Langsung ke konten utama

4th International Indonesia Forum: Enriching Future Generations, Education Promoting Indonesian Self-Development

The International Indonesia Forum is a platform based on mutual cooperation and interaction of scholars from various disciplines, universities and nations coming together to share their work around a central theme related to Indonesia. The third Forum held in Yogyakarta State University, 27-28 June 2011. More than 85 students, academician/ lecturer/ researcher attendant this two days forum seminar.

This Forum sponsored by Yale University and Yogyakarta State University (Uiversitas Negeri Yogyakarta), focus on education in Indonesia. The topic approached by scholars of various disciplines from diverse angles. The papers are exploring all aspects of the unique mix that shapes Indonesia today as education serves as a tool that can be applied to make people into better citizens, parents, businessmen, artists, and politicians in the Indonesian nation-state framework.

Conference Organizers are Yale University, Yogyakarta State University, University of Brunei Darusallam, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology. Yogyakarta State University as a host and venue. Cooperating Institutions are Social and Political Sciences Faculty of Atma Jaya Yogyakarta University, Indonesian History Studies Centre of Sanata Dharma University, and Social and Political Sciences Faculty of Diponegoro University

As academic forum, this moment is best chance for CCFD and Institut Dayakology to sharing our experience on peace building through education.

CCFD and Institut Dayakology represented by Nicolas Césard and Edi Petebang to share peace building project through education  on this conference. Nicolas is evaluator for CCFD’s peace building project in West Kalimantan. Nicolas is a PhD (2009) from EHESS-Paris (France). He is a cultural anthropologist specializing in ecological and environmental anthropology. Currently affiliated with the EHESS-IRIS and with the National Museum of Natural History. Edi Petebang is members of peace building team in Institut Dayakologi; former project director of the peace building project in Institut Dayakologi.

The Conference devided into 10 panel Seminars, as follow:
1. Enriched Through Culture
2. Critical Approaches To Educatoin
3. Education and Politics
4. Identities and Reconstruction
5. Religion, Media and Education
6. Roots and Identities
7. Values and Islam
8. Women and Education
9. Economics, Politics and Ethics
10. Self-Development and Social Justice

Four resource persons presenting their paper in each panel seminar. One resources in 15 minutes.  Nicolas and Edi having their presentation on 27 Juni 2011 at 01.00-03.00 PM.

Presenter/ resources persons coming from various subject and university, such as Nahiyah Jaidi Faraz, Yogyakarta State University, “"Women Empowerment through Entrepreneurship education: a science-based batik home industry in Yogyakarta Indonesia", Andrew Carruthers, Yale University, "On the Accreditation of 'Local content': notes toward an ethnography of local language pedagogy in Makassar, Indonesia"; I Nyoman Sedana, Indonesia Institute of the Arts, Denpasar, "Village and School Dalang Training Education and Management"; Jennifer Goodlander, University of Kentucky, "Local Traditions and National Identity: Studying Balinese Performing Arts in the 21st Century".

Others coming from University of Brunei Darussalam, Universiti Utara Malaysia, University of Sydney, Singapore National University, University of Delhi, Leiden University, Gadjah Mada University, University of Michigan, Maryland University, Humboldt University of Berlin, University of Western Sydney, VU Amsterdam University, TU Dortmund University, McGill University, Jenderal Soedirman University.*

(Note: for my documentation)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany