Langsung ke konten utama

Resonansi Pontianak-Menyumbung


Perjalanan darat Pontianak ke Menyumbung menggoreskan banyak pelajaran bermakna tentang beragam nilai kemanusiaan, seperti resonansinan indah.


Salah satu sudut "kota" Menyumbung
Menyumbung adalah salah satu tempat di wilayah Kabupaten Ketapang yang mempunyai pesona tersendiri bagi saya. Sejak kecil saya sudah mendengar nama ini karena--selain Serengkah Kiri--Menyumbung adalah salah satu pusat penyebaran agama Katolik utama di wilayah Keuskupan Ketapang. Ketika sekolah di SM St. Yohanes Ketapang (1987-1990) ada beberapa teman sekelas dari Menyumbung. Begitu pula ketika kuliah di Untan (1991-1995) ada cukup banyak teman dari sana. Yang paling membuat saya penasaran ingin sekali ke Menyumbung adalah karena kampung itu merupakan tempat kelahiran Pak AR.Mecer, seorang tokoh gerakan sosial ekonomi yang berkontribusi besar dalam meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Dayak; seorang tokoh yang banyak memberi inspirasi, motivasi bagianakmuda pedalaman,termasuk saya.
Pernah ada beberapa kesempatan ke Menyumbung, tapi selalu ada halangan. Kesempatan terbaik pun datang di akhir bulan Januari 2012. Untuk kebutuhan pengumpulan data  penulisan buku biografi Pak Mecer, saya bersama Moses Thomas (kontributor Majalah Hidup, manajer CU Sumber Kasih); Amadea Pranastiti/Ami (reporter Majalah Hidup); Necia Tyas (kontributor Majalah Hidup), dan Adit (fotografer Majalah UKM). Kami semua adalah Tim Penulis buku biografi Pak Mecer. Penulisan buku ini dikordinir Mas Yohanes Budi Santosa, Redpel Majalah Hidup. Mas Budi tidak bisa ikut ke Menyumbung, hanya sampai Pontianak. Buku ini berisi dua bagian pokok; pertama, apa yang diperbuat Pak Mecer (karya-karyanya); kedua, siapakah Pak Mecer. Direncanakan dalam tahun 2012 buku ini akan diterbitkan Grassindo (Jakarta).
Kami serombongan
Untuk pengumpulan data ini kami harus ke Menyumbung untuk menemui sejumlah orang, khususnya keluarga besar Pak Mecer untuk mencari informasi siapakah Pak Mecer; bagaimana kehidupan masa kecilnya sehingga membentuk Pak Mecer seperti sekarang ini. Kami beruntung, di tengah kesibukan yang padat di BKCUK, Pak Mecer mengantar kami. “Sekalian pulang kampung untuk melihat keluarga besar dan beberapa bidang kebun/ tanah yang saya punya di sana,”ujar suami Ibu Veronika Suwarni ini.
Hari yang ditentukan pun tiba, Minggu, 22 Januari 2012. Pagi sekali saya sudah bersiap dan ngumpul di rumah Pak Mecer karena rencananya pukul 09.00 WIB sudah berangkat. Ternyata keberangkatan kami tertunda secara tidak sengaja. Hari minggu itu Pak Mecer dan isteri mencari misa yang awal. Mereka memilih Gereja Stella Maris di Siantan yang ada misa pukul 06.30. Mereka tidak tahu bahwa hari itu misa di Stella Maris hanya sekali, pukul 07.30 karena ada perpisahan dengan Pastor Sony, MSC, pastor paroki Stella Maris yang sudah mengabdi di sana selama 9 tahun. Misanya cukup lama, dan selesai misa masih ada acara. Akhirnya pukul 11.00 barulah Pak Mecer dan Ibu sampai ke rumah. Dengan tergesa-gesa Pak Mecer makan dan berkemas. “Saya bawa pakaian sedikit karena di sana ada,”kata ayah enam anak ini. Saya pun heran mengapa beliau membawa ikan asin, sayur, dan membeli mie instan satu kotak di jalan.
Tepat pukul 11.50 kami berlima Tim Penulis bersama Pak Mecer, Anwar (sopir) dan Leo PD, manajer CU Canaga Antutn, berangkat dari rumah Pak Mecer. Cuaca mendung dan gerimis kecil menyertai perjalanan kami dengan mobil Ford Ranger 4 wheel diesel alias double gardan).
Pukul 13.05 kami sampai di Simpang Ampar. Jarak Pontianak-Simpang Ampar 101 km. Sejak jalan darat Pontianak-Ambawang-Tayan mulus, simpang tiga arah Kampung Simpang Ampar-Tayan-Batang Tarang menjadi ramai. Para pengendara mobil, khususnya taksi, bis, truk, maupun sepeda motor umumnya berhenti minum atau makan di sini. Tak heran, kini sudah ada belasan warung kopi, warung makan, toko, kios bensin dan bengkel. Semula saya heran kenapa kawasan ini dinamakan Simpang Ampar. Ternyata Simpang Ampar adalah nama kampung terdekat dari arah Pontianak sebelum pertigaan itu.   
Sekitar 10 menit kemudian (pukul 13.15) kami tiba di Tayan. Setelah menunggu sekitar 5 menit, ada ferry KMP Silok yang datang. Karena di depan mobil kami sudah antri sejumlah mobil, maka kami belum dapat giliran menyeberang, menunggu ferry kedua datang. Sambil menunggu kami minum di warung yang di dekat dermaga pelabuhan. Saya lupa mengamti apakah PT ASDP menyediakan ruang tunggu. Orang yang mau menyeberang menunggu di warung-warung.
Setelah menunggu sekitar 30 menit datang KMP Biramata. Mobil kami pun mendapat giliran menyeberang. Ferry Silok dan Biramata masing-masing hanya bisa menampung 3 truk atau mobil keluarga (sejenis kijang) bisa membawa enam unit. Tarif penyeberangan mobil kecil Rp.50 ribu; truk dan sejenisnya Rp.100 ribu. Dari Piasak kita akan memasuki perkampungan Dayak di sepanjang kiri dan kanan jalan.  Sekitar 20 menit sampailah ke Desa Piasak.
Sekitar 200 meter ke hulu sungai Kapuas di Piasak ini sedang dibangun pelabuhan milik PT Aneka Tambang (Antam) yang mengeksplorasi bauksit di Piasak sampai ke wilayah kecamatan Toba. Sepanjang kiri-kanan jalan dari Piasak ke arah Teraju terhampar luas areal tambang bauksit PT Antam. Areal yang dulunya hutan, kita tinggal tanah kuning, semua tanaman diatasnya digusur untuk dikeruk bauksitnya. Saya ingin sekali suatu waktu mencari tahu apakah masyarakat sekitar perusahaan ini mendapat manfaat dari hadirnya perusahaan raksana ini.

Jalan Mulus
Jalan darat Pontianak-Tayan-Piasak-Sandai benar-benar mulus beraspal. Hanya jembatan yang masih dalam pengerjaan. Karena itulah, jarak Pontianak-Sandai yang dua tahun lalu harus ditempuh seminggu karena jalannya berlubang, berlumpur dan rusak parah; dalam dua tahun terakhir ini bisa ditempuh 6 jam saja. Harus diakui, mulusnya jalan ini salah satu upaya balas budi Gubernur Cornelis atas pilihan rakyat di sepanjang jalan ini kepadanya sewaktu Pilgub 2008 silam.    
Jalan trans kalimantan yang mulus
Pukul 17.55 kami tiba di Sandai. Setelah deru mesin mobil menghilang, azan magrib pun terdengar berkumandang. Azan ini sekaligus pertanda bahwa di ibu kota kecamatan Sandai ini mayoritas penduduknya adalah Muslim dari etnis Melayu. Selain Melayu di sini kini juga mulai banyak pendatang dari etnis Dayak, Tionghoa, Jawa, dan lainnya. Bahkan meski jumlahnya sedikit, warga Tionghoa di sini memegang peran penting dalam perekonomian masyarakat.  
Di sepanjang kiri kanan jalan Piasak-Sandai kami melewati delapan kecematan dan belasan kampung. Yakni kecamatan Tayan Hilir, Toba, Simpang Hulu, Simpang Dua, Sepotong, Aur Kuning, Randau dan Sandai. Kampung-kampung yang dilalui adalah kampung Piasak-Embaloh-Natai-Balai-Belungai-Lombak-Beringin-Sebandang-Embangai-Lumut-Tunggul-Bungkang-Nek Gajah-Teraju (Piasak-Teraju 27 km).
Dari Teraju ke Sandai sejauh melawati kampung Mangkup-KM12-Modang-Empasi-Pemasak-Entuba-Labai-Balai Berkuak-Balai Pinang- Langkar- Baram-Simpang Dua-Gerai-Entinap/Bengaras (simpang ke Kecamatan Sepotong)-Kalam-Aur Kuning-Entinap-Kumai-Randau-Bayur-Muara Jekak-Sandai. Jarak Teraju-Balai Berkuak 52 km; jarak Balai Berkuak-Sandai 116 km.
Jika Anda berkendara di jalur darat Piasak-Sandai mesti ekstra hati-hati karena tikungannya tajam; turunan dan tajakan yang tajam pula. Dan yang lebih berbahaya adalah jalannya masih sepi pengendara sehingga jika kita terlalu kecepatan tinggi dan tiba-tiba ada hewan piaraan di kampung yang melintas, maka bisa berbahaya. Persoalan lain adalah jika terjadi kerusakan kendaraan di jalan, khususnya mobil, maka akan sangat sulit mencari bengkel mobil. Jika bermobil sendiri lewat jalur ini  hati-hatilah dan pastikan mobil Anda dalam kondisi prima.
Di Sandai kami singgah di rumah keponakan Pak Mecer. Di perjalanan Pak Mecer memang memesan ponakannya agar disiapkan makan malam. Makan malam kami lahap sekali karena disuguhi lauk ikan asam pedas. Sebelum makan kami disuguhi buah mentawa, buah khas Kalimantan. 
Pukul 19.00 kami meneruskan perjalanan menuju Menyumbung. Di beberapa sudut kota Sandai kami menemukan anak-anak bermain kembang api dan petasan. Maklumlah, malam itu adalah malam tahun baru Imlek.
Jalan Sandai -Menyumbung
Jarak antara Sandai-Menyumbung sekitar 40km. Jika pakai sepeda motor bisa dijangkau sekitar satu jam. Dengan mobil pun kalau hari kemarau, sekitar sejam juga. Namun ketika kami kesana, siangnya diguyur hujan. Sehingga jalan yang semula kering jadi becek.
Dalam perjalanan Sandai-Menyumbung kami melawati perkampungan warga Melayu dan Dayak. Yakni kampung Muara Jekak (Melayu)- Petai Patah (Melayu)- Serinding (Melayu)- Batu Kambing (Melayu)- Nango (Melayu)-Demit (Dayak)-Sepiri (Dayak)- Randau Jungkal (Melayu)- Mariangin (Dayak)- Sepanggang (Dayak)- Sengkuang (Dayak)-Menyumbung (Dayak). Meski pelan karena jalannya berlubang, berbatu-batu sebagian dan tanah merah sebagian, dari Sandai sampai ke kampung Mariangin masih bisa dilewati dengan lancar. Mobil kami amblas tiga kali di jalan berlumpur sekitar kampung Sepanggang. Kami semua turun dan ramai-ramai mendorong mobil, akhirnya bisa lolos. Amblas keempat di jalan berlumpur nan licin di kampung Sengkuang. Hampir setengah jam kami mendorong, mengganjal jalan berlubang yang licin dengan bebatuan, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya bisa lolos setelah ditarik ramai-ramai dengan tali oleh kami bersama kenek dan sopir truk yang mengangkut kayu dari Menyumbung.

“Kota” Menyumbung
Saya di depan rumah Pak Mecer
Pukul 22.30 malam kami tiba di Menyumbung, dengan badan penuh bercak lumpur di sana sini. Setelah mandi, kami diajak Pak Mecer makan mie rebus. Barulah saya tahu kenapa Pak Mecer membawa mie instan sekardus.  “Ini rumah saya,” cerita Pak Mecer sambil kami menikmati mie, tentang rumah tempat kami menginap. Rumah ini besar, lebar 12 meter dan panjang 14 meter; tinggi 2 meter dari tanah. Ada lantai atas untuk tempat tidur dan dulunya ada studio radio komunitas Pupuk Tagua (kini radio tersebut sedang dalam proses on air lagi dan dikelola CU Canaga Antutn).
Di bagian kiri-kanan di dalam rumah itu ada bagian yang ditinggikan setengah meter. Bagian kanan masuk yang ditinggikan untuk tempat alat-alat musik ketika ada acara adat; bagian kiri masuk untuk minum tuak di tajau memakai sumpit.
Terpisah dari rumah induk, ada dapur berukur 6x10 meter. Setengah dari dapur ini digunakan sebagai rumah tinggal keponakan Pak Mecer; sekaligus penjaga rumah Pak Mecer ini.
Menurut Pak Mecer, rumah yang semuanya kayu dengan listrik tenaga surya tersebut dibangun tahun 1999, sebelum beliau membangun rumah di Pontianak. Di lokasi rumah inilah dulunya rumah Pak Mecer semasa kecil. Rumah aslinya sudah dibingkar. Karena ketika ketika besar adik-adik Pak Mecer sudah berumah sendiri, jadilah rumah itu kosong dan oleh Pak Mecer dibangun lagi. ”Rumah ini biasa dipakai orang kampung sini untuk berbagai acara adat, rapat ataupun acara-acara CU,”jelasnya.   
Esok harinya, pagi-pagi saya diajak Pak Mecer jalan pagi keliling “kota” Menyumbung; sekalian mau bertemu Pastor Paroki dan sejumlah narasumber yang akan kami wawancarai. Saya diajak ke pastoran, sayang pastor tidak ada di tempat. Kami singgah sebentar di bangunan besar di samping Gereja Salib Suci Menyumbung. Bangunan berukuran 18 x 38 meter tersebut adalah Gedung Paroki. Gedung ini dibangun dengan dana Rp.500 juta dengan meminjam dana di CU Canaga Antutn.   
Pagi itu kami ketemu Pak Deka. Pak Deka pernah menjadi transkriber cerita rakyat Dayak Krio di Institut Dayakologi (2004-2007). Kami juga ketemu dan berbincang-bincang dengan Kades Menyumbung (kalau tidak salah Singkim namanya). Orangnya masih muda, enerjik. Kami juga lewat SMP Negeri Menyumbung. SMP ini menurut Pak Deka gurunya jarang datang; lebih banyak waktunya di Sandai sehingga proses belajar-mengajar tidak efektif.
Pasar desa yang tidak digunakan
 Saya sempat mampir di sebuah ruko Pasar Desa yang tidak difungsikan, hampir persis di seberang jalan di depan rumah Pak Mecer. Begitu juga ada bangunan rumah adat Dayak yang dibangun Pemkab Ketapang yang juga belum pernah difungsikan.
Menyumbung adalah ibukota kecamatan Hulu Sungai, kecamatan yang baru terbentuk lima tahun lalu. Semestinya sebagai kecamatan dilengkapi dengan perangkat pemerintahan, seperti kantor camat, kantor polisi (Polsek), kantor TNI (Koramil) dan instansi terkait. “Namanya sih kecamatan. Tapi camat nya pun jarang ada. Kantor Polsek, Koramil belum ada,”keluh Pak Herman Abser, salah seorang tetua Menyumbung.
Memang kesan saya Menyumbung ini belum seperti sebuah kota yang tertata rapi. Fasilitas umum yang disediakan pemerintah pun masih sangat terbatas; padahal daerah ini adalah sumber penghasil karet, kayu, babi, dll untuk Kabupaten Ketapang. Penduduknya ramai, bahkan rumah penduduknya padat dan cukup banyak rumah yang menghadap limbah dapur rumah lainnya.
Di Menyumbung ada pastoran, ada susteran, ada poliklinik yang dikelola suster OSA; ada SD Katolik dan ada SD Negeri. Sudah ada air bersih dari sumber air sungai yang masuk ke rumah-rumah warga dengan pipa paralon. Sudah terpasang tiang dan kabel listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Namun listrik ini belum bisa difungsikan karena bendungan penampung airnya yang dibangun dengan dana milayar rupiah sudah tiga kali jebol.
Jembatan Sungai Menyumbung
Sungai rematang bak air kubangan babi
Saya juga sedih melihat dua sungai di tengah Menyumbung yang tidak bisa difungsikan lagi, yakni sungai Menyumbung dan Sungai Rematang. Sungai Menyumbung yang kita lewati di awal masuk Menyumbung, kini hampir hilang karena banyaknya timbunan sampah dan endapan tanah. Padahal nama Menyumbung itu berasal dari nama sungai ini. Sungai Rematang,persis di tengah Menyumbung. “ Dulu kami mandi, mengambil air untuk masak, mencari ikan, berperahu di sungai ini. Dulu cukup dalam dan banyak ikannya,”jelas Pak Mecer ketika kami melewati sungai Rematang. Kini sungai itu baik air kubangan babi karena aktivitas penambangan emas di sepanjang daerah alirannya sehingga tidak bisa dikonsumsi lagi.
Jek/tambang emas di sungai krio
Kedua sungai ini bermuara ke sungai Krio. Sebelum jalan darat Menyumbung-Sandai bisa dilewati mobil, sungai ini adalah transportasi utama ke Sandai dan ke Ketapang.
Saya mendapati sedikit surprise karena ternyata kampung tua orang Menyumbung namanya Petebang; sama dengan kampung saya. Menurut Pak Mecer, asal usul orang Menyumbung dari suatu daerah yang disebut Babio Tanah Tarah. Karena kampung itu diserang sampar penyakit yang mematikan, maka warga pindah. Ada yang ke kampung Demit, ada yang ke Petebang dan dari Petebang inilah kemudian hijrah ke Menyumbung.

Periauan Pak Mecer

Durian di periauan Pak Mecer
Selesai menyantap hidangan pagi, sekitar pukul 10.00 kami diajak Pak Mecer ke periauan di daerah yang dinamakan Lawang Kuari. Dengan speedboat 40 PK dalam 10 menit mudik sungai Krio kami sudah sampai ke periauan. Leo mengantar kami bolak-balik dengan speedboat 40 PK milik CU Canaga Antutn (CUCA). Karena itu itu libur Imlek, maka Leo tidak masuk kerja di CUCA. Periauan seluas dua hektar yang baru beberapa tahun lalu dibeli Pak Mecer ini ada aneka jenis tanaman buah dan karet.Ada pondok di tengahnya. Karetnya sudah disadap dan menghasilkan sekitar 10 kg lateks tiap hari. Kami beruntung karena ada sebatang durian yang berbuah cukup lebat dan sedang mulai jatuh. Bahkan di pondok sudah disediakan sepuluh buah duren. Bisa dibayangkan nikmatnya makan duren di dekat pohonnya; ditemani gemuruh  sungai Krio dan aneka bunyi hewan hutan. Pas kami di sana, dua buah duren jatuh. Senang, sudah sekian lama tidak mencari durian jatuh, kami ramai-ramai mencarinya. Periauan ini salah satu rencana Pak Mecer mengisi hari tuanya. Rencananya di sini akan dipelihara sapi.
Selain duren, selama di Menyumbung saya (kami) makan buah langsat, kembayau, pekawai, mentawa, kapol. Buat Mas Adit, Ami dan Nesi yang lahir dan besar di Jawa, baru kali itulah mereka merasa buah pekawai, kembayau, mentawa dan kapol. 
Buah kapol, pekawai,langsat
Langsat kampung ini beda rasanya dengan langsat punggur yang biasa dijual di Pontianak. Langsat kampung rasanya tidak terlalu manis, asam dikit, tapi enak, harum. Pekawai sejenis duren. Kulitnya  kuning tua, rasanya manis—tidak semanis duren, tidak berbau menyengat seperti duren, rasanya lebih enak. Mentawa adalah buah endemik Pulau Kalimantan. Buah ini seperti buah sukun tapi berbulu tidak tajam (tidak seperti bulu duren). Didalamnya ada biji dan di biji inilah menempal daging yang dimakan. Rasanya mirip-mirip rasa ubi jalar mentah. Makannya tidak perlu di masak. Enak di makan ketika tua atau pun masak. Buah mentawa ini kaya dengan protein, terutama bijinya.
Buah kapol kurang lebih sebesar buah pinang. Kulitnya agak lunak, isi di dalamnya seperti buah rambai tapi bijinya keras. Makannya bisa diemut saja atau ditelan dengan bijinya. Cuma jika ditelan jangan terlalu banyak karena bisa menyebabkan sembelit.  
Kembayau adalah buah yang unik. Buah ini cukup direndam dengan air panas sekitar 5 menit. Angkat, taburi garam sedikit dan makan selagi hangat. Yang dimakan adalah daging kulit di bagian luart bijinya. Ada dua keunikan buah ini. Kalau direbus, justru daging yang menempat di kulitnya menjadi keras dan tidak bisa dimakan lagi. Kedua, jika kita buka bijinya, langsung menjadi daun. Daun ini pun malamnya ditumis dan dijadikan sebagai sayur kami.
Sebenarnya ada ratusan jenis buah khas Kalimantan. Durian saja ada beberapa jenis lagi. Hanya ketika kami ke Menyumbung banyak yang tidak sedang berbuah. Ada juga beberapa jenis buah yang sudah punah.
Hari berikut kami diajak Pak Mecer ke lokasi kebun karetnya yang lain, ke arah jalan Kenyabur. Ada sekitar 2 hektar luasnya. Ada karet, ada sawah, dan tanah kosong. Menurut Pak Mecer, masih ada dua lokasi tanah beliau di sana. Satu di kampung Sengkuang dan satu lagi bukit seluas sekitar 40 hektar di perbatasan Menyumbung-Randau. “Bukit itu untuk menyelamatkan aneka jenis tanaman serta binatang khas Kalimantan. Saya ingin jadikan hutan wisata,”jelas Ayah dari Frans, Wisda, Yugin, Theo, Tesa dan Aga ini.
Masyarakat Meyumbung  dan sekitarnya memang mempunyaimata pencaharian pokoksebagaipenoreh karet alam. Ada juga yang kerja mencari emas, kayu, ternak babi dan lainnya.Secara umum,secara tampilan fisik rumah-rumahnya, masyarakat di sini lumayan sejahtera. Kampung ini relatif bersih karena--beda dengan kampung orang Dayak kebanyakan--tidak ada ternak babi yang berkeliaran di tengah kampung.
Karet sumber penghasilan utama
Bahkan yang aneh menurut saya,apakah karena adauang atau mentalitas yang berubah,cukup banyak ibu-ibu yang setiap pagi menunggu penjual sayur dan lauk (ayam, ikan) dari Sandai yang datang. Lucunya mereka membeli kacang, timun,daun ubi,cabe,terong dan jenis sayuran lainnya yang semestinya bisa ditanam di pekarangan rumah atau ladang.    
Malamnya kami wawancara dengan kawan sepermainan Pak Mecer masa kecil. Ada pak Patrik, 83 tahun; Pak Duman, 70 tahun dan Pak Tutal, 75 tahun. Pak Duman sudah tidak baik pendengarannya sehingga harus berbisik jika bicara dengannya. Tapi ingatannya masih baik; begitu juga ingatan Pak Patrik dan Pak Tutal. Sebenarnya banyak kawan Pak Mecer tapi ada yang sudah meninggal, pindah atau tidak baik lagi ingatannya.
Wawancara hangat, apalagi disuguhkan tuak, minuma khas orang Dayak yang terbuat dari nasi ketan diberi ragi. Selesai wawancara kami bercerita tentang beragam hal sampai pukul 11 malam. Neci yang baru pertama merasa tuak diajak bersulang minum dan mampu menghabiskan segelas tuak. Hebat juga Nesi sebagai peminum tuak pemula karena segelas tuak itu cukup membuat kepala puyeng.
Pak Mecer lahir di Menyumbung 27 Maret 1944 dari pasangan Ambrosius Doera dan Ana Maria Lompam. Pak Doera meninggal tahun 1969 dan Ibu Ana berpulang tahun 1998. Mereka delapan bersaudara, yakni AR Mecer, Marta Ledo (alm), Herman Abser, Abdon (meninggal usia 3 tahun), Matius Mates, Mani, Kristina (meninggal umur setahun) dan Lusia.
Meski mata masih ngantuk, esok paginya kami wawancara dengan Pak Herman Abser dan Pak Montel. Setelah itu Adit yang memang bertugas membuat foto-foto Pak Mecer menjalankan tugasnya. Pengambilan gambar dilakukan di depan rumah Pak Mecer dan di kantor CUCA.
Ada nostalgia yang berkesan juga bagi saya pada hari kedua Tahun Baru Imlek, selasa 24 Januari 2012. Setelah terpisah sejak tamat SMA Santo Yohanes Ketapang tahun 1990, saya bisa bertemu dua orang kawan sekelas saya di kelas Biologi (A2); yakni Beno dan Ani, keduanya suami isteri. Mereka berdua masih ada darah Tionghoa sehingga juga merayakan Imlek. Waktu sekolah dulu Ani teman sebangku saya. Ani gadis asli Menyumbung, dan Beno lahir dan besar di kampung Tanjung, Kecmatan Jelai Hulu, Ketapang. Mereka ketemu dan menikah karena Beno perawat di Poliklinik Susteran OSA Menyumbung.

Paroki mandiri-CUCA
Gedung Paroki Menyumbung
Di kompleks Pastoran Salib Suci Menyumbung sedang dibangun gedung terbesar di sana; yakni gedung paroki berukuran 18 x 38 meter berlantai dua di bagian kiri kanannya. Ada panggung, ada aula besar; ada 3 kamar kelas ekonomi; 3 kamar kelas eksekutif dan beberapa ruangan untuk kantor. Kamar itu akan disewakan jika ada tamu yang menginap sebagai income Paroki. 
Saya bertanya dalam hati, hebat benar umat disini bisa membangun gedung sebesar itu. Sebelum sempat saya tanyakan, Pak Mecer menjelaskan bahwa gedung itu dibangun dari bunga tabungan “Dana Kemandirian Paroki Salib Suci Menyumbung”. Ide dan fasilitasi pembentukan dana mandiri paroki ini dari Pak Mecer.
Leo PD, manajer TP Pusat CUCA
Program ini dimulai tahun 1998. Umat iuran dan ditabung di CU Canaga Antutn dan sampai 30 Januari 2012 dana yang terkumpul mencapai Rp.1.018.709.125 dari sekitar 3.000 umat di stasi Menyumbung dan stasi lainnya. Untuk membangun gedung paroki ini, paroki meminjam dana ke CUCA sebesar Rp.500 juta. Pokok dan bunga pinjaman ini dibayar dari bunga dana paroki mandiri Rp 1,018 miliar tersebut. Selain membayar pinjaman untuk membangun gedung paroki, bunga dari dana paroki mandiri ini untuk membantu biaya operasional paroki. “Rencananya setelah gedung paroki selesai, kami akan membangun gereja,”jelas Pak Abser, wakil ketua Dewan Pastoral Paroki Salib Suci. 
Targetnya tahun 2017 dana mandiri ini mencapai Rp.2,5 miliar.
Menurut Leo, keberhasilan program paroki mandiri ini juga berkat dukungan pastor paroki. “Apalagi pastor yang sekarang ini lebih militan lagi. Setiap kanonik, umat ditanya apakah sudah menjadi anggota CU dan apakah sudah punya kebun akret. Jika belum, maka beliau belum mau menikahkan,”kisah Leo. Sayang saya tidak bisa berjumpa Pastor Stefanus Lengi, CP., pastor yang dimaksud Leo.
Saya, Moses danPak Mecer di depan CUCA
CU Canaga Antutn sendiri adalah CU yang dilahirkan, diprakarsai Pak Mecer. Tentu saja tidak sendirian, Pak Mecer dibantu juga Bu Silvia Sayu (kini jadi ketua Pengurus CUCA), Pask Herman Abser dan sejumlah orang lainnya. CU ini mampu membawa perubahan pada kehidupan masyarakat Menyumbung dan sekitarnya. Anggotanya kini mencapai 11.000 orang dengan aset Rp.101 miliar; ada 9 tempat pelayanan dan mampu menggaji 39 orang staff.

Lancar
Karena dirasa sudah mendapat cukup informasi dan bisa merasakan bagaimana kehidupan di kampung Pak Mecer; juga karena padatnya jadwal kegiatan Pak Mecer, hari Rabu 25 Januari 2012 kami pulang ke Pontianak. Perjalanan pulang kami lancar. Sehari sebelum kami pulang, Anwar sudah mengantarkan mobil ke kampung Sengkuang, melewati jalan yang rusak. Kami diantar dua buah speedboat milik CU Canaga Antutn, dari dari kampung Sengkuang baru naik mobil lagi. Dalam perjalanan pulang dari Menyumbung-Sandai, baru kami dapat menikmati hijaunya dedaunan dari pepohonan yang memang tumbuh subur di sepanjang daerah aliran sungai Krio dan Pawan (sungai Krio bermuara ke sungai Pawan). Di sepanjang kiri kanan jalan terhampar kebun karet, ada juga kebun buah-buahan, seperti durian, lengkeng, rambutan, langsat. Sebagian sedang berbuah, cuma tidak lebat. Menurut Leo, buah itu buah tahap kedua. Buah tahap pertama bulan Desember silam.  
Dari Menyumbung mobil terus melaju dan baru berhenti di Randau Jekak. Pak Mecer mengajak kami melihat kantor CU Canaga Antutn yang sedang dibangun. Kantor besar, berukuran 10x10 meter berlantai dua, pas di tepi jaan trans Kalimantan. Di sekitar kantor CU itu kini mulai banyak rumah penduduk. Karena jalan trans Kalimantan ini lancar maka orang Randau banyak yang membangun rumah di pinggir jalan.
Pak Mecer menjelaskan "filosofi petani"
Pemberhentikan kedua kami di kolam ikan di Ambangai, dekat Teraju, ibukota kecamatan Toba. Kompleks kolam itu sekitar 2 hektar, dengan air bening mengalir langsung dari bukit sumber airnya. Ada belasan kolam untuk pembibitan dan pembesaran ikan nila dan ikan mas. Jika ditotal ada ribuan ikan besar dan kecil dipelihara disitu. Lokasinya sangat enak untuk bersantai sambil menikmati ikan bakar, ikar goreng atau pun asam pedas.  Disediakan pondok-pondok untuk bersantai dan kita bisa juga mandi. Kolam ini dulunya milik PEK-Pancur Kasih. Namun sejak tahun 2009 dibeli CU Sumber Kasih dan mereka kelola. “Tiap hari kolam ini tidak pernah sepi yang datang membeli ikan, lalu membakar dan menyantapnya di sini,”terang Sunyan, ketua pengurus CU Sumber Kasih. Sunyan dan Moses atas nama CU Sumber Kasih mentraktir kami makan siang di sini. Ikan bakar dan asam pedas ditemani lalapan membuat santap siang kami benar-benar nikmat.
Kami singgah di kolam Ambangai itu sebenarnya bukan sekedar makan. Pak Mecer mengambil kesempatan itu menjelaskan konsep filosofi petani dalam credit union kepada Sunyan (Ketua Pengurus) dan Moses (Manajer) CU Sumber Kasih. Berbekal potongan whiteboard kusam, pak Mecer menjelaskannya kepada mereka dari kami semua turut menyimaknya.
Selesai makan siang yang kenyang, perjalanan kami lanjutkan. Ketika kami naik ferry penyeberangan Piasak-Tayan, hujan cukup lebat. Ada pemandangan yang menarik bagi saya di sana: seorang petugas yang mengatur keluar masuk kendaraan ke ferry terlihat begitu semangat, berteriak keras di tengah derunya mesin ferry dan derasnya hujan. Saya salut dengan dedikasinya. Sambil menyeberang sekitar 20 menit, saya melihat-lihat dari ruang kemudi. Secara tidak sengaja saya melihat sang petugas yang bersemangat itu dua kali masuk ruang itu dan meneguk arak di botol kecil. Barulah saya sadar, mungkin dia bersemangat mengatur kendaraan di tengah hujan tersebut karena “dihangatkan” alkohol yang diduga berkadar alkohol 40 persen. Bagaiman ya kalau dia sampai mabuk dan mengemudikan ferry itu?  
Perjalanan panjang Pontianak-Sandai-Menyumbung hampir 900 kilometer itu berakhir sekitar pukul 06.00 sore; kami tiba di rumah Pak Mecer dengan selamat dan menyenangkan. Salut untuk Anwar yang tanpa kesalahan membawa mobil.   
Jalanan Pontianak-Tayan-Sandai-Menyumbung yang penuh kelokan dan tikungan tajam yang terkadang mengguncang adrenalinku itu, bak resonansi nada dari sebuah lagu yang indah sekali. Resonansi kehidupan masyarakat di sepanjang jalan itu yang terus merayap maju mengikuti arus kehidupan yang kadang bersahabat, sering pula kejam terhadap mereka. Semoga kehidupan masyarakat di sepanjang jalan ini makin hari makin sejahtera dengan makin masifnya aneka bentuk pembangunan di sana.***

Pontianak, 6 Februari 2012
Edi V.Petebang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany