Langsung ke konten utama

Seabad Kolonisasi Sawit di Indonesia

Tahun 1911 Adrien Hallet, warga Belgia memulai usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Kemudian dikembangkan oleh K Schadt, warga Jerman. Dukungan pemerintah penjajah Belanda, sawit berkembang dengan pesat. Setelah Indonesia merdeka, kolonisasi sawit semakin kuat. Apa yang didapat selama seabad kolonisasi sawit di Indonesia (1911-2011)? Pengusaha untung, pemerintah buntung, rakyat tak putus dirundung duka.
Jalan kebun sawit yag diblokir warga karena mengambil tanah tanpa ganti rugi

Hallet dan Schadt mungkin tidak menyangka bahwa tanaman yang dikebukannya tersebut kelak akan menimbulkan masalah yang sangat serius dalam aspek ekologi, lingkungan, social, ekonomi di Indonesia; bahkan turut berkontribusi bagi percepatan kehancuran ekosistem bumi ini.

Sejak saat itulah (tahun 1911), perkebunan kelapa sawit mulai berkembang seiring dengan peningkatan permintaan minyak nabati akibat revolusi industri pada pertengahan abad ke-19. Perkebunan sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Saat itu luasnya hanya 5.123 hektar. Indonesia untuk kali pertama mengekspor 576 ton minyak sawit pada 1919 dan mengekspor 850 ton minyak inti sawit pada 1923.

Pada masa pendudukan Belanda perkebunan sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor negara  Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan sawit mengalami penyusutan lahan hingga 16 persen dari total luas lahan yang ada. Akibatnya, produksi minyak sawit di Indonesia hanya 56.000 ton pada tahun 1948-1949. Padahal, tahun 1940 Indonesia telah mengekspor 250.000 ton minyak sawit.

Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.

Baru semenjak era Orba perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sitem PIR-BUN. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.

Jika pada 1980 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru mencapai 29.560 hektar—area terbatas hanya di Sumatera Utara dan Aceh—dengan tingkat produksi 721.172 ton CPO, tahun 1994 luas perkebunan sawit meningkat menjadi 1.804.150 hektar dengan produksi 4.804.600 ton CPO.

Sembilan tahun kemudian, yakni 2003, perkembangannya amat spektakuler karena sudah mencapai sekitar 3,5 juta hektar. Data lain menyebutkan sudah 4 juta hektar. Data tahun 2010 menunjukkan, luas perkebunan meningkat lagi mendekati 8,0 juta hektar, terdiri dari 3,1 juta hektar milik swasta, 1,2 juta hektar milik PTPN, dan 3,7 juta hektar milik rakyat. Komposisi ke pemilikan  65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi.  Dengan area seluas itu, Indonesia mampu memproduksi 22 juta ton CPO setiap tahun dan menjadi produsen terbesar CPO dunia, mengalahkan Malaysia.
Ada 10 perusahaan besar yang menguasai industri perkebunan sawit di Indonesia. Yakni (1)Raja Garuda Mas, (2)Wilmar Group, (3)Guthrie group, (4)Sinar Mas dan (5)Astra Agro Lestari, (6) Cilandra Perkasa Group, (7) Sucofindo Group, (8) Kurnia Group, (9) Lonsum Group dan (10) Bakrie Group.

Di Kalbar hingga kini terdapat sekitar 261 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas lahan 4,1 juta hektare. Padahal, alokasi lahan yang dicadangkan hanya sekitar 1,5 juta hektare (Disbun Kalbar, 2009). Hampir 70 persen perusahaan sawit di Kalbar dikuasai investor Malaysia. Dari sisi sawit, jelas Kalbar dikuasai Malaysia. Karena itulah pemerintah seperti bertekuk lutut di kaki Malaysia. Berikut sebagian dari perusahaan sawit tersebut.

Data Perkebunan Sawit di Kalbar
No
Perusahaan
Mulai
Group
Kabupaten
Luas (ha)
1
Aimer Agro Mas

Sinar Mas Group


2
Aneka Sari Pendopo

Cempaka Anda Group


3
Antar Mustika Segara
0
Benua Indah Group
Ketapang
15.000,00
4
Ayu Sawit Lestari

Harapan Sawit Lestari
Ketapang
6.396,00
5
Bakrie Sawit Perdana

Bakrie Group
Ketapang

6
Bakrie Sawit Pratama

Bakrie Group
Ketapang

7
Bakrie Sawit Prima

Bakrie Group
Ketapang

8
Bakrie Sumatera Palntation I

Bakrie Group


9
Bakrie Sumatera Palntation II

Bakrie Group


10
Bakrie Sumatera Palntation III

Bakrie Group


11
Benua Indah Group

Benua Indah Group
Ketapang
12.855,30
12
Benua Indah Group

Benua Indah Group
Ketapang
6.517,00
13
Benua Indah Group

Benua Indah Group
Ketapang
10.827,00
14
Benua Indah Group

Benua Indah Group
Ketapang
6.719,00
15
Benua Indah Group

Benua Indah Group
Ketapang
11.114,00
16
Bintang Harapan Desa

BHD
Sanggau
8.900,90
17
Bontipermai Jayaraya
1997
Lyman/Satya Djaya Raya Group
Sintang
80.000,00
18
Budidaya Agrolestari
1992
Benua Indah Group
Ketapang
14.000,00
19
Bukit Aka Mayau


Landak
200,00
20
Bukit Prima Platindo

Multi Prima Entakai Group
Sintang

21
Bukit Hujau Lestari

Multi Prima Entakai Group


22
Bumi Indo Kapuas
1998
Ika Muda Grup
Pontianak
50.000,00
23
Bumi Raya Utama Group

Bumi Raya Utama Group
Pontianak
1.468,90
24
Bumi Raya Utama Group

Bumi Raya Utama Group
Ketapang
9.957,00
25
Bumi Pratama Khatulistiwa
1996
Karya Prajuna Nelayan Group
Pontianak
15.000,00
26
Bumi Pratama Khatulistiwa


Pontianak
3.539,38
27
Bumi Suka Swakarsa

Mukti grup


28
Cemaru Lestari
1996
Bumi Raya Utama Grup
Pontianak
17.500,00
29
Cempaka Anda

Cempaka Anda Group


30
Ceria Karya Pranawa
1995
Indofilton Inti
Sambas
5.000,00
31
Citra Nusa Inti Sawit

Salim Group
Sanggau
30.000,00
32
Citra Riau Sarana

Salim Group
Sanggau
10.000,00
33
Citra Tani Utama I, II

Rana Wastu Group


34
Duta Sumber Nabati
1990
Benua Indah Group
Ketapang
15.000,00
35
Duta Surya Pratama

BHD
Sanggau
9.499,20
36
Esther Antarthyca


Bengkayang
0,00
37
Graha Cakramulia
1998


15.000,00
38
Golden Holp


Ketapang
4.664,49
39
Harapan Hibrida Kalbar
1994
Fajar Kita Kusuma
Ketapang
3.060,00
40
Harapan Hibrida Kalbar

Harapan Sawit Lestari
Ketapang
3.319,60
41
Harapan Sawit Lestari

Harapan Sawit Lestari
Ketapang
7.289,80
42
Harapan Sawit Lestari
1994
Fajar Kita Kusuma
Ketapang
11.500,00
43
Kalimantan Bina Permai


Sanggau
5.147,00
44
Kalimantan Bina Permai
1995
Lyman/Satya Djaya Raya Group
Sanggau
30.750,00
45
Kalimantan Oleo Industru


Sanggau
256,56
46
Kalimantan Sanggar Pusaka
1990
Lyman/Satya Djaya Raya Group
Sanggau
69.000,00
47
Kalimantara Persada Persawitan
1998
Karya Prajuna Nelayan Group
Pontianak
100.000,00
48
Karya Bogamitra

Rana Wastu Group


49
Karya Bogakusuma

Rana Wastu Group


50
Karya Mupakat Lestari


Sanggau
0,00
51
Kebun Aria


Landak
4.848,00
52
Kebun Ganda Prima Inti

Cempaka Anda Group
Sanggau
1.400,00
53
Kebun Ganda Prima Unit Plasama


Sanggau
5.000,00
54
Kembayan Subur Agro
1993
Batasan Group
Pontianak
26.000,00
55
Kembayan Subur Agro

Mitra Inti Sejati


56
Ladang Sawit Malindo


Ketapang
0,00
57
Lyman Agro Group

Lyman Agro Group
Sanggau
4.417,00
58
Lyman Agro Group

Lyman Agro Group
Sanggau
5.000,00
59
Lyman Agro Group

Lyman Agro Group
Sintang
1.961,00
60
Lyman Agro Group

Lyman Agro Group
Sintang
2.213,00
61
Lyman Agro Group

Lyman Agro Group
Sintang
4.170,47
62
Lyman Agro Group

Lyman Agro Group
Sintang
12.000,00
63
Megatani

Rana Wastu Group


64
Menara Artapalma
1995
Benua Indah Group
Ketapang
20.000,00
65
Mitra Austral Sejahtera


Sanggau
0,00
66
Mitra Inti Sejati
1990
Batasan Group
Sambas
0,00
67
Mitra Inti Sejati Plantation I

Mitra Inti Sejati
Bengkayang
4.730,00
68
Mitra Inti Sejati Plantation II

Mitra Inti Sejati
Bengkayang
8.366,00
69
Mitra Sawit Lestari

Harapan Sawit Lestari


70
Monodon Pratama Rubertindo
1997

Sambas
1.240,00
71
Mujur Agro


Sanggau
40,00
72
Mukti Agro Lestari
1998
Mukti grup
Sanggau
14.000,00
73
Mukti Bangun Perkasa
1998
Mukti grup
Sanggau
19.000,00
74
Mukti Swadaya Lestari

Mukti grup


75
Multi Jaya Perkasa


Sanggau
5.011,00
76
Multi Prima Entakai
1988
Multi Prima Entakai Group
Sanggau
0,00
77
Multi Prima Entikai

Multi Prima Entakai Group
Sanggau
3.972,00
78
Nusantara Chandra

Cempaka Anda Group


79
Nusantara Mukti Sentosa

Sinar Mas Group
Kap.Hulu
0,00
80
Patriot Andelas
1996
Bakrie Group
Sanggau
10.000,00
81
Perkebunan Nusantara XIII

Perkebunan Nusantara XIII
Sanggau
7.679,10
82
Perkebunan Nusantara XIII

Perkebunan Nusantara XIII
Landak
3.579,21
83
Perkebunan Nusantara XIII

Perkebunan Nusantara XIII
Sanggau
5.640,50
84
Perkebunan Nusantara XIII

Perkebunan Nusantara XIII
Sanggau
6.300,30
85
Perkebunan Nusantara XIII

Perkebunan Nusantara XIII
Sanggau
0,00
86
Perkebunan Nusantara XIII

Perkebunan Nusantara XIII
Sanggau
11.705,20
87
Permata Hijau Sarana

Multi Prima Entakai Group
Sanggau
0,00
88
Permata Hijau Sarana
1990
Multi Prima Entakai Group
Sintang
7.300,00
89
Permata Hijau Sarana

Multi Prima Entakai Group
Sintang
4.363,10
90
Poli Plant Sejahtera


Ketapang
0,00
91
Prakarsa Tani Sejati
1993
Bumi Raya Utama Group
Ketapang
25.794,00
92
Rana Wastu Kencana

Rana Wastu Group
Sambas
0,00
93
Ratubadis Adhi Perkasa


Sanggau
558,00
94
Riau Agrotama Plantation


Kp.Hulu
7.000,00
95
Risjad Sumber Kirana
1997
Risjadson Group

18.000,00
96
Sambas Raya Sakti


Sambas
0,00
96
Sandika Natapalma
1997
Benua Indah Group
Ketapang
0,00
97
Sawit Desa Kapuas

BHD
Sanggau
0,00
98
Selapan Jaya Permai


Sambas
5.000,00
99
Sime Indo Agro


Sanggau
12,00
100
Sempurna Kesuma

Harapan Sawit Lestari


101
Sinar Dinamika Kapuas
1994
Lyman/Satya Djaya Raya Group
Sintang
14.000,00
102
Sinar Dinamika Kapuas I


Sanggau
0,00
103
Sinar Dinamika Kapuas II


Sanggau
0,00
104
Sinar Dinamika Kapuas III


Sintang
0,00
105
Smart Corporation

Sinar Mas Group
Sintang
2.700,00
106
Subur Ladang Andalan

Benua Indah Group
Ketapang
0,00
107
Sukma Budiman Sentra Sawit


Sintang
0,00
108
Surya Borneo Indah

BHD
Sanggau
0,00
109
Surya Kencana Perkasa


Pontianak

110
Swadaya Mukti Perkasa

Mukti grup
Ketapang
2.681,00
111
Supra Palma Mandiri

Benua Indah Group


112
Tenera Agronusa

Benua Indah Group


113
Tun Srilanang Jaya

Cempaka Anda Group


114
Wira Karya Nusatani

Benua Indah Group


115
Wahana Transhutani

Benua Indah Group


116
Subur Ladang Andalan

Benua Indah Group
Ketapang

117
Wawasan Kebun Nusantara

Cempaka Anda Group


118
Wira Rivaco Mandum

Lyman Agro Group
Landak

119
Yamaker Satrindo Jaya


Sanggau

120
Yamaker Sawit Sari

Mitra Inti Sejati
Sanggau

Total
865.162,01
Sumber: Disbun kalbar, 2008

Luas kebun sawit akan terus bertambah karena adanya dukungan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas. Dengan aturan itu, seluruh wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman perkebunan. Akibatnya tidak hanya kondisi kolonialisme muncul kembali, petani miskin yang memperjuangkan tanah dan penghidupannya dari korporasi sawit pun tergusur, mereka malah seringkali dikriminalisasi bahkan dilindas. Bahkan di banyak daerah, seperti Kalbar, sawit menjadi primadona pembangunan.

Pertambahan luasan kebun sawit juga akibat dukungan para pejabat dari Pusat hingga daerah. Bahkan pada level tertinggi Republik ini, dari era Presiden Soeharto hingga SBY, sawit menjadi bisnis andalan. George Junus Aditjondro yang tampil sebagai pembicara dalam seminar Konferensi 100 Tahun Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia  yang diadakan di Medan, Sumut memaparkan keterkaitan antara komersialisasi sawit Indonesia dengan gurita Cikeas/ Presiden SBY (www.suarausu-online.com, Senin, 28 Maret 2011).

Menurut George, daftar dosa para petinggi pemerintah yang kurang terlihat adalah pengaruh mereka terhadap korporasi perkebunan sawit. Mulai dari penyerobotan tanah, intimidasi terhadap rakyat yang menolak melepaskan tanahnya, tindakan-tindakan aparat birokrasi dan pengadilan yang hanya berpihak kepada penguasa, sampai dengan ketidakpekaan sebagian kaum terpelajar, yang sibuk bersawit ria tanpa menyadari kontribusi mereka terhadap pemanasan global.

“Hal ini tidak muncul ke permukaan, karena yang menjadi korban tidak memiliki kuasa dan akses untuk membuat aspirasi. Membuat mereka seperti boneka, mau dipermainkan saja,” ungkapnya.

George juga mengatakan bahwa keterlibatan komersialisasi sawit di Sumatera pada khususnya, kini sudah mulai dikuasai oleh gereja-gereja konservatif. Hal tersebut sangat disayangkan, sebab kaum religius harusnya peka terhadap penderitaan di  lingkungannya.

Dukungan pemerintah terhadap industri sawit ini sesungguhnya sangat ironis. Jika mau berkaca dalam kasus Kalbar, ternyata kontribusi industri sawit terhadap pendapatan daerah sangat kecil. Pasalnya, sebagai besar perusahaan perkebunan itu berkantor pusat di Jakarta, sehingga pajak mereka masuk melalui kantor pelayanan pajak setempat (www.bappeda.kalbarprov.go.id).

"Misalnya, PT Sinar Mas tidak terdaftar di tempat kita, tapi di Jakarta. Sehingga pajaknya dimonitor oleh kantor pelayanan pajak Jakarta," kata Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak Kalbar Agus Wuryantoro.

Menurut Agus, pajak yang dihimpun kantornya dari perkebunan kelapa sawit di Kalbar selama ini masih relatif kecil karena hanya terbatas pada pajak penghasilan karyawan. "Jadi, yang kami monitoring hanya PPh karyawan. Nilainya hanya 30 persen dari harga pokok produksi perusahaan," ujarnya.

Kelapa sawit memang memiliki banyak kegunaan. Karena itulah kebutuhan dunia akan sawit terus meningkat. Kelapa sawit dimanfaatkan mulai dari industry makanan sampai industri kimia. Industri makanan mentega, shortening, coklat, zat tambahan, es krim, krim imitasi, pakan ternak, minyak goreng, produk obat–obatan dan kosmetik, mi instan, pelumas, bahan bakar biodiesel, krim, shampoo, sabun, lotion, pomade, vitamin and beta carotene juga memerlukan minyak sawit.

Industri berat dan ringan, industri kulit (untuk membuat kulit halus dan lentur dan tahan terhadap tekanan tinggi atau temperatur tinggi), cold rolling and fluxing agent pada industri perak, dan juga sebagai bahan pemisah dari material cobalt dan tembaga di industry logam juga membutuhkan bahan baku dari hasil kelapa sawit.

Sisa-sisa dari industri minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar boiler, bahan semir furniture, bahan anggur.

Selain minyaknya, ampas tandan kelapa sawit merupakan sumber pupuk kalium dan berpotensi untuk diproses menjadi pupuk organik melalui fermentasi (pengomposan) aerob dengan penambahan mikroba alami yang akan memperkaya pupuk yang dihasilkan.
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) bisa dimanfaatkan sebagai alternatif pupuk organik, pupuk kompos maupun pupuk kalium. Fungsi lain TKKS juga sebagi bahan serat untuk bahan pengisi jok mobil dan matras, dan polipot.

Pelepah pohon dan CPO dapat dijadikan ekstrak untuk Vitamin E. Batang pohon dapat dijadikan “fiber board” untuk bahan baku mebel, kursi, meja, lemari dan sebagainya. Ampas tandan/buangan sisa pabrik dapat dijadikan serbuk pengisi kasur, bantalan kursi, dan sebagainya.

Seabad Kolonisasi
Pada Maret 2011, kehadiran industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia tepat berusia 100 tahun. Usia seabad kehadiran industri perkebunan kelapa sawit itu dirayakan besar-besaran oleh seluruh industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Sumatera Utara (Sumut). Disisi lain, konflik karena perkebunan kelapa sawit terus meningkat.

Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joefly J Bahroeny, komoditas kelapa sawit dan turunannya ternyata menyumbang devisa cukup besar. Pada 2010, menurutnya, komoditas ini menyumbang devisa 14,1 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 122,7 triliun.

Kelapa sawit mampu menghasilkan sedikitnya 2,5 ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) per hektar per tahun dengan biaya produksi 300 dollar AS. Minyak kedelai, pesaing utama CPO, hanya menghasilkan 1 ton minyak perhektar per tahun dengan biaya 500 dollar AS. Indonesia memproduksi 21,6 juta ton CPO dari lahan seluas 7,9 juta hektar dan mengekspor 15,5 juta ton diantaranya pada 2010.

Gapki berharap, pemerintah terus mendukung kelapa sawit nasional. “Kami sudah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beliau mendukung kami. Kami juga menghormati perjanjian Indonesia dengan Norwegia tentang moratorium hutan. Dulu 400.000 hektar lahan bisa dibuka per tahun. Sekarang pelaku usaha masih wait and see (menanti)," ujar Joefly (Kompas, 29/3/11).

Pada saat yang sama, aktivis dari sedikitnya 35 organisasi non-pemerintah juga menggelar konferensi tandingan di Medan. Mereka mendesak pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merusak lingkungan dan menerapkan praktik upah buruh murah.

Menurut aktivis Kelompok Pelita Sejahtera, Manginar Situmorang, sedikitnya 80.000 buruh harian lepas di Sumut berupah antara Rp 29.000 dan Rp 31.500 per hari.

Sebelumnya, dalam rangka mengkritisi 100 tahun industri sawit di Indonesia, Direktur Eksekutif Kelompok Pelita Sejahtera (KPS), Gindo Nadapdap, kepada sejumlah wartawan di Medan, Selasa (30/11) memaparkan kalau posisi petani dan buruh masih termarjinalkan.Tetapi, apa perubahan yang didapat petani dan buruh dari perayaan 100 tahun industri sawit itu? Nol. Luas lahan sawit secara nasional diperkirakan 9,2 juta hektar, sementara di Sumatera Utara 1,2 juta hektar. Di mana posisi petani dan buruh sawit? Jawabnya, ada di pinggiran. Mereka termarjinalkan, ujar Gindo.

Gindo juga mengatakan, kalau sistem kuli kontrak yang terjadi di perkebunan sawit zaman Belanda masih terjadi saat ini. Contoh sederhana, menurutnya, yakni masih tetap dibiarkannya praktik buruh harian lepas (BHL) di setiap perkebunan. Belum lagi ada sistem kerja kernetan, yang jumlahnya kami taksir ada 10.000 orang di seluruh perkebunan di Sumut. Kerja kernetan itu maksudnya adalah seorang BHL tidak hanya berfungsi sebagai kernet truk pengangkut sawit, tetapi juga mengutipi berondol sawit yang terjatuh,kata Gindo.

Terkait peringatan 100 tahun industri sawit, menurut Posman Sibuea, Guru Besar pada Jurusan  Ilmu dan Teknologi Pangan  Unika St Thomas Medan (Kompas(8/4/11), tantantangan utama perkebunan sawit di Indonesia adalah belum mampunya industri ini mengurangi kemiskinan. Nasib poara pekerja di perkebunan sawit paling mengenaskan. Praktik kuli kontrak kembali muncul dalam bentuk baru, yaitu buruh harian lepas. Dan yang lebih menyedihkan adalah buruh berondolan—mengumpulkan buah sawit yang lepas dari tandannya—yang bekerja setiap hari tanpa ikatan kerja sehingga tidak mendapat jaminan sosial. Padahal, kontribusi mereka sangat besar mengefisienkan hasil panen. Dengan demikian, argumentasi ekspansi sawit untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan patut dipertanyakan.

Menurut Posman, hal sebaliknya dialami oleh pemilik modal. Bisnis komoditas kelapa sawit mampu mengatrol kekayaan sejumlah orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes edisi akhir tahun 2010 menyebutkan, total harta dari 40 orang terkaya di Indonesia meningkat dari 42 miliar dollar AS (tahun 2009) menjadi 71 miliar dollar AS (2010). Sebagian besar di antaranya adalah pemilik perkebunan sawit. Namun, kelimpahan bisnis kelapa sawit ternyata tidak  serta-merta mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia.

Meski angka kemiskinan menurun 0,82 persen pada 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar: 31,02 juta orang atau 13,33 persen (BPS, 2010). Maka, menurunkan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sesuai dengan Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia sulit terealisasi.

"Peringatan 100 tahun sawit patut menjadi refleksi untuk membuka mata hati kita bahwa kelapa sawit belum menjadi sahabat rakyat; sawit baru sebatas sahabat pengusaha dan oknum pejabat pemerintah; rakyat tetap melarat," tulis Posman.

Konflik
Korporasi sawit melahirkan konflik di masyarakat. Hampir setiap hari di berbagai sudut Republoik ini terjadi konflik di masyarakat akibat perebutan tanah antara masyarakat (masyarakat adat khususnya) dengan perkebunan sawit.

Data Sawit Watch menunjukkan tahun 2007 ada 514 kasus; tahun 2008 sebanyak 576 kasus; tahun 2009 ada 604 kasus dan semester pertama 2010 tercatat 608 kasus. Kasus ini melibatkan sejumlah grup perusahaan besar seperti PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group.
buruh harian lepas perempuan di perkebunan sawit yang rentan penyakit dan pemecatan

Menurut data Walhi Kalbar telah tercatat sekitar 200-an kasus di perkebunan kelapa sawit menyangkut penggusuran lahan pertanian, tanam tumbuh, tempat keramat, ganti rugi yang tidak layak dan konflik antara yang menerima dengan tidak mau menerima perkebunan kelapa sawit (Walhi, 2007).

"Sengketa tanah yang memicu konflik beragam menyangkut penguasaan hutan di berbagai wilayah di Kalbar menegaskan kegagalan pemerintah dalam menyelaraskan pembangunan dengan struktur social, ekonomi masyarakat setempat, serta kaitan sejarah masyarakat bersangkutan dengan hutan. Investasi bernilai miliaran dolar itu justru membuat rakyat kehilangan tempat tinggal, ruang social serta kehilangan kemandirian dalam membangun kesejahteraannya sendiri, "tulis Walhi.

Kerakusan industri ekstraktif sawit telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas.

Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa  20 juta hektar  lahan perkebunan akan  menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa dalam 100 hektar lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan 20 juta hektar hanya menyerap 4,4 juta buruh.

Selain spansi perkebunan sawit di Indonesia telah mengakibatkan kerusakan hutan dan hilangnya hak hidup masyarakat sekitar hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan, dan berkurangnya air bersih.

Bagi yang terlanjur berkebun sawit, bersiap-siaplah mulai dari nol lagi ketika sawit diremajakan. Itu pun bagi yang bisa meremajakan sawitnya. Kenyataannya banyak petani tidak bisa meremajakan karena petani tidak memiliki sertifikat lahan yang bisa dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman dari bank (Kompas 30/3).

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Anizar Simanjuntak ketidakmampuan petani meremajakan tanamannya akan membuat produktivitas
sawit turun dan menurunkan jumlah produksi sawit secara nasional. Padahal pemerintah, kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti--seperti dikutip Kompas, mengatakan, pada 2020, Indonesia bisa mentargetkan 40 juta ton CPO per tahun (saat ini, produksi CPO di Indonesia mencapai 21,5 juta ton per tahun. Produksi akan difokuskan untuk bahan bakar hayati (biofuel) yang mampu mengurangi emisi karbon hingga 62 persen dibandingkan bahan bakar fosil yang banyak dipergunakan saat ini.

Seperti kata Mahatma Gandhi, "Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang (semua orang di muka bumi), tapi tak bisa mencukupi kebutuhan orang-orang (sebagian orang) yang rakus".  Hai orang-orang rakus, jangan hancurkan bumi ini, jangan hancurkan Bumi Khatulistiwa ini dengan perkebunan sawit.n


Edi v Petebang


Komentar

DW mengatakan…
Hebatnya penghancuran hutan dan isinya (satwa liar dan ecosystem)ciptaan Allah, membuat kaya para conglomerate sawit. Yang makmur dan kaya dari hasil produksi ini adalah para cukong2 dan orang2 yg berbusines komodity, petani dan rakyat tetap miskin dan hidup dibawah standard level. Semua ini adalah greed (kerakusan uang).

Sedihnya, kita kehilangan hutan atau paru2 dunia di Kalimantan dan Sumatra, kepunahan flora dan satwa liar unik Indonesia. Mereka dibunuh akibat perkebunan sawit. Habitat mereka dihancurkan dan mereka tidak bisa cari makan lagi. Tetapi para cukong sawit tidak perduli dan tidak memberi edukasi mengenai lingkungan dan satwa kepada para pegawai atau petani.

Generasi Indonesia kedepannya tidak akan memiliki gajah dan harimau yang hidup alami,tetapi hanya bisa melihat mereka dikebun binatang.

Kurangnya orang yang perduli dan yang mau ambil tindakan utk memproteksi hutan kita membiarkan para cukong sawit meraja lela merusak hutan kita semua.

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany