Perjalanan darat Pontianak ke Menyumbung menggoreskan banyak pelajaran bermakna tentang beragam nilai kemanusiaan, seperti resonansinan indah.
Salah satu sudut "kota" Menyumbung |
Menyumbung adalah salah satu tempat di wilayah
Kabupaten Ketapang yang mempunyai pesona tersendiri bagi saya. Sejak kecil saya
sudah mendengar nama ini karena--selain Serengkah
Kiri--Menyumbung adalah salah satu pusat
penyebaran agama Katolik utama di wilayah Keuskupan Ketapang. Ketika sekolah di
SM St. Yohanes Ketapang (1987-1990) ada beberapa teman sekelas dari Menyumbung.
Begitu pula ketika kuliah di Untan (1991-1995) ada cukup banyak teman dari
sana. Yang paling membuat saya penasaran ingin sekali ke Menyumbung adalah
karena kampung itu merupakan tempat kelahiran Pak AR.Mecer, seorang tokoh
gerakan sosial ekonomi yang berkontribusi besar dalam meningkatkan harkat dan
martabat masyarakat Dayak; seorang tokoh yang banyak memberi inspirasi, motivasi
bagianakmuda pedalaman,termasuk saya.
Pernah ada beberapa kesempatan ke Menyumbung, tapi
selalu ada halangan. Kesempatan terbaik pun datang di akhir bulan Januari 2012.
Untuk kebutuhan pengumpulan data
penulisan buku biografi Pak Mecer, saya bersama Moses Thomas
(kontributor Majalah Hidup, manajer CU Sumber Kasih); Amadea Pranastiti/Ami
(reporter Majalah Hidup); Necia Tyas (kontributor Majalah Hidup), dan Adit
(fotografer Majalah UKM). Kami semua adalah Tim Penulis buku biografi Pak
Mecer. Penulisan buku ini dikordinir Mas Yohanes Budi Santosa, Redpel Majalah
Hidup. Mas Budi tidak bisa ikut ke Menyumbung, hanya sampai Pontianak. Buku ini
berisi dua bagian pokok; pertama, apa yang diperbuat Pak Mecer
(karya-karyanya); kedua, siapakah Pak Mecer. Direncanakan dalam tahun 2012 buku
ini akan diterbitkan Grassindo (Jakarta).
Kami serombongan |
Untuk pengumpulan data ini kami harus ke Menyumbung
untuk menemui sejumlah orang, khususnya keluarga besar Pak Mecer untuk mencari informasi
siapakah Pak Mecer; bagaimana kehidupan masa kecilnya sehingga membentuk Pak
Mecer seperti sekarang ini. Kami beruntung, di tengah kesibukan yang padat di
BKCUK, Pak Mecer mengantar kami. “Sekalian pulang kampung untuk melihat
keluarga besar dan beberapa bidang kebun/ tanah yang saya punya di sana,”ujar suami
Ibu Veronika Suwarni ini.
Hari yang ditentukan pun tiba, Minggu, 22 Januari
2012. Pagi sekali saya sudah bersiap dan ngumpul di rumah Pak Mecer karena
rencananya pukul 09.00 WIB sudah berangkat. Ternyata keberangkatan kami
tertunda secara tidak sengaja. Hari minggu itu Pak Mecer dan isteri mencari
misa yang awal. Mereka memilih Gereja Stella Maris di Siantan yang ada misa
pukul 06.30. Mereka tidak tahu bahwa hari itu misa di Stella Maris hanya
sekali, pukul 07.30 karena ada perpisahan dengan Pastor Sony, MSC, pastor
paroki Stella Maris yang sudah mengabdi di sana selama 9 tahun. Misanya cukup
lama, dan selesai misa masih ada acara. Akhirnya pukul 11.00 barulah Pak Mecer
dan Ibu sampai ke rumah. Dengan tergesa-gesa Pak Mecer makan dan berkemas.
“Saya bawa pakaian sedikit karena di sana ada,”kata ayah enam anak ini. Saya
pun heran mengapa beliau membawa ikan asin, sayur, dan membeli mie instan satu
kotak di jalan.
Tepat pukul 11.50 kami berlima Tim Penulis bersama
Pak Mecer, Anwar (sopir) dan Leo PD, manajer CU Canaga Antutn, berangkat dari
rumah Pak Mecer. Cuaca mendung dan gerimis kecil menyertai perjalanan kami
dengan mobil Ford Ranger 4 wheel diesel alias double gardan).
Pukul 13.05 kami sampai di Simpang Ampar. Jarak
Pontianak-Simpang Ampar 101 km. Sejak jalan darat Pontianak-Ambawang-Tayan
mulus, simpang tiga arah Kampung Simpang Ampar-Tayan-Batang Tarang menjadi
ramai. Para pengendara mobil, khususnya taksi, bis, truk, maupun sepeda motor umumnya
berhenti minum atau makan di sini. Tak heran, kini sudah ada belasan warung
kopi, warung makan, toko, kios bensin dan bengkel. Semula saya heran kenapa
kawasan ini dinamakan Simpang Ampar. Ternyata Simpang Ampar adalah nama kampung
terdekat dari arah Pontianak sebelum pertigaan itu.
Sekitar 10 menit kemudian (pukul 13.15) kami tiba di
Tayan. Setelah menunggu sekitar 5 menit, ada ferry KMP Silok yang datang.
Karena di depan mobil kami sudah antri sejumlah mobil, maka kami belum dapat
giliran menyeberang, menunggu ferry kedua datang. Sambil menunggu kami minum di
warung yang di dekat dermaga pelabuhan. Saya lupa mengamti apakah PT ASDP
menyediakan ruang tunggu. Orang yang mau menyeberang menunggu di warung-warung.
Setelah menunggu sekitar 30 menit datang KMP
Biramata. Mobil kami pun mendapat giliran menyeberang. Ferry Silok dan Biramata
masing-masing hanya bisa menampung 3 truk atau mobil keluarga (sejenis kijang)
bisa membawa enam unit. Tarif penyeberangan mobil kecil Rp.50 ribu; truk dan
sejenisnya Rp.100 ribu. Dari Piasak kita akan memasuki perkampungan Dayak di
sepanjang kiri dan kanan jalan. Sekitar
20 menit sampailah ke Desa Piasak.
Sekitar 200 meter ke hulu sungai Kapuas di Piasak ini
sedang dibangun pelabuhan milik PT Aneka Tambang (Antam) yang mengeksplorasi
bauksit di Piasak sampai ke wilayah kecamatan Toba. Sepanjang kiri-kanan jalan
dari Piasak ke arah Teraju terhampar luas areal tambang bauksit PT Antam. Areal
yang dulunya hutan, kita tinggal tanah kuning, semua tanaman diatasnya digusur
untuk dikeruk bauksitnya. Saya ingin sekali suatu waktu mencari
tahu apakah masyarakat sekitar perusahaan ini mendapat manfaat dari hadirnya
perusahaan raksana ini.
Jalan
Mulus
Jalan darat Pontianak-Tayan-Piasak-Sandai
benar-benar mulus beraspal. Hanya jembatan yang masih dalam pengerjaan. Karena
itulah, jarak Pontianak-Sandai yang dua tahun lalu harus ditempuh seminggu
karena jalannya berlubang, berlumpur dan rusak parah; dalam dua tahun terakhir
ini bisa ditempuh 6 jam saja. Harus diakui, mulusnya jalan ini salah satu upaya
balas budi Gubernur Cornelis atas pilihan rakyat di sepanjang jalan ini
kepadanya sewaktu Pilgub 2008 silam.
Jalan trans kalimantan yang mulus |
Pukul 17.55 kami tiba di Sandai. Setelah deru mesin
mobil menghilang, azan magrib pun terdengar berkumandang. Azan ini sekaligus
pertanda bahwa di ibu kota kecamatan Sandai ini mayoritas penduduknya adalah
Muslim dari etnis Melayu. Selain Melayu di sini kini juga mulai banyak
pendatang dari etnis Dayak, Tionghoa, Jawa, dan lainnya. Bahkan meski jumlahnya
sedikit, warga Tionghoa di sini memegang peran penting dalam perekonomian
masyarakat.
Di sepanjang kiri kanan jalan Piasak-Sandai kami
melewati delapan kecematan dan belasan kampung. Yakni kecamatan Tayan Hilir,
Toba, Simpang Hulu, Simpang Dua, Sepotong, Aur Kuning, Randau dan Sandai.
Kampung-kampung yang dilalui adalah kampung
Piasak-Embaloh-Natai-Balai-Belungai-Lombak-Beringin-Sebandang-Embangai-Lumut-Tunggul-Bungkang-Nek
Gajah-Teraju (Piasak-Teraju 27 km).
Dari Teraju ke Sandai sejauh melawati kampung
Mangkup-KM12-Modang-Empasi-Pemasak-Entuba-Labai-Balai Berkuak-Balai Pinang-
Langkar- Baram-Simpang Dua-Gerai-Entinap/Bengaras (simpang ke Kecamatan
Sepotong)-Kalam-Aur Kuning-Entinap-Kumai-Randau-Bayur-Muara Jekak-Sandai. Jarak
Teraju-Balai Berkuak 52 km; jarak Balai Berkuak-Sandai 116 km.
Jika Anda berkendara di jalur darat Piasak-Sandai
mesti ekstra hati-hati karena tikungannya tajam; turunan dan tajakan yang tajam
pula. Dan yang lebih berbahaya adalah jalannya masih sepi pengendara sehingga
jika kita terlalu kecepatan tinggi dan tiba-tiba ada hewan piaraan di kampung
yang melintas, maka bisa berbahaya. Persoalan lain adalah jika terjadi
kerusakan kendaraan di jalan, khususnya mobil, maka akan sangat sulit mencari
bengkel mobil. Jika bermobil sendiri lewat jalur ini hati-hatilah dan pastikan mobil Anda dalam
kondisi prima.
Di Sandai kami singgah di rumah keponakan Pak Mecer.
Di perjalanan Pak Mecer memang memesan ponakannya agar disiapkan makan malam.
Makan malam kami lahap sekali karena disuguhi lauk ikan asam pedas. Sebelum
makan kami disuguhi buah mentawa,
buah khas Kalimantan.
Pukul 19.00 kami meneruskan perjalanan menuju
Menyumbung. Di beberapa sudut kota Sandai kami menemukan anak-anak bermain
kembang api dan petasan. Maklumlah, malam itu adalah malam tahun baru Imlek.
Jalan Sandai -Menyumbung |
Jarak antara Sandai-Menyumbung sekitar 40km. Jika
pakai sepeda motor bisa dijangkau sekitar satu jam. Dengan mobil pun kalau hari
kemarau, sekitar sejam juga. Namun ketika kami kesana, siangnya diguyur hujan.
Sehingga jalan yang semula kering jadi becek.
Dalam perjalanan Sandai-Menyumbung kami melawati
perkampungan warga Melayu dan Dayak. Yakni kampung Muara Jekak (Melayu)- Petai
Patah (Melayu)- Serinding (Melayu)- Batu Kambing (Melayu)- Nango (Melayu)-Demit
(Dayak)-Sepiri (Dayak)- Randau Jungkal (Melayu)- Mariangin (Dayak)- Sepanggang
(Dayak)- Sengkuang (Dayak)-Menyumbung (Dayak). Meski pelan karena jalannya
berlubang, berbatu-batu sebagian dan tanah merah sebagian, dari Sandai sampai
ke kampung Mariangin masih bisa dilewati dengan lancar. Mobil kami amblas tiga
kali di jalan berlumpur sekitar kampung Sepanggang. Kami semua turun dan
ramai-ramai mendorong mobil, akhirnya bisa lolos. Amblas keempat di jalan
berlumpur nan licin di kampung Sengkuang. Hampir setengah jam kami mendorong,
mengganjal jalan berlubang yang licin dengan bebatuan, namun tetap tidak
berhasil. Akhirnya bisa lolos setelah ditarik ramai-ramai dengan tali oleh kami
bersama kenek dan sopir truk yang mengangkut kayu dari Menyumbung.
“Kota” Menyumbung
Saya di depan rumah Pak Mecer |
Pukul 22.30 malam kami tiba di Menyumbung, dengan
badan penuh bercak lumpur di sana sini. Setelah mandi, kami diajak Pak Mecer
makan mie rebus. Barulah saya tahu kenapa Pak Mecer membawa mie instan
sekardus. “Ini rumah saya,” cerita Pak
Mecer sambil kami menikmati mie, tentang rumah tempat kami menginap. Rumah ini
besar, lebar 12 meter dan panjang 14 meter; tinggi 2 meter dari tanah. Ada
lantai atas untuk tempat tidur dan dulunya ada studio radio komunitas Pupuk
Tagua (kini radio tersebut sedang dalam proses on air lagi dan dikelola CU Canaga Antutn).
Di bagian kiri-kanan di dalam rumah itu ada bagian
yang ditinggikan setengah meter. Bagian kanan masuk yang ditinggikan untuk
tempat alat-alat musik ketika ada acara adat; bagian kiri masuk untuk minum
tuak di tajau memakai sumpit.
Terpisah dari rumah induk, ada dapur berukur 6x10
meter. Setengah dari dapur ini digunakan sebagai rumah tinggal keponakan Pak
Mecer; sekaligus penjaga rumah Pak Mecer ini.
Menurut Pak Mecer, rumah yang semuanya kayu dengan
listrik tenaga surya tersebut dibangun tahun 1999, sebelum beliau membangun
rumah di Pontianak. Di lokasi rumah inilah dulunya rumah Pak Mecer semasa
kecil. Rumah aslinya sudah dibingkar. Karena ketika ketika besar adik-adik Pak
Mecer sudah berumah sendiri, jadilah rumah itu kosong dan oleh Pak Mecer
dibangun lagi. ”Rumah ini biasa dipakai orang kampung sini untuk berbagai acara
adat, rapat ataupun acara-acara CU,”jelasnya.
Esok harinya, pagi-pagi saya diajak Pak Mecer jalan
pagi keliling “kota” Menyumbung; sekalian mau bertemu Pastor Paroki dan
sejumlah narasumber yang akan kami wawancarai. Saya diajak ke pastoran, sayang
pastor tidak ada di tempat. Kami singgah sebentar di bangunan besar di samping
Gereja Salib Suci Menyumbung. Bangunan berukuran 18 x 38 meter tersebut adalah
Gedung Paroki. Gedung ini dibangun dengan dana Rp.500 juta dengan meminjam dana
di CU Canaga Antutn.
Pagi itu kami ketemu Pak Deka. Pak Deka pernah
menjadi transkriber cerita rakyat Dayak Krio di Institut Dayakologi
(2004-2007). Kami juga ketemu dan berbincang-bincang dengan Kades Menyumbung
(kalau tidak salah Singkim namanya). Orangnya masih muda, enerjik. Kami juga
lewat SMP Negeri Menyumbung. SMP ini menurut Pak Deka gurunya jarang datang;
lebih banyak waktunya di Sandai sehingga proses belajar-mengajar tidak efektif.
Pasar desa yang tidak digunakan |
Saya sempat
mampir di sebuah ruko Pasar Desa yang tidak difungsikan, hampir persis di
seberang jalan di depan rumah Pak Mecer. Begitu juga ada bangunan rumah adat
Dayak yang dibangun Pemkab Ketapang yang juga belum pernah difungsikan.
Menyumbung adalah ibukota kecamatan Hulu Sungai,
kecamatan yang baru terbentuk lima tahun lalu. Semestinya sebagai kecamatan
dilengkapi dengan perangkat pemerintahan, seperti kantor camat, kantor polisi
(Polsek), kantor TNI (Koramil) dan instansi terkait. “Namanya sih kecamatan.
Tapi camat nya pun jarang ada. Kantor Polsek, Koramil belum ada,”keluh Pak
Herman Abser, salah seorang tetua Menyumbung.
Memang kesan saya Menyumbung ini belum seperti
sebuah kota yang tertata rapi. Fasilitas umum yang disediakan pemerintah pun masih
sangat terbatas; padahal daerah ini adalah sumber penghasil karet, kayu, babi,
dll untuk Kabupaten Ketapang. Penduduknya ramai, bahkan rumah penduduknya padat
dan cukup banyak rumah yang menghadap limbah dapur rumah lainnya.
Di Menyumbung ada pastoran, ada susteran, ada
poliklinik yang dikelola suster OSA; ada SD Katolik dan ada SD Negeri. Sudah
ada air bersih dari sumber air sungai yang masuk ke rumah-rumah warga dengan
pipa paralon. Sudah terpasang tiang dan kabel listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH). Namun listrik ini belum bisa difungsikan karena bendungan
penampung airnya yang dibangun dengan dana milayar rupiah sudah tiga kali
jebol.
Jembatan Sungai Menyumbung |
Sungai rematang bak air kubangan babi |
Saya juga sedih melihat dua sungai di tengah
Menyumbung yang tidak bisa difungsikan lagi, yakni sungai
Menyumbung dan Sungai Rematang. Sungai Menyumbung yang
kita lewati di awal masuk Menyumbung, kini hampir hilang karena
banyaknya timbunan sampah dan endapan tanah. Padahal nama Menyumbung itu
berasal dari nama sungai ini. Sungai
Rematang,persis di tengah Menyumbung. “ Dulu kami mandi, mengambil air untuk
masak, mencari ikan, berperahu di sungai ini. Dulu cukup dalam dan banyak
ikannya,”jelas Pak Mecer ketika kami melewati sungai Rematang. Kini sungai itu
baik air kubangan babi karena aktivitas penambangan emas di sepanjang daerah
alirannya sehingga tidak bisa dikonsumsi lagi.
Jek/tambang emas di sungai krio |
Kedua sungai ini bermuara ke sungai Krio. Sebelum
jalan darat Menyumbung-Sandai bisa dilewati mobil, sungai ini adalah
transportasi utama ke Sandai dan ke Ketapang.
Saya mendapati sedikit surprise karena ternyata
kampung tua orang Menyumbung namanya Petebang; sama dengan kampung saya.
Menurut Pak Mecer, asal usul orang Menyumbung dari suatu daerah yang disebut
Babio Tanah Tarah. Karena kampung itu diserang sampar penyakit yang mematikan,
maka warga pindah. Ada yang ke kampung Demit, ada yang ke Petebang dan dari
Petebang inilah kemudian hijrah ke Menyumbung.
Periauan
Pak Mecer
![]() |
Durian di periauan Pak Mecer |
Selesai menyantap hidangan pagi, sekitar pukul 10.00
kami diajak Pak Mecer ke periauan di daerah yang dinamakan Lawang Kuari. Dengan
speedboat 40 PK dalam 10 menit mudik sungai Krio kami sudah sampai ke periauan.
Leo mengantar kami bolak-balik dengan speedboat 40 PK
milik CU Canaga Antutn (CUCA). Karena itu itu libur Imlek, maka Leo tidak masuk
kerja di CUCA.
Periauan seluas dua hektar yang baru beberapa tahun lalu dibeli
Pak Mecer ini ada aneka jenis tanaman buah dan karet.Ada pondok di tengahnya.
Karetnya sudah disadap dan menghasilkan sekitar 10 kg lateks tiap hari. Kami
beruntung karena ada sebatang durian yang berbuah cukup lebat dan sedang mulai
jatuh. Bahkan di pondok sudah disediakan sepuluh buah duren. Bisa dibayangkan
nikmatnya makan duren di dekat pohonnya; ditemani gemuruh sungai Krio dan aneka bunyi hewan hutan. Pas
kami di sana, dua buah duren jatuh. Senang, sudah sekian lama tidak mencari
durian jatuh, kami ramai-ramai mencarinya. Periauan ini salah satu rencana Pak
Mecer mengisi hari tuanya. Rencananya di sini akan dipelihara sapi.
Selain duren, selama di Menyumbung saya (kami) makan
buah langsat, kembayau, pekawai, mentawa, kapol. Buat Mas Adit, Ami dan Nesi
yang lahir dan besar di Jawa, baru kali itulah mereka merasa buah pekawai,
kembayau, mentawa dan kapol.
Buah kapol, pekawai,langsat |
Langsat kampung ini beda rasanya dengan langsat
punggur yang biasa dijual di Pontianak. Langsat kampung rasanya tidak terlalu
manis, asam dikit, tapi enak, harum. Pekawai sejenis duren. Kulitnya kuning tua, rasanya manis—tidak semanis
duren, tidak berbau menyengat seperti duren, rasanya lebih enak. Mentawa adalah
buah endemik Pulau Kalimantan. Buah ini seperti buah sukun tapi berbulu tidak
tajam (tidak seperti bulu duren). Didalamnya ada biji dan di biji inilah
menempal daging yang dimakan. Rasanya mirip-mirip rasa ubi jalar mentah.
Makannya tidak perlu di masak. Enak di makan ketika tua atau pun masak. Buah
mentawa ini kaya dengan protein, terutama bijinya.
Buah kapol kurang lebih sebesar buah pinang.
Kulitnya agak lunak, isi di dalamnya seperti buah rambai tapi bijinya keras.
Makannya bisa diemut saja atau ditelan dengan bijinya. Cuma jika ditelan jangan
terlalu banyak karena bisa menyebabkan sembelit.
Kembayau adalah buah yang unik. Buah ini cukup
direndam dengan air panas sekitar 5 menit. Angkat, taburi garam sedikit dan
makan selagi hangat. Yang dimakan adalah daging kulit di bagian luart bijinya.
Ada dua keunikan buah ini. Kalau direbus, justru daging yang menempat di
kulitnya menjadi keras dan tidak bisa dimakan lagi. Kedua, jika kita buka
bijinya, langsung menjadi daun. Daun ini pun malamnya ditumis dan dijadikan
sebagai sayur kami.
Sebenarnya ada ratusan jenis buah khas Kalimantan.
Durian saja ada beberapa jenis lagi. Hanya ketika kami ke Menyumbung banyak
yang tidak sedang berbuah. Ada juga beberapa jenis buah yang sudah punah.
Hari berikut kami diajak Pak Mecer ke lokasi kebun
karetnya yang lain, ke arah jalan Kenyabur. Ada sekitar 2 hektar luasnya. Ada
karet, ada sawah, dan tanah kosong. Menurut Pak Mecer, masih ada dua lokasi
tanah beliau di sana. Satu di kampung Sengkuang dan satu lagi bukit seluas
sekitar 40 hektar di perbatasan Menyumbung-Randau. “Bukit itu untuk
menyelamatkan aneka jenis tanaman serta binatang khas Kalimantan. Saya ingin
jadikan hutan wisata,”jelas Ayah dari Frans, Wisda, Yugin, Theo, Tesa dan Aga
ini.
Masyarakat Meyumbung dan sekitarnya memang mempunyaimata pencaharian pokoksebagaipenoreh karet alam. Ada juga yang kerja mencari emas, kayu, ternak babi dan lainnya.Secara umum,secara tampilan fisik rumah-rumahnya, masyarakat di sini lumayan sejahtera. Kampung ini relatif bersih karena--beda dengan kampung orang Dayak kebanyakan--tidak ada ternak babi yang berkeliaran di tengah kampung.
Karet sumber penghasilan utama |
Bahkan yang aneh menurut saya,apakah karena adauang atau mentalitas yang berubah,cukup banyak ibu-ibu yang setiap pagi menunggu penjual sayur dan lauk (ayam, ikan) dari Sandai yang datang. Lucunya mereka membeli kacang, timun,daun ubi,cabe,terong dan jenis sayuran lainnya yang semestinya bisa ditanam di pekarangan rumah atau ladang.
Malamnya kami wawancara dengan kawan sepermainan Pak
Mecer masa kecil. Ada pak Patrik, 83 tahun; Pak Duman, 70 tahun dan Pak Tutal,
75 tahun. Pak Duman sudah tidak baik pendengarannya sehingga harus berbisik
jika bicara dengannya. Tapi ingatannya masih baik; begitu juga ingatan Pak
Patrik dan Pak Tutal. Sebenarnya banyak kawan Pak Mecer tapi ada yang sudah
meninggal, pindah atau tidak baik lagi ingatannya.
Wawancara hangat, apalagi disuguhkan tuak, minuma
khas orang Dayak yang terbuat dari nasi ketan diberi ragi. Selesai wawancara
kami bercerita tentang beragam hal sampai pukul 11 malam. Neci yang baru
pertama merasa tuak diajak bersulang minum dan mampu menghabiskan segelas tuak.
Hebat juga Nesi sebagai peminum tuak pemula karena segelas tuak itu cukup
membuat kepala puyeng.
Pak Mecer lahir di Menyumbung 27 Maret 1944 dari
pasangan Ambrosius Doera dan Ana Maria Lompam. Pak Doera meninggal tahun 1969
dan Ibu Ana berpulang tahun 1998. Mereka delapan bersaudara, yakni AR Mecer,
Marta Ledo (alm), Herman Abser, Abdon (meninggal usia 3 tahun), Matius Mates,
Mani, Kristina (meninggal umur setahun) dan Lusia.
Meski mata masih ngantuk, esok paginya kami
wawancara dengan Pak Herman Abser dan Pak Montel. Setelah itu Adit yang memang
bertugas membuat foto-foto Pak Mecer menjalankan tugasnya. Pengambilan gambar
dilakukan di depan rumah Pak Mecer dan di kantor CUCA.
Ada nostalgia yang berkesan juga bagi saya pada hari
kedua Tahun Baru Imlek, selasa 24 Januari 2012. Setelah terpisah sejak tamat
SMA Santo Yohanes Ketapang tahun 1990, saya bisa bertemu dua orang kawan
sekelas saya di kelas Biologi (A2); yakni Beno dan Ani, keduanya suami isteri. Mereka
berdua masih ada darah Tionghoa sehingga juga merayakan Imlek. Waktu sekolah
dulu Ani teman sebangku saya. Ani gadis asli Menyumbung, dan Beno lahir dan
besar di kampung Tanjung, Kecmatan Jelai Hulu, Ketapang. Mereka ketemu dan
menikah karena Beno perawat di Poliklinik Susteran OSA Menyumbung.
Paroki
mandiri-CUCA
Gedung Paroki Menyumbung |
Di kompleks Pastoran Salib Suci Menyumbung sedang
dibangun gedung terbesar di sana; yakni gedung paroki berukuran 18 x 38 meter
berlantai dua di bagian kiri kanannya. Ada panggung, ada aula besar; ada 3
kamar kelas ekonomi; 3 kamar kelas eksekutif dan beberapa ruangan untuk kantor.
Kamar itu akan disewakan jika ada tamu yang menginap sebagai income Paroki.
Saya bertanya dalam hati, hebat benar umat disini
bisa membangun gedung sebesar itu. Sebelum sempat saya tanyakan, Pak Mecer menjelaskan
bahwa gedung itu dibangun dari bunga tabungan “Dana Kemandirian Paroki Salib
Suci Menyumbung”. Ide dan fasilitasi pembentukan dana mandiri paroki ini dari
Pak Mecer.
Leo PD, manajer TP Pusat CUCA |
Program ini dimulai tahun 1998. Umat iuran dan
ditabung di CU Canaga Antutn dan sampai 30 Januari 2012 dana yang terkumpul
mencapai Rp.1.018.709.125 dari sekitar 3.000 umat di stasi Menyumbung dan stasi
lainnya. Untuk membangun gedung paroki ini, paroki meminjam dana ke CUCA
sebesar Rp.500 juta. Pokok dan bunga pinjaman ini dibayar dari bunga dana
paroki mandiri Rp 1,018 miliar tersebut. Selain membayar pinjaman untuk
membangun gedung paroki, bunga dari dana paroki mandiri ini untuk membantu
biaya operasional paroki. “Rencananya setelah gedung paroki selesai, kami akan
membangun gereja,”jelas Pak Abser, wakil ketua Dewan Pastoral Paroki Salib
Suci.
Targetnya tahun 2017 dana mandiri ini mencapai Rp.2,5 miliar.
Menurut Leo, keberhasilan program paroki mandiri ini
juga berkat dukungan pastor paroki. “Apalagi pastor yang sekarang ini lebih
militan lagi. Setiap kanonik, umat ditanya apakah sudah menjadi anggota CU dan
apakah sudah punya kebun akret. Jika belum, maka beliau belum mau
menikahkan,”kisah Leo. Sayang saya tidak bisa berjumpa Pastor Stefanus Lengi,
CP., pastor yang dimaksud Leo.
Saya, Moses danPak Mecer di depan CUCA |
CU Canaga Antutn sendiri adalah CU yang dilahirkan,
diprakarsai Pak Mecer. Tentu saja tidak sendirian, Pak Mecer dibantu juga Bu
Silvia Sayu (kini jadi ketua Pengurus CUCA), Pask Herman Abser dan sejumlah
orang lainnya. CU ini mampu membawa perubahan pada kehidupan masyarakat
Menyumbung dan sekitarnya. Anggotanya kini mencapai 11.000 orang dengan aset
Rp.101 miliar; ada 9 tempat pelayanan dan mampu menggaji 39 orang staff.
Lancar
Karena dirasa sudah mendapat cukup informasi dan
bisa merasakan bagaimana kehidupan di kampung Pak Mecer; juga karena padatnya
jadwal kegiatan Pak Mecer, hari Rabu 25 Januari 2012 kami pulang ke Pontianak. Perjalanan
pulang kami lancar. Sehari sebelum kami pulang, Anwar sudah mengantarkan mobil
ke kampung Sengkuang, melewati jalan yang rusak.
Kami diantar dua buah speedboat milik CU Canaga Antutn, dari dari kampung
Sengkuang baru naik mobil lagi. Dalam perjalanan pulang
dari Menyumbung-Sandai, baru kami dapat menikmati hijaunya dedaunan dari
pepohonan yang memang tumbuh subur di sepanjang daerah aliran sungai Krio dan
Pawan (sungai Krio bermuara ke sungai Pawan). Di sepanjang kiri kanan jalan
terhampar kebun karet, ada juga kebun buah-buahan, seperti durian, lengkeng,
rambutan, langsat. Sebagian sedang berbuah, cuma tidak lebat. Menurut Leo, buah
itu buah tahap kedua. Buah tahap pertama bulan Desember silam.
Dari Menyumbung mobil terus melaju dan baru berhenti
di Randau Jekak. Pak Mecer mengajak kami melihat kantor CU Canaga Antutn yang
sedang dibangun. Kantor besar, berukuran 10x10 meter berlantai dua, pas di tepi
jaan trans Kalimantan. Di sekitar kantor CU itu kini mulai banyak rumah
penduduk. Karena jalan trans Kalimantan ini lancar maka orang Randau banyak
yang membangun rumah di pinggir jalan.
Pak Mecer menjelaskan "filosofi petani" |
Pemberhentikan kedua kami di kolam ikan di Ambangai,
dekat Teraju, ibukota kecamatan Toba. Kompleks kolam itu sekitar 2 hektar, dengan air bening mengalir langsung dari bukit sumber airnya.
Ada belasan kolam untuk pembibitan dan pembesaran ikan nila dan ikan mas. Jika
ditotal ada ribuan ikan besar dan kecil dipelihara disitu. Lokasinya sangat
enak untuk bersantai sambil menikmati ikan bakar, ikar goreng atau pun asam
pedas. Disediakan pondok-pondok untuk
bersantai dan kita bisa juga mandi. Kolam ini dulunya milik PEK-Pancur Kasih.
Namun sejak tahun 2009 dibeli CU Sumber Kasih dan mereka kelola. “Tiap hari
kolam ini tidak pernah sepi yang datang membeli ikan, lalu membakar dan menyantapnya
di sini,”terang Sunyan, ketua pengurus CU Sumber Kasih. Sunyan dan Moses atas
nama CU Sumber Kasih mentraktir kami makan siang di sini. Ikan bakar dan asam
pedas ditemani lalapan membuat santap siang kami benar-benar nikmat.
Kami singgah di kolam Ambangai itu sebenarnya bukan
sekedar makan. Pak Mecer mengambil kesempatan itu menjelaskan konsep filosofi
petani dalam credit union kepada Sunyan (Ketua Pengurus) dan Moses (Manajer)
CU Sumber Kasih. Berbekal potongan whiteboard kusam,
pak Mecer menjelaskannya kepada mereka dari kami semua turut
menyimaknya.
Selesai makan siang yang kenyang, perjalanan kami
lanjutkan. Ketika kami naik ferry penyeberangan Piasak-Tayan, hujan cukup
lebat. Ada pemandangan yang menarik bagi saya di sana: seorang petugas yang
mengatur keluar masuk kendaraan ke ferry terlihat begitu semangat, berteriak
keras di tengah derunya mesin ferry dan derasnya hujan. Saya salut dengan
dedikasinya. Sambil menyeberang sekitar 20 menit, saya melihat-lihat dari ruang
kemudi. Secara tidak sengaja saya melihat sang petugas yang bersemangat itu dua
kali masuk ruang itu dan meneguk arak di botol kecil. Barulah saya sadar,
mungkin dia bersemangat mengatur kendaraan di tengah hujan tersebut karena
“dihangatkan” alkohol yang diduga berkadar alkohol 40 persen. Bagaiman ya kalau
dia sampai mabuk dan mengemudikan ferry itu?
Perjalanan panjang Pontianak-Sandai-Menyumbung
hampir 900 kilometer itu berakhir sekitar pukul 06.00 sore; kami tiba di rumah
Pak Mecer dengan selamat dan menyenangkan. Salut untuk Anwar yang tanpa
kesalahan membawa mobil.
Jalanan Pontianak-Tayan-Sandai-Menyumbung yang penuh
kelokan dan tikungan tajam yang terkadang mengguncang adrenalinku itu, bak resonansi
nada dari sebuah lagu yang indah sekali. Resonansi kehidupan masyarakat di
sepanjang jalan itu yang terus merayap maju mengikuti arus kehidupan yang
kadang bersahabat, sering pula kejam terhadap mereka. Semoga kehidupan
masyarakat di sepanjang jalan ini makin hari makin sejahtera dengan makin
masifnya aneka bentuk pembangunan di sana.***
Pontianak, 6 Februari 2012
Edi V.Petebang
Komentar