Langsung ke konten utama

Sabatu, Wujud Nyata Kasih Kepada Sesama


By Edi V.Petebang


Dengan terseok-seok Bimbim berjalan dengan penopang kedua kakinya. Ia berusaha sekuat tenaga belajar berjalan dengan kakinya yang lunglai. Terkadang roboh, namun ia berusaha bangun lagi dibantu pemandunya. Di belakangnya seorang bocah juga belajar berjalan tanpa alat bantu. Di meja panjang, terlihat beberapa anak sedang membuat rosario dari biji manic-manik. Di ruang terapi, beberapa anak belajar duduk, belajar berjalan.

Bimbim adalah satu diantara anak-anak yang dirawat pusat rehabilitasi cacat fisik bernama Sabatu. Bimbim, 7 tahun, asal Kampung Keladan, Kabupaten Bengkayang, 200 km utara Pontianak ini menderita lumpuh sejak bayi sehingga tidak bisa berjalan. Sudah dua minggu ia diterapi di Sabatu dan nanti diberi alat bantu berjalan.

Sabatu, yang merupakan kependekan dari “Saling Membantu” menjadi satu-satunya pusat rehabilitasi penderita cacat fisik di Provinsi Kalimantan Barat. Sabatu bernaung di bawah Ordo Kapusin Provinsi Pontianak. Sejak didirikan tanggal 1 Juli 1998 sampai hari ini (12/8) sudah melayani 2.972 pasien, baik yang dirawat inap maupun yang rawat jalan. Total pasien rawat inap berjumlah 1.565 orang.

Kapasitas panti penampungan adalah 22 orang anak. Namun bagi yang berobat jalan disediakan mess dekat Sabatu. Tiap bulan pasien berganti. Satu orang pasien maksimal dirawat di Sabatu selama sebulan untuk memberikan kesempatan kepada pasien lain.

Menurut Yosep, karyawan Sabatu, Sabatu adalah pusat rehabilitasi khusus anak-anak yang mempunyai kelainan fisik seperti bibir sumbing, luka bakar, kaki bengkok, polio, post kecelakaan, amputasi kaki bawah/atas, kelumpuhan sebelah yang umumnya berumur 6 bulan sampai 20 tahun.

Dengan visi “memberikan pelayanan kepada para penyandang cacat fisik agar fisik orang cacat dapat ditingkatkan dan ia secara mental dapat menerima dirinya dengan kecatatannya” Sabatu melayani pasien tanpa membedakan suku, agam, ras dan warna kulit.

“Misi kami adalah melayani tanpa membedakan suku, agama, rasa dan status social ekonomi. moto kami adalah saling membantu. Artinya ada pihak yang member dan pihak laian menerima dibawah naungan cinta kasih,”jelas Yosep kepada saya dan Andika Pasti dari Majalah KR yang berkunjung kesana (11/8).

Menurut Yosep, Sabatu akan berusaha meningkatkan kondisi fisik, membuatkan alat bantu, memberi keterampilan sesuai kebutuhan serta mempersiapkan pasien menuju kemandirian hidup. ”Yang terpenting adalah pasien secara mental dapat menerima dirinya sebagai orang cacat fisik dengan keterbatasan fisik,”tambahnya.

Sabatu bekerja sama dengan rumah sakit swasta milik keuskupan Agung Pontianak, yakni Rumah Sakit Santo Antonius. Setelah dioperasi, maka penyembuhan, terapi dan pemberian alat bantu dilakukan di Sabatu. Bagi pasien yang tidak miskin, maka seluruh biaya operasi, perawatan sampai alat bantu diberikan secara gratis oleh Sabatu. Sabatu juga melayani jemputan pasien ke lapangan.

Fisioterapi di Sabatu menyediakan tujuh jenis pelayanan. Yakni ultra sound theraphy, electrical theraphy, ortho theraphy, orto traksi, diathermi dan chatanoga, inframerah dan ultra violet, nebulizer dan fisioteraphy manual.

Sambil terapy atau menunggu alat bantu selesai, pasien di Sabatu diberikan pelajaran keterampilan yang diajarkan oleh para sukarelawan. Ada menjahit, computer, membuat manik-manik, membuat Rosario. Bagi yang sudah besar, mereka juga dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga, seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci pakaian.

Aktivitas rutin dimulai pukul 05.00 dengan jadwal yang teratur: mandi, makan, senam pagi, terapi pagi, kerajinan tangan, minum bersama, makan siang, istirahat siang, kerja bakti bersama, terapi sore, rekreasi dan nonton tv bersama lalu tidur malam pukul 21.00 WIB.

“Saya bahagia bisa membantu anak-anak disini belajar memotong kain dan menjahit,”ujar Maria, sukarelawan yang mengajarkan keterampilan menjahit.

Sabatu juga memproduksi peralatan bantu untuk para pasien cacat fisik yang mereka buat sendiri. Ada bengkel yang memproduksinya yang karyawannya sebagian juga penderita cacat fisik. Di bengkel ini bisa dibuat 13 jenis alat bantu, antara lain kaki palsu, tongkat, tripod, kursi roda, korset, walker, knee support , collar dan briss steel.

Markus, pembuat kaki palsu yang juga penderita cacat fisik, mengaku bangga bisa menolong sesamanya dan bisa bekerja di Sabatu. “Sabatu memberi saya kepercayaan diri untuk bisa menerima diri apa adanya sebagai makhluk Tuhan yang unik,”jelasnya.

Kendala yang mereka hadapi adalah rendahnya kesadaran orang tua, khususnya di kampung, untuk mengobati anaknya. “Mereka umumnya menganggap cacat fisik itu sebagai nasib yang harus diterima begitu saja,”jelas Anna, sukarelawan Sabatu yang sehari-hari standby disana.

Kendala lain menurut Yosep adalah soal pendanaan. Biaya untuk operasional Sabatu memerlukan biaya yang besar. Yakni untuk operasi di rumah sakit, pengobatan, konsumsi sehari-hari, biaya lapangan dan pembuatan alat-alat bantu. “Kami tidak mempunyai donator tetap pribadi maupun lembaga. Namun kami percaya Tuhan selalu akan memberikan jalan bagi karya ini karena ini merupakan perwujudan nyata cinta kasih kepada sesama,”jelasnya.

Nah, bagi Anda yang ingin menyumbang dalam bentuk uang maupun barang bisa langsung menghubungi alamat Jalan Cendana Nomor 110 Pontianak 78117 Telepon 0561-731690 Email: sabatu@telkomnet. Atau via rekening Bank Mandiri Cabang Ngurah Rai-Pontianak Acc.146-0093022650 atas nama Ordo Kapusin Provinsi Pontianak di Pontianak dengan catatan “Untuk Sabatu”.

Salam hangat, senyum tulus dan lambaian tangan Bimbim, Marto dan pasien lain di Sabatu kepada kami seperti menyiratkan adanya harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi para penderita cacat fisik setelah sembuh.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany