Langsung ke konten utama

Empat Orang Rakyat Jelata Menangkan Gugatan di MK

Mulai hari Senin, 19 September 2011, petani dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban karena dikriminalisasikan hokum jika memperjuangkan tanahnya yang dicaplok perkebunan, bisa bernafas lega.

Sebab hari itu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan, yang dianggap dapat mengganggu jalannya aktivitas perkebunan. Namun demikian, rumusan norma dalam Pasal 21 ini terlalu luas dan tidak rigit, sehingga mudah disalahgunakan dalam implementasinya, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hukum MK. Selain itu, ketentuan Pasal 21 ini juga dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat Adat, sebagai pemilik ulayat atas tanah yang banyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan. Karenanya MK menyatakan ketentuan pasal tersebut adalah inkonstitusional, dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Andi (berkaca mata) dan Japin (baju putih); dua dari empat penggugat UU Perkebunan ke MK

Gugatan yang didaftakan di MK tanggal 20 Agustus 2010 ini dilakukan oleh empat orang petani masyarakat adat di Indonesia. Japin, kampung Silat Hulu, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat; Vitalis Andi dari Desa Mahawa, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat; Sakri dari kampong Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur; dan Ngatimin Alias Keling, Kampung III Suka Rakyat Desa Pergulaan, Kecamatan Sungai Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Keempat petani ini didampingi 25 orang pengacara dari kantor hukum Public Interest Lawyer Network (PIL-NET), di Jalan Siaga II Nomor 31 Pasar Minggu, Jakarta Selatan. 

Para pengacara yang budiman yang tanpa bayaran mau memperjuangkan hak-hak kaum tertindas tersebut adalah 1). Wahyu Wagiman, S.H; 2). Wahyudi Djafar, S.H; 3). Andi Muttaqien, S.H; 4). Iki Dulagin, S.H; 5). Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H.,LL.M; 6). A. Patra M. Zen, S.H., LL.M; 7). Asep Yunan Firdaus, S.H; 8). TandionoBawor, S.H; 9). Anggara, S.H; 10). Adiani Viviani, S.H; 11). Agustinus Karlo, S.H; 12). Betty Yolanda, S.H; LL.M; 13). Blasius Hendi Candra, S.H; 14). Farhan Mahfudzi, S.H; 15). Fatilda Hasibuan, S.H; 16). Hadi Syahroni, S.H; 17). Ikhana Indah, S.H; 18). Khairul Fahmi, S.H., M.H; 19). Supriyadi Widodo Eddyono, S.H; 20). Sulistiyono, S.H; 21). Susilaningtyas, S.H; 22). Zainal Abidin, S.H; 23). Natanael Mite Timun, S.H; 25). Nur Hariandi, S.H., M.H.
 
Keempat orang tersebut menggugat UU Perkebunan karena pernah ditahan dan diadili karena dituduh melanggar pasal 21 dan 47 UU Perkebunan. Bahkan Andi dan Japin sampai saat ini masih menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung atas kasus mereka. Keduanya diadili, sempat ditahan dan divonis satu tahun penjara pada tingkat pengadilan rendah dan tinggi karena dituduh menghalangi usaha perkebunan (melanggar pasal 21 dan 47 UU Perkebunan).

Menurut Wahyu Wagiman, salah seorang lawyer dari PIL-Net, putusan ini sekaligus pula menegaskan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap hak asasi manusia dan keberadaan Masyarakat Adat merupakan pengakuan eksistensialis. Sehingga, hak asasi manusia, dan keragaman, keunikan yang ada pada masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara.

“Penegasan ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum putusan MK, yang menjelaskan bahwa masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik, yang biasanya menimpa masyarakat Adat atau Petani sangatlah beragam, sehingga penyelesaiannya pun harus menggunakan pendekatan yang beragam pula, disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan keadaan yang berbeda,”tulisnya dalam siaran pers yang disampaikan ke puluhan media massa di Indonesia (19/9).

Menurut Andi Muttaqien, lawyer dari PIL-Net, kepekaan sikap Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya patut diapresiasi, karena berhasil melihat kenyataan konflik Perkebunan. Mahkamah menyatakan bahwa kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat, dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara, berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Hal ini merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Kemudian, ketidakpastian hukum ini diikuti adanya ancaman hukuman berlebihan yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan.

“Dengan adanya Putusan atas Pengujian yang diajukan empat Petani ini, keberadaan masyarakat lokal dan masyarakat Adat di seluruh Indonesia tak lagi perlu takut dan merasa was-was dalam memperjuangkan hak asasinya, yang selama ini dilanggar perusahaan perkebunan besar melalui legalitas dan dukungan aparat Negara,”jelas Muttaqien. 

Berdasarkan fakta dan argumentasi di atas, kami meminta Mahkamah Agung dan seluruh lembaga Peradilan di bawahnya, agar memperhatikan Putusan Pengujian UU Perkebunan ini, dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang saat ini tengah diproses hukum, dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan, yang telah dibatalkan tersebut. Pengadilan juga harus pula memperhatikan putusan tersebut, dalam memeriksa setiap langkah hukum, dalam rangka upaya pembebasan setiap warga negara—para petani, yang telah dijerat dengan menggunakan kedua ketentuan dimaksud.

Menurut PIL-Net, selain itu, Presiden juga harus memperhatikan putusan tersebut, dalam kerangka penyusunan kebijakan baru, yang terkait dengan langkah penyelesaian konflik-konflik perkebunan, yang melibatkan petani—Masyarakat Adat, dengan perusahaan-perusahaan perkebunan. Artinya, harus ada perubahan pola kebijakan dalam menyelesaikan setiap sengketa perkebunan, tidak lagi menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap mereka yang lemah dan rentan.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany