Langsung ke konten utama

Prof. Thamrin Penuhi Hukum Adat Dayak


Prof. Dr. Thamrin Amal Tamagola akhirnya minta ampun dan maaf di hadapan Sidang Adat Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu yang digelar di dalam ruangan Betang Tingang Nganderang (Betang Mandala Wisata) Jalan Sudirman Palangka Raya, Kalteng, kemarin (22/1). Sidang dipimpin oleh tujuh orang Majelis Sidang adat dari Kalimanatan Tengah, Kalimantan Barat,  Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.“Saya meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak, atas pernyataan saya yang menghina, menistakan, dan melecehkan Suku Dayak di Indonesia. Dan dengan tulus ikhlas, saya akan menerima dan menyanggupi semua keputusan dari majelis sidang adat,” kata Prof Thamrin dengan penuh penyesalan.
Pernyataan maaf itu disampaikan pada persidangan adat yang disaksikan langsung oleh Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Tamanggung Bajela Bulau Agustin Teras Narang SH, para tokoh-tokoh adat se-Kalimantan, unsur Muspida Kalteng, media lokal dan nasional, serta ratusan masyarakat yang berada di sekitar Betang Tingang Nganderang, Sabtu (22/1) siang.Dalam persidangan adat Dayak yang baru pertama kali dilakukan ini, Prof Thamrin yang terlihat cukup tegang dikenakan hukuman adat yang dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim Adat Lewis KDR BBA.

Atas pernyataannya telah menghina dan melukai Suku Dayak di tanah air, saat menjadi saksi ahli meringankan di persidangan  kasus video porno Nazriel Irham (Ariel Peter Pan) di PN Bandung itu dikenai 5 tuntutan. Tuntutan itu adalah membayar lima pikul garantung yang diserahkan kepada majelis sidang adat, meminta maaf di depan masyarakat Dayak di depan persidangan dan melalui berbagai media lokal dan nasional, kemudian mencabut hasil penelitiannya, dan mencabut pernyataannya pada saat sidang Ariel peterpan, serta membayar uang denda (Singer) untuk upacara adat sebesar Rp 77.777.777.Sementara itu, Presiden MADN Agustin Teras Narang dalam sambutannya menerangkan, bahwa persidangan yang diberi nama Persidangan Adat Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dan Thamrin Amal Tamagola ini, secara harfiah berarti memutus dendam yang berkepanjangan, dalam menuju perdamaian kea rah yang lebih baik antara kedua belah pihak.

Sidang ini pertama kali dilakukan dan bersifat final, serta mengikat. Persidangan adat ini bertujuan untuk mencapai kedamaian, rekonsiliasi, kekeluargaan, serta tetap mempertahankan harkat dan martabat suku Dayak secara keseluruhan. “Jadi saya minta setelah keputusan yang diambil dalam persidangan ini, dan diikuti oleh pelanggar adat, yang dalam hal ini Prof Dr Thamrin Amal Tamagola, tidak ada lagi dendam di antara masyarakat Dayak dimana pun berada dengan Prof Thamrin. Kita tunjukan bahwa masyarakat Dayak ini mengedepankan prinsip Belom Bahadat (hidup bertata karma dan beradat) dalam segi kehidupan bermasyarakat,” tegasnya.

Teras yang juga Gubernur Kalteng ini mengharapkan, agar melalui peristiwa ini dapat menjadi pelajaran, baik bagi Prof Dr Thamrin Amal Tamagola, khususnya, dan seluruh masyarakat Suku Dayak, serta masyarakat Indonesia secara umum. “Peristiwa ini hendaknya dijadikan momentum yang baik bagi kita untuk semakin memperkuat dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa demi kebangkitan, kejayaan, kemakmuran masyarakat Dayak ditengah-tengah heterogenitas suku-suku bangsa di nusantara, dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” terangnya. 

Prosesi sidang diawali dengan masuknya tim enam selaku penuntut hukum adat kedalam ruang sidang, kemudian pelanggar adat (Thamrin Tamagola) dipanggil untuk masuk ruangan, dan menduduki kursi menghadap majelis hakim adat yang disediakan. Selanjutnya, Majelis Sidang Adat yang berjumlah tujuh orang bersama Presiden MADN memasuki ruang sidang. Sidang diteruskan dengan penyerahan Sangku Basara, yang melambangkan bukti penyerahan sengketa adat kepada majelis sidang adat, oleh satu orang perwakilan tim enam dan satu orang dari pihak Thamrin Tamagola, lalu Ketua Majelis Sidang Adat menyatakan bahwa persidangan dibuka dan terbuka untuk umum.

Selanjutnya Tim Enam yang terdiri dari Drs Lukas Tingkes, Sabran Achmad, Dr Siun Jarias, Marthen Ludjen, Ny Inun Maseh, dan Guntur Talajan SH MPd,selaku penuntut membacaklan tuntutannya, yang beracuan kepada hasil kesepakantan Tumbang Anoi 1894, majelis hakim adat sempat menskor sidang selama 10 menit, untuk membicarakan keputusan. Setelah sepuluh menit, akhirnya majelis hakim membacakan keputusan tersebut, dan disanggupi oleh pelanggar adat (Thamrin Amal Tamagola).

Walaupun ini merupakan sidang adat Dayak, namun nasionalisme masyarakat Dayak yang hadir sama sekali tidak luntur. Hal ini terbukti saat pembukaan sidang ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua masyarakat yang hadir berdiri dan serempak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia.
Acara pun ditutup dengan menyembelih beberapa hewan sumbangan Prof Thamrin, yang terdiri dari satu ekor sapi, satu kerbau, satu kambing, tiga babi, dan sepuluh ekor ayam di halaman Betang Tingang Nganderang. Acara berlangsung kondusif dikawal aparat kepolisian dari Polres dan Polda serta di-backup oleh TNI, Sat Pol PP dan Pengamanan Adat.

Hukum Adat untuk Tamrin
1.    Meminta maaf kepada seluruh majelis sidang dan hadirin atas pernyataannya yang melukai suku Dayak.
2.    Membayar denda berupa gong garantung kepada presiden MADN,
3.    Membayar semua biaya pelaksanaan sidang adat yang nilainya sekitar Rp77.777.777
4.    Mencabut semua pernyataan yang pernah dia ucap tentang suku Dayak yang biasa berhubungan intim  
       tanpa ikatan pernikahan di pengadilan negeri Bandung, pada persidangan kasus asusila yang diperankan 
       oleh Ariel Peterpan
5.    Memusnahkan hasil risetnya yang mendiskreditkan suku Dayak itu.

Diupload dari Harian AP Post tanggal 22 Januari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei...

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami ru...

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K...