Langsung ke konten utama

Menanti Pemenang Rakyat vs Pemerintah


Pertarungan besar sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Duel yang sepertinya tidak berimbang antara empat orang petani masyarakat adat Indonesia melawan Pemerintah Republik Indonesia. Pemenangnya akan menentukan masa depan masyarakat adat Indonesia.

Perasaan marah, kesal, sakit hati menimpa Ngatimin, seorang petani, anggota masyarakat adat yang tinggal di Dusun III Suka Rakyat Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Betapa tidak sakit hati, tanah yang sudah ia diami bertahun-tahun tiba-tiba diklaim dan masuk areal hak guna usaha (HGU) PT. PP. London Sumatera (Lonsum).

Tanggal 20 Maret 2007 Ngatimin bersama sekitar 300 orang masuk ke lahan sengketa untuk melakukan penanaman di atas areal yang diklaim PT. Lonsum. Beberapa hari kemudian ia bersama 10 orang lainnya dipanggil sebagai tersangka oleh Polres Serdang Bedagai dengan sangkaan melanggar Pasal 47 ayat (1) UU No. 18/ 2004 tentang Perkebunan. Ia diadili dan dijatuhi penjara setahun.

Kriminalisasi dengan UU Perkebunan seperti yang dialami Ngatimin menimpa banyak petani, khususnya masyarakat adat di Indonesia. Lihatlah apa yang dialami Japin, warga kampung Silat Hulu, Desa Bantan Sari, Kec.Marau Kab.Ketapang (Kalbar). Ia menuntut dikembalikannya tanah adat yang dirampas dan digunakan PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) sebagai lahan perkebunan. Bersama dengan masyarakat lainnya mereka telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan penggusuran tanah adat warga, namun tidak berhasil.

Warga menahan alat berat dan pada 22 Februari 2010 ia malah ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa telah melakukan  “tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun  dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Jo Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Ketika diajukannya Permohonan Pengujian UU ini, persidangan terhadap Pemohon I terus berjalan di PN Ketapang dengan menggunakan pasal-pasal a quo yang diujikan, meski dua kali dakwaan Jaksa dianggap batal demi hukum oleh Majelis Hakim.

Japin tidak sendirian. Bersama Vitalis Andi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Jelai Kendawangan (AMA JK) Ketapang dipanggil Polres Ketapang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama dua minggu di LP Ketapang.

Ketika diajukannya Permohonan Pengujian Materi UU ini ke MK, persidangan terhadap Pemohon II terus berjalan di PN Ketapang dengan menggunakan pasal-pasal a quo yang diujikan, meski dua kali dakwaan Jaksa dianggap batal demi hukum oleh Majelis Hakim.

Nasib serupa dialami Sakri, petani di Desa Soso Kec. Gandusari, Kab. Blitar, Jawa Timur yang menggarap lahan tanah Negara bekas hak erfpacht yang dikuasai PT. Kismo Handayani. Sakri menggarap lahan tersebut atas dasar SK Menteri Agraria tanggal 26 Mei 1964 Nomor 49/KA/64, yang menyatakan perkebunan Nyunyur harus meredistribusikan tanah seluas 100 ha kepada masyarakat yang pernah menduduki dan menggarap.
 
Untuk meminta kejelasan status lahan yang digarapnya pada tanggal 10 Juli 2008 ia bersama sekitar 250 warga desanya unjuk rasa di kantor perusahaan. Bukan kejelasan yang didapat. Perusahaan malah melaporkannya. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka dan diadili karena telah melakukan  “tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

PN Blitar menyatakan Sakri bersalah Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan dipenjara dengan hukuman percobaan selama (5) lima bulan penjara.

Dari waktu ke waktu sengketa tanah antara perusahaan perkebunan dan petani atau masyarakat adat terus meningkat. Data dari Sawit Watch menunjukkan tahun 2007 ada 514 kasus; tahun 2008 sebanyak 576 kasus; tahun 2009 ada 604 kasus pada 2009 dan semester pertama 2010 tercatat 608 kasus. Kasus ini melibatkan sejumlah grup perusahaan besar seperti PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group (Tempo Interaktif, 20/8/2010).

Agar penjara tidak semakin sesak oleh petani/ masyarakat adat yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya dengan UU No.18/2004 tentang perkebunan, maka keempat korban diatas (Japin, Andi, Ngatimin dan Sakri) mengajukan uji materi (yudicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka didampingi pengacara yang tergabung dalam Public Interest Lawyer-Network (PIL-Net). Permohonan (Gugatan) PIL-Net ini didaftar dengan nomor perkara No.55/PUU-VIII/2010 tanggal 20 Agustus 2010.

Ada 27 orang pengacara yang tergabung dalam Pil-Net, yakni Wahyu Wagiman, SH. (kordinator), Wahyudi Djafar, SH., Andi Muttaqien, SH., Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH., LL.M., A. Patra M. Zen, SH., LL.M., Iki Dulagin, SH., Asep Yunan Firdaus, SH., Tandiono Bawor, SH., Anggara, SH., Adiani Viviani, SH., Agustinus Karlo SH., Betty Yolanda, SH., LL.M., Blasius Hendi Candra, SH., Farhan Mahfudzi, SH., Fatilda Hasibuan, SH., Hadi Syahroni, SH., Ikhana Indah, SH., Khairul Fahmi, SH., MH., Supriyadi Widodo Eddyono, SH., Sulistiyono, SH., Susilaningtyas, SH., Teuku Raja Arif Faisal, SH., Zainal Abidin, SH., Natanael Mite Timun, SH, Martinus Yestri Pobas, S.H, M.H, Dunasta Yonas, S.H, Matheus Denggol, S.H.

Sidang pertama tanggal 12 Oktober 2010 yang berisikan penyampaian pokok-pokok permohonan dari PIL-Net. Sidang dipimpin Ahmada Fadlil Sumadi (Hakim Ketua) dan Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati (Anggota) dengan M. Faiz sebagai Panitera Pengganti. Dari PIL-Net diwakili Wahyu Wagiman dan Andi Muttaqien.

Sidang kedua yang berisi pemeriksaan perbaikan berkas permohonan dilaksanakan tanggal 1 November 2010 di Gedung MK pukul 13.15 – 13.30 WIB. Dari PIL-Net diwakili Wahyu Wagiman dan Wahyudin Djafar. Sidang dipimpian Ahmada Fadlil Sumadi (Hakim Ketua) dan Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati (Anggota) dengan M. Faiz sebagai Panitera Pengganti.

Sidang ketiga berisi meminta keterangan dari Pemerintah dan DPR. Sidang selanjutnya adalah mendengan keterangan saksi ahli dari Pemohon. Yakni Prof. Eddy OS Hiariej Ahli hukum pidana dari Univ. Gajah Mada dan Prof. Nurhasan Ismail seorang Ahli hukum politik Agraria yang juga dari Univ. Gajah Mada, Yogyakarta. Ahli yang akan berbicara tentang hak-hak masyarakat Adat adalah Ibu Maria Rita Roewiastoeti, SH. dia seorang dosen yang juga peneliti tentang masyarakat Adat di Papua dan Sulawesi. Dari prinsipal Pemohon, Pak Sakri dari Blitar dan Sdr. Vitalis Andi dari Ketapang juga dihadirkan.

Keempat orang tersebut menguji dua pasal yang sering digunakan untuk menjerat rekan-rekan mereka sesama petani secara pidana. Yakni, Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Pasal 21 menyebutkan “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”. 

Pasal 47 memuat ketentuan ancaman hukuman pidana bila ketentuan Pasal 21 itu dilanggar. Ancaman hukumannya pun tak main-main, maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar. Para pemohon, melalui kuasa hukumnya, menilai dua pasal ini bersifat sumir sehingga dapat merugikan kepentingan petani.

Menurut Wahyu Wagiman, Kordinator PIL-Net, rumusan yang sumir dari kedua pasal tersebut sering digunakan untuk menjerat petani miskin hanya melakukan pelangaran yang sifatnya sepele, misalnya menginjak rumput perusahaan perkebunan bisa dipidana lima tahun penjara.

"Kami mohon MK membatalkan dua pasal tersebut. Sebab dua pasal itu melanggar asas lex certa yang sering digunakan dalam merumuskan sebuah norma pidana. Yakni, pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana,"jelas Wahyu seusai menyerahkan berkas permohonan uji materi kepada panitera di Mahkamah Konstitusi (Tempo Interaktif 20/8/2010).

Nasib tragis petani semakin diperparah dengan buruknya integritas penegak hukum karena mereka seolah memfasilitasi perusahaan untuk menyeret petani ke jalur pidana. Pada semester pertama 2010, sedikitnya ada 106 kasus kriminalisasi petani di Indonesia.

Menurut Andi Muttaqien dari PIL-Net, salah satu ketentuan konstitusi yang ditabrak oleh dua pasal tersebut adalah Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pasal itu berbunyi ‘Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi’ (lihat Wawancara Khusus KR).

Di tempat terpisah Dirjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menolak mentah-mentah anggapan bahwa UU Perkebunan telah mengkriminalisasi petani dan masyarakat sekitar perkebunan. “Masyarakat setempat diakui keberadaannya dan tidak dapat dikriminalisasi sesuai dengan UUD 1945,”jelasnya.

Mohon dukungan
Andi Mutaqien berkeyakinan Mahkamah Konstitusi dapat melihat kejanggalan pasal yang kami uji, serta melihat dampaknya kalau pasal tersebut dipertahankan yang dapat terus menerus menjadikan masyarakat Adat atau masyarakat lokal yang merupakan pemilik sebenarnya dari suatu lahan akan dikriminalkan perusahaan perkebunan. Dalam tahun 2010 saja, dari laporan yang diterima PIL-Net, sedikitinya 115 petani dikriminalisasi dengan UU Perkebunan (dengan Pasal yang diujikan), selain mendapatkan serangkaian tindak kekerasan, dari aparat kepolisian, yang membela kepentingan perusahaan. Bahkan dua orang petani di Kuansing, Riau, dan Senyerang, Jambi terpaksa meregang nyawa, akibat tembakan membabi-buta dari aparat kepolisian. "Terakhir pada tanggal 15 Januari 2011 terjadi penembakan terhadap warga Karang Mendapo oleh Brimob Polda Jambi, untuk kasus ini PIL-Net pun menjadi Kuasa Hukumnya,"jelasnya kepada KR via email.

Yestri Pobas dan Hendi Chandra, pengacara PIL-Net di Kalbar berharap masyarakat memberikan dukungan penuh atas adanya pengujian pasal tersebut di MK. Karena selama masih ada pasal tersbut maka masyarakat akan terus dihantui dan patut merasa was-was karena suatu saat mungkin saja mereka yang akan dijerat Pasal tersebut. Sebagai salah satu argumen di permohonan adalah tentang Kepastian hukum. Hal itu perlu diingat bahwa kepastian hukum berbeda dengan kepastian Undang-Undang. Pada prinsipnya dalam negara hukum ada hukum Negara, hukum Adat dan hukum Agama.

Petani, masyarakat adat, sudah seharusnya mendukung uji materi ini.

(Artikel ini dimuat di Majalah KR Edisi 187, Maret 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany