Langsung ke konten utama

Kemandirian Umat, Belajarlah ke Menyumbung

Jika kita memasuki kompleks gereja Katolik Salib Suci Menyumbung, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalbar (­+400 km selatan Pontianak), mata kita pasti tertuju pada sebuah bangunan besar di samping gedung gereja. Bangunan berukuran 18 x 38 meter tersebut adalah gedung paroki. Inilah bangunan terbesar yang ada di Menyumbung. 

Di bagian depan, kiri, kanandan belakang gedung ini terdiri dari dua lantai. Di kedua lantai ini ada 3 kamar kelas ekonomi; 3 kamar kelas eksekutif dan beberapa ruangan untuk kantor. Kamar itu akan disewakan jika ada tamu yang menginap sebagai pendapatan paroki. Di bagian depan ada panggung dan di bagian tengah ada aula besar. Aula ini bisa digunakan untuk pertemuan, resepsi pernikahan, dan acara.

Gedung Paroki Menyumbung hasil swadaya umat
Gedung ini dibangun umat secara swadaya. Tentu pembaca bertanya, bagaimana caranya umat disana mendapatkan dana ratusan juta untuk membangunnya? Pembangunan gedung ini merupakan salah satu aktivitas dari program “Dana Kemandirian Paroki Salib Suci Menyumbung”. Ide dan fasilitasi awal pembentukan dan mandiri paroki ini dari AR. Mecer, putra asli Menyumbung yang juga penggerak credit union di Nusantara. “Saya ingin membuktikan bahwa banyak hal bisa dilakukan dengan credit union, seperti kemandirian umat di paroki ini,”jelas Mecer ketika menemani saya melihat-lihat gedung paroki tersebut.

Menurut Herman Abser, wakil ketua Dewan Pastoral Paroki Salib Suci Menyumbung, program ini dimulai tahun 1998. “Caranya adalah: umat iuran dan ditabung di credit union Canaga Antutn. Sampai tanggal 30 Januari 2012 dana umat yang terkumpul mencapai Rp.1.018.709.125 dari sekitar 3.000 umat di stasi Menyumbung dan stasi lainnya,”jelas Abser kepada saya di Menyumbung awal Februari 2012.

Agar uang Rp.1,018 miliar tersebut tetap ada dan berbunga terus, maka pokoknya tidak diambil; hanya bunganya saja yang dipakai. Targetnya tahun 2017 dana mandiri ini mencapai Rp.2,5 miliar. Untuk membangun gedung paroki ini, paroki meminjam dana ke credit union sebesar Rp.500 juta. Pokok dan bunga pinjaman ini dibayar dari bunga dana paroki mandiri Rp 1,018 miliar tersebut. Selain membayar pinjaman untuk membangun gedung paroki, bunga dari dana paroki mandiri ini untuk membantu biaya operasional paroki. “Rencananya setelah gedung paroki selesai, kami akan membangun gereja,”jelas Abser.

Menurut Leo PD, manajer credit union Menyumbung, keberhasilan program paroki mandiri ini juga berkat dukungan pastor paroki. “Apalagi pastor yang sekarang ini lebih militan lagi mendukung keberadaan CU karena beliau merasakan manfaat CU. Bahkan setiap kanonik (pemeriksaan calon pengantin menurut hukum gereja Katolik-red.), umat ditanya apakah sudah menjadi anggota CU dan apakah sudah punya kebun karet. Jika belum, maka beliau belum mau menikahkan,”kisah Leo.

Credit Union Canaga Antutn adalah lembaga keuangan dari, oleh dan untuk rakyat. Pendiriannya difasilitasi oleh sejumlah tokoh Menyumbung sebagai bentuk tanggung jawab mereka untuk memberdayakan umat disana dan sekitarnya. Lembaga ini terbukti mampu membawa perubahan besar pada kehidupan masyarakat Menyumbung dan sekitarnya. Anggotanya kini (April 2012) mencapai 11.300 orang dengan aset Rp.105 miliar; ada 9 tempat pelayanan dan mampu menggaji 39 orang staff. Mulai tahun buku 2012 CUCA menerapkan CU model filosofi petani yang ditemukan oleh AR Mecer.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany