu dan
sekitarnya. Itulah sebabnya di Jelayan, Natai Panjang, Batu Tajam, Pengatapan,
Sungai Melayu dan kampung lainnya ada ritual menyandung orang mati.
“Dengan ritual
menganjan, orang Pesaguan diingatkan akan pengorbanan jiwa raga orang Tuluyan.
Menganjan, terutama menyandung itu adalah semacam penebusan dosa-dosa orang
Pesaguan kepada Orang Tuluyan,”jelas Nius.
Memotong
Garong, menebang jarau
Untuk menyambut tamu maka diadakan ritual khusus yang
disebut memotong garong. Garong
adalah nama jenis kayu yang
batangnya ringan jika kering dan bisa dibuat rakit. Batang garong ini dipasang melintang di pintu gerbang khusus yang dibuat, sekitar 100 meter dari tempat acara.
Sebelum masuk ke tempat acara, seluruh tamu disambut. Empat pasang penari datang menjemput ansang, sebutan bagi para tamu yang dijemput. Mula-mula seorang wakil keluarga yang menjemput akan bertanya kepada ansang tersebut. Bagian ini seru sekali karena antara tamu dan tuan
rumah saling berbalasan dengan nada bicara seperti orang marah. Sambil bicara,
tetamu disuguhi minum tuak dalam bambu yang disebut lumpang.
Garong kemudian dipotong oleh ansang secara bergantian. Ada sekitar 20 orang yang memotong garung. Yang memotong
terakhir adalah domong adat ansang yang dituakan. Setelah garung putus, para tamu undangan diiringi oleh para penyambut berjalan menuju
natar dan diterima
di tetaruk. Musik kanjan terus
menerus ditabuh. Di sini para tamu dijamu dengan sirih pinang, minuman tuak dan makan.
Ritual berikutnya
adalah menebang jarau. Inilah acara yang ditunggu-tunggu anak-anak karena
mereka akan diberi buah-buah jarau. Meski sebutannya menebang jarau, namun
sesungguhnya tidak ditebang benaran. Batang jarau dan buah-buahnya yang semula
berdiri, akan dirobohkan setelah sebelumnya dibacakan mantra-mantra menebang
jarau. Buahnya dikumpulkan—dan sebagian diberikan kepada anak-anak maupun orang
yang dekatnya—tuak dalam tiang jarau akan diminumkan kepada tamu ataupun orang
yang menebang jarau. Buah jarau ini kemudian akan dibagi.
Ada dua jenis jarau,
jarau pemalian (dari tuan rumah) dan jarau dari tamu. Jarau pemalian ini lebih
besar dan lebih banyak buahnya. Di jarau pemalian, pada bagian bawahnya ada
tempayan yang juga diisi tuak. Banyaknya jarau tergantung terkenal tidaknya
orang yang dikanjankan; bisa mencapai ratusan batang.
Menebang jarau |
Menganjan ditutup dengan adat pepiring beras. Yakni acara perpisahan dan pemberian tanda ucapan terima kasih atas semua kehadiran serta
bantuan dari para tamu. “Harapannya rasa kepuasan dan kebahagian memenuhi kehidupan kami
keluarga besar Bapak dan adik-adik yang dikanjanan. Kami puas dan bahagia karena
telah menyelenggarakan acara penghormatan kepada Bapak dan adik-adik. Kami
percaya mereka sudah berbahagia di Sebayan Tujuh Serugo Dalam,”jelas Sunyan, anak almarhum Silan.
Selama pelaksanaan 14 ritual menganjan tersebut musik
gamalan kanjan tidak pernah berhenti. Puluhan orang, umumnya pemuda, secara
bergiliran selama tiga hari siang dan malam menabuh gamalan. Ada tiga jenis
gamalan, yakni gamalan biasa, gamalan kanjan dan gamalan tipaq. Dalam
masyarakat Dayak umumnya, gamalan tipaq hanya dimainkan kalau ada kematian.
Terancam punah
Masyarakat Dayak Pesaguan mayoritas bermukim di
pinggir Sungai Pesaguan dan anak-anak sungainya. Berdasarkan buku Sujarni Aloy, dkk. “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku
Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat’, Institut Dayakologi (2008), ada 7 kelompok Pesaguan. Yaitu Batu Tajam, Kekura’, Kengkubang, Marau, Pesaguan Hulu, Pesaguan Kanan, Sepauhan. Mereka bermukim di wilayah 3
kecamatan, yakni Tumbang Titi, Sungai Melayu dan Jelai Hulu.
Pelan tapi pasti ritual menganjan ini tergerus jaman dan
makin langka. Selain karena biayanya mahal, juga bahan pendukung ritual ini
semakin sulit dicari karena isi alam makin habis. Mahal karena dalam setiap
pelaksanaan ritual menganjan yang besar, seperti menganjan Marsianus Silan
(6-8/7/2012) menurut Sunyan, anak tertua almarhum, diperlukan 25 ekor babi, 200
ekor ayam, ratusan kilo beras, ratusan kilo sayur dan 500 liter tuak dan arak; belum
biaya lainnya.
Bahan yang diperlulan untuk ritual menganjan menurut
Gemalo Nius terdiri dari puluhan jenis pohon buah-buahan, sayuran dan tanam
tumbuh lainnya. “Sebagian bahan itu kini makin sulit dicari, apalagi seperti
bulu burung ruai—burung khas Kalimantan yang indah bulunya. Ini tidak terlepas
dari makin menyempitnya areal perladangan dan hutan-hutan karena dibabat untuk
areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan pertambangan,”jelasnya.
Menurut Nius, kebudayaan Pesaguan dipengaruhi budaya
Jawa, agama Hindu, Budha, Islam dan Katolik. Tahun 1918 misionaris Kapusin
mulai mendirikan sekolah Katolik di Serengkah. Agama Katolik mempunyai peranan
penting dalam perkembangan manusia dan kebudayaa Dayak Pesaguan era dulu dan
kini.
Hari-hari ini tantangan terbesar adalah gencar sekali rencana
masuknya sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri
(HTI) di kampung-kampung Dayak Pesaguan. Ada yang menerima, ada yang dengan
tegas menolak. Banjir bandang yang memutuskan jembatan di akibat kampung
Beringin dan Batu Beransah dan merendam rumah, kebun, ternak warga diyakini
warga akibat habisnya hutan di sekitar kampung Beringin (kampung paling udik
Sungai Pesaguan) dan diganti dengan kebun sengon (HTI).
Edi V.Petebang, Institut Dayakologi. Boleh mengutip artikel ini setelah mendapat izin penulis.
Komentar