Langsung ke konten utama

Uniknya Dayak Indramayu


Mereka berasesoris mirip Dayak, ekslusif, menjunjung tinggi perempuan, ramah, suka menolong, taat dengan adat istiadat dan jarang mandi.

Sebagai orang Dayak, mungkin Anda merasa bangga atau mungkin mempertanyakan ketika ternyata ada kelompk masyarakat di luar Kalimantan yang mengaku dirinya suku Dayak juga. Seperti dimuat dalam laman www.indosiar.com ternyata suku Dayak tidak hanya tinggal di Kalimantan. Di RT 13 RW 03 Desa Krimun Kecamatan Losarang, Indramayu, Jawa Barat, 300 meter dari jalur utama Pantura Indramayu terdapat komunitas yang menyebut dirinya suku Dayak juga. Jumlahnya sekitar 400 jiwa. Meski memakai nama dan berpenampilan mirip Dayak, namun mereka tak memiliki hubungan dengan suku Dayak di Kalimantan. Seluruh anggotanya adalah suku Jawa.

Keunikan mereka adalah dari penampilannya yang tidak berbaju dan hanya bercelana pendek serta mengenakan bertopi ala petani. Mereka juga kerap disebut Dayak Losarang. Komunitas sini terkenal ekslusif. Namun dalam keseharian, mereka terkenal ramah dan suka menolong. Siapa pun yang datang ke pendopo –istilah warga Suku Dayak Indramayu menyebut markasnya, pasti disambut dengan tangan terbuka dan ramah. Mereka polos, lugas, jujur, murni dan apa adanya.

Penampilannya aneh. Sehari-hari, baik hujan atau panas, mereka tak pernah memakai baju. Yang menempel di tubuhnya hanya celana pendek sedengkul, warna hitam atau hitam padu putih. Rambutnya dibiarkan panjang dan jarang mandi. Saat musim kemarau datang, mereka melakukan semadi atau tapa di bawah terik matahari. Tujuannya untuk penghormatan pada matahari. Mereka vegetarian alias tak makan daging atau hewan hidup lain. Otomatis, mereka tidak akan membunuh binatang.

Pemimpin mereka adalah Ki Takmad. Didalam komunitas Suku Dayak Indramayu, nama lengkap lelaki berusia 70 tahun ini adalah Paheran Takmad Diningrat Gusti Alam. Sepintas lalu, penampilan Ki Takmad dan para pengikutnya bisa aneh dan berkesan menakutkan. Namun ketika sudah terlibat kontak dengan mereka, maka kesan akrab akan didapat.

Spiritualitas Ki Takmad seperti sinkritisme Hindu, Budha, Jawa Kuno, Islam dan hasil kontempelasi pemikiran orisinilnya, mirip kaum Pagan (penyembah benda-benda). Komunitas ini menempatkan kaum perempuan pada posisi yang sangat terhormat, sekaligus sebagai sumber inspirasi. “Nyi Dewi Ratu", demikian sebutan personifikasi kekuatan untuk yang maha pemberi hidup atau sumber kehidupan. Bahkan pintu bangunan pendopo komunitas ini, berreliefkan Nyi Dewi Ratu Kembar.

Dalam sistem sosial dan budaya yang dibangun di lingkungan
Dayak "Bumi Segandu", posisi dan derajat wanita memang sangat ditinggikan. Karena itu, sekalipun Takmad disegani, dia akan takluk bila berhadapan dengan istrinya. Berkhianat atau berbohong pada istri (wanita) adalah sebuah dosa besar yang tak terampuni. Karena itu pula, bila ada konsep "tuhan" dalam komunitas "Bumi Segandu", manifestasinya ada pada sosok wanita yang disebutnya sebagai "Nyi Dewi Ratu".

Nyi Dewi Ratu itu menguasai sukma bumi atau hukum-hukum kebenaran yang dibahasakan dengan istilah "sejarah alam". Dia harus dipuja dan ditinggikan lewat "ngajirasa" dan "ngadirasa" (laku atau amal-amalan). Dalam keseharian, pemujaan terhadap Nyi Dewi Ratu dipraktekan dalam bentuk kesetiaan terhadap istri.

Ajarannya Takmad tampaknya banyak dipengaruhi konsep kejawen (Hindu-Jawa). Sebagaimana kita tahu, pada pemahaman masyarakat kejawen Pulau Jawa itu dikuasai oleh Dewi-dewi, itu pula kenapa semua penguasa alam di Jawa selalu disimbolkan dengan wanita seperti Nyi Roro Kidul (Penguasa Laut Kidul), Nyi Blorong (Penguasa Gunung Bromo), Dewi Sri (Dewi Padi) dan lain-lain.

Karena konsep itulah, pada Pemilu 1999 Takmad memobilisasi pengikutnya untuk mendukung PDIP. Selain itu, pada Pemilu 1999, ketika dirinya bermeditasi, memperoleh bisikan ghaib dari Nyi Dewi Ratu kalau "Bumi Segandu" harus memilih partai yang dipimpin perempuan. Namun pada Pemilu 2004, komunitas Suku Dayak Indramayu menyatakan untuk tidak ikut dalam pemilu.

Komunitas ini punya cara khusus untuk melatih warganya mengendalikan diri yaitu dengan berendam di parit semalam suntuk hingga 30 malam. Selama berendam mereka dianjurkan untuk merenungi kebesaran Sang Pencipta. Ritual ini bertujuan untuk menciptakan kesabaran kendati dalam keadaan yang sulit. Namun tidak seluruh anggota Dayak Indramayu mampu menjalankannya. Bagi yang mampu status sosialnya dianggap lebih tinggi.

Pada malam tertentu seperti Jum'at Kliwon seluruh anggota berkumpul di pendopo. Mereka menyanyikan kidung-kidung pujian kepada alam dan Sang Pencipta. Seluruh kidung bersumber dari ajaran kitab suci mereka yang ditulis oleh Takmat. [Edi V Petebang, dimuat Majalah KR edisi Desember 2010]

Komentar

The Mantra Of Devi mengatakan…
I was there last week. Planing to cover some story about this culture myself.
Thank you for sharing...
jalan-kalimantan mengatakan…
hello devi, could you share your story on this community?

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany