Langsung ke konten utama

Bukong, Sukarelawan Kematian Masyarakat Dayak


By Edi V.Petebang & Andika Pasti

Delapan orang berpenampilan seram dengan cekatan menggali liang lahat dan tanpa canggung memasukkan peti mati ke dalamnya. Malam sebelumnya mereka memasukkan jasad ke dalam peti mati yang terbuat dari kayu bulat. Wajah, badan, tangan dan kaki mereka diukir mirip hantu. Bercelana pendek, tanpa alas kaki dan hanya berbalut berbaju dari dedaunan; penampilan mereka membuat kita merinding ketakutan.

Mereka adalah para bukong. Bukong adalah sebutan untuk tenaga sukarela jika ada kematian dalam beberapa subsuku Dayak, misalnya Dayak Kayong di kampung Tebuar, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, 310 km arah Selatan kota Pontianak, Kalimantan Barat.
 
Bukong selalu identik dengan hantu dan didandani mirip hantu. Wajahnya diukir atau dilumuri dengan jelaga atau arang ditambah dedak kapur putih. Tubuh dibungkus dengan rumput, daun kering, seperti daun pisang. Kadang bukong juga memakai topeng wajah hantu. Penampilan bukong mirip penari hudoq pada masyarakat Dayak Bahau di Kalimantan Timur. 

Selain orang, bukong juga adalah sebuah adat penting dalam ritual kematian. Selain sebagai sukarelawan, bukong dimaksudkan juga untuk menghibur pihak keluarga yang sedang berduka. Bukong berbicara dengan bahasa sengau, mirip bayi belajar bicara. Pada saat-saat tertentu dia bernyanyi atau menari sehingga keluarga yang berduka terhibur.
 Menurut Cendaga Damai, kepala adat kampung Tebuar, Jumlah Bukong harus genap, minimal empat orang (maksimal tidak dibatasi, pernah 30 orang) dan harus lelaki, biasanya berumur 17 tahun keatas. Untuk menjadi bukong harus melewati beberapa tahapan. Yang utama adalah harus ada orang yang mau menjadi bukong. Tidak mudah untuk menjadi bukong karena harus siap fisik dan mental. Kesiapan fisik penting karena seorang bukong harus siap bekerja siang malam membantu pihak yang berduka, termasuk mengerjakan pekerjaan yang berat dan menakutkan, seperti mencari keperluan ritual adat ke hutan pada malam hari.

"Selama jasad masih di rumah, biasanya minimal 3 hari, maka selama itu pula bukong tidak mandi, tidak berganti pakaian, makan di tanah, kepanasan dan kedinginan di luar rumah, berpisah dengan anak isterinya," jelas Damai.

Setelah ada orang yang mau, maka diadakan ritual berobah bukong, yakni mengukir wajah, kaki, tangan dan memberi "pakaian" orang yang akan menjadi bukong. Selanjutnya bukong diberi minum tuak (minuman beralkohol yang terbuat dari beras ketan diberi ragi) dalam wadah bambu yang telah dimantrai oleh dukun. Mereka ini minum tuak di tangga atau di tanah depan rumah orang yang meninggal. Ketika minum tuak, bukong kepala menempelkan parang di kepala bukong. Tujuannya agar kuat baik fisik dan mental. Minum tuak hanya sedikit agar bukong tidak mabuk.

Setelah minum tuak, mereka akan besura’ (teriakan khas bukong) lalu masuk rumah orang meninggal sambil diiringi musik kematian dari gendang dan gong tiga jenis. Pemimpin bukong membuka kain penutup wajah mayat dan wakil pemimpin bukong menutupnya. Anggota bukong lainnya menari khas bukong sambil besura’.

Selanjutnya, bukong turun ke tanah untuk menerima pemberian dari pihak keluarga yang meninggal berupa beras, sayur, lauk dan minuman. Bukong harus memasak pemberian tersebut di tanah; dan tidak boleh makan sama dengan makanan orang umumnya.

Menurut Heri, 35 tahun, mantan bukong di kampung Tebuar, setelah resmi menjadi bukong, mereka tidak boleh menyebut nama. “Sesama bukong dipanggil dier, sedangkan untuk menyapa orang digunakan kata tutar,”ujarnya.

Sukarelawan

Tugas pertama bukong adalah mengumpulkan semua warga kampung untuk mengunjungi dan membantu keluarga orang yang meninggal pada acara betama’ (memasukan mayat ke peti). Saat betama' ini bukong diberi minum tuak sedikit. Menurut Jarom, tokoh adat kampung Tebuar, setelah jasad dalam peti, mulailah tugas mulia bukong; baik siang maupun malam; cuaca baik maupun cuaca buruk bukong dengan ikhlas bekerja.

"Mereka bolak-balik mengangkut air dari sungai,  berjaga semalam suntuk, mencari kayu bakar ke hutan, menumbuk padi, mencari sayuran ke ladang/kebun, memasal, menggali liang lahat, menyiapkan segala bahan yang diperlukan saat upacara penguburan, dan aneka macam pekerjaan lainnya. Karena banyak pekerjaan yang harus dilakukan bukong, maka pemimpin bukong harus pandai membagi tugas,"jelas Jarom.

Pada hari penguburan, bukong berkeliling kampung sambil berteriak dengan suara khasnya mengajak warga menghantar jenazah. Sesat sebelum jasad diberangkatkan, bukong diberi kesempatan naik ke rumah orang meninggal untuk menari dan menyanyi khas bukong diiringi musik kematian. Suasana menjadi sangat haru disertai isak tangis.

Saat mengantar jenazah, bukong ditugaskan membawa semua perlengkapan orang yang meninggal seperti tempayan, makanan, bunga-bunga, kayu salib, dan memikul peti mati. Di pekuburan, bukong menggali liang lahat dan menimbun peti mati.

Seusai penguburan, bukong mandi ke sungai, berpakaian dan ke tempat orang yang meninggal untuk makan bersama. Tugas sebagai bukong pun selesai. Setelah makan para bukong dimantrai oleh dukun agar jiwanya kembali seperti sedia kala. Prosesi ini diiringi musik bekecapang; bukan lagi musik kematian. Setelah itu bukong diberi kesempatan menari adat berpasangan sesama mantan bukong.

Menjadi bukong adalah pekerjaan yang mulia, dilakukan secara sukarela. "Kita tidak mendapat upah, hanya penghargaan berupa piring adat. Saya bangga menjadi bukong karena bisa menolong orang dan melestarikan tradisi leluhur,"jelas Heri.

Menurut pengakuan Sumantri, Harsoyo, Ajon dan Hero, mantan bukong, semua bukong menjalankan aktivitasnya penuh dengan kebersamaan. "Kita hanya boleh masuk ke rumah orang meninggal dan tidak boleh makan di tempat lain. Ya, kalaupun tidur berdempetan dan makan dibagi sama,"kenang Harsoyo yang menjadi bukong bersama 20 rekannya.

Enaknya menjadi bukong menurut Ajon adalah makanannya enak. "Mungkin karena  capek, maka makan terasa enak sekali. Apalagi kami diberi lauk seperti daging babi, ayam atau ikan," kata Ajon.

Ada juga bukong yang iseng. Karena orang mengikhlaskan apapun yang diambil bukong, maka terkadang bukong mengambil semaunya buah-buahan, telur ayam dan meminta-minta di jalan raya atau datang ke rumah-rumah. 

Terancam
Bukong kini mulai terancam punah karena tidak semua orang meninggal ada adat bukong. Sebab untuk mengadakan adat bukong diperlukan biaya yang relatif besar untuk menyiapkan makan-minum selama 3-4 hari, tempayan, piring tanah, dan perlengkapan lainya. Yang juga sulit kini adalah mencari kayu belian untuk dibuat serimpak. Serimpak adalah patung naga yang harus terbuat dari kayu ulin. Patung ini dipercayai untuk membawa arwah ke surga. Maraknya perusahaan kayu dan pembabatan illegal, kini  kayu ulin sudah langka. Akibatnya kini di beberapa kampung Dayak Kayong sudah jarang melaksanakan bukong.

Menurut Gemale Suak Bulan Asmara, dukun kampung Tebuar, kondisi tersebut di atas tentu berdampak pada adat Bukong. “Kecenderungan orang jaman ini tidak mau repot membuat adat bukong. Kalau tidak ada perhatian yang sangat serius dari masyarakat Dayak akan keberadaan hutan, tanah dan air, tidak menutup kemungkinan bukong ini tinggal kenangan,”ujar Gemale Suak.

Selain terancam punah, menurut Gemale Suak bukong yang ada sekarang sebagian tidak lagi berpenampilan seperti hantu alias tidak asli seperti dulu. Seperti terlihat dalam foto, bukong jaman kini memakai baju dari kain, bukan lagi pakai dedaunan. "Ndak tahan dingin dan risih juga kalau pakai dedaunan,"kata Hero.***

Komentar

trison kaharap mengatakan…
adat dayak kalbar ini sama sperti adat didaerah tempat saya, sakarang bukung(bukong) masih kami adat kan setiap ada penguburan agama kaharingan, akan kawan tunda jalahan je melay kalbar,kaltim petehku ITAH DAYAK HARUS BERSATU,lestarikan adat itah dayak,,,ela sampai malihi Adat leluhur itah,,,,
jalan-kalimantan mengatakan…
benar bang. bisakah membuat tulisan ttg adat bukung di sana? bisa kami muat di majalah kami

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany