Langsung ke konten utama

Retaknya Kedamaian di Tarakan

Kota Tarakan, Kalimantan Timur selama ini dikenal sebagai kota yang damai. Namun gara-gara pemalakan, terjadi konflik berdarah yang membawa identitas etnis Bugis Latta dan Tidung dan menewaskan lima orang.

Oleh Edi V Petebang, dari berbagai sumber
 
Menurut informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, terutama versi polisi seperti yang disampaikan dalam siaran pers Divisi Humas Mabes Polri dan dimuat di akun Twitter dan Facebooknya, Rabu (29/9/2010). Konflik bermula dari hal sepele, yakni pemalakan. Pada hari Minggu, 26 September 2010  sekitar jam 22.30 WITA. Pada saat itu Abdul Rahmansyah, Warga Kelurahan Juanta Permai sedang melintas di Perum Korpri Jalan Seranai III, Juata Kecamatan Tarakan Utara, Kota Tarakan Kalimantan Timur. Abdul membeli rokok. Entah apa pasalnya, terjadi pertengkaran dan berujung perkelahian antara Abdul dengan enam pemuda. Akibatnya Abdul mengalami luka-luka di telapak tangan. Selanjutnya Abdul Rahmansyah pulang ke rumah untuk meminta pertolongan dan diantar pihak keluarga ke RSU Tarakan untuk berobat.
Polisi menahan dan memeriksa sembilan orang sebagai saksi untuk menyelidiki insiden itu. Kabar penangkapan tersebut memicu kedatangan kelompok kerabat Abdullah yang meminta tersangka diserahkan untuk diadili dan mengepung Kantor Kepolisian Resor Kota Tarakan. Tidak ada insiden karena massa kemudian membubarkan diri.
Pada hari Senin 27 September 2010  sekitar pukul 00.30 WITA, Abdullah (56 tahun), warga Kelurahan Juata Permai, ayah dari Abdul Rahmansyah beserta 6 (enam) orang yang merupakan keluarganya dari Suku Tidung berusaha mencari para pelaku pengroyokan. Mereka membawa senjata tajam berupa mandau, parang dan tombak. Mereka mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tingga salah seorang dari pengroyok di Perum Korpri Jl Seranai III, Juata, Tarakan Utara Kota Tarakan. Penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumahnya akan diserang segera mempersenjatai diri dengan senjata tajam berupa badik dan parang. Kemudian terjadilah perkelahian antara kelompok Abdullah (warga Suku Tidung) dengan penghuni rumah tersebut (kebetulan warga Suku Bugis Latta). Akibatnya Abdullah meninggal dunia akibat sabetan senjata tajam.
Warga Tidung marah atas kematian Abdullah. Pada pukul 01.00 WITA, di Perum Korpri Jl. Seranai III, tarakan Utara, Kota Tarakan terjadi penyerangan yang dilakukan sekitar 50 orang warga Suku Tidung yang bersenjatakan mandau, parang dan tombak. Terjadi pengrusakan terhadap rumah milik Noodin,warga Suku Bugis Letta Warga RT 20 Kelurahan Juata Permai, Tarakan Utara.
Pada pukul 05.30 WITA terjadi lagi aksi pembakaran terhadap rumah milik Sarifudin (Warga Suku Bugis Latta), Warga Perum Korpri Jl. Seranai Rt 20 Kel Juata Permai, tarakan Utara. Pada pukul 06.00 WITA, sekitar 50 orang (Warga Suku Tidung) mencari Asnah (Warga Suku Bugis Latta), namun berhasil diamankan anggota Brimob.
Pada pukul 10.00 WITA, massa kembali mendatangi rumah tinggal Noodin dan langsung membakarnya. Pada pukul 11.00 WITA, massa kembali melakukan pengrusakan terhadap 4 (empat) sepeda motor yang berada dirumah Noodin.
Pada pukul 14.30 WITA, korban meninggal, yakni Abdullah dimakamkan di Gunung Daeng Kelurahan Sebengkok Kecamatan Tarakan Tengah Kota Tarakan.
Pada pukul 18.00 WITA, terjadi pengeroyokan terhadap Samsul Tani, warga Suku Bugis, yang tinggal di Memburungan RT 15 Kec Tarakan Timur, Kota Tarakan, oleh orang tidak dikenal.
Pukul 18.00 WITA, personil gabungan dari Polres Tarakan (Sat Intelkam, Sat Reskrim dan Sat Samapta) diperbantukan untuk mengamankan TKP. Praktis selama sehari ini kota Tarakan lumpuh. Toko-toko, perkantoran dan sekolah tutup. Situasi tegang, jalanan lengang, warga memilih berdiam di rumah.
Pada pukul 20.30 WITA s/d 22.30 WITA bertempat di Kantor Camat tarakan Utara berlangsung pertemuan yang dihadiri untur Pemda setempat seperti Walikota Tarakan, Sekda Kota Tarakan, Dandim Tarakan, Dirintelkam Polda Kaltim, Dansat Brimob Polda Kaltim, Wadir Reskrim Polda Kaltim serta perwakilan dari Suku Bugis dan Suku Tidung. Hasil pertemuan adalah sebagai berikut :
1.   Sepakat untuk melihat permasalahan tersebut sebagai masalah individu.
2.   Sepakat untuk menyerahkan kasus tersebut kepada hukum yang berlaku.
3.   Segera temukan pelaku.
4.   Seluruh kegiatan pemerintahan dan perekonomian berjalan seperti biasa.
5.   Elemen masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama mendukung upaya penegakkan hukum.
6.   Mengatasi akar permasalahan secara tuntas.
7.   Tidak menciptakan pemukiman yang homogen.
8.   Seluruh tokoh elemen masyarakat memberikan pemahaman kepada warganya agar dapat menahan diri.
9.   Peranan pemerintah secara intern terhadap kelompok etnis.

Pada hari Selasa 28 September 2010 pada pukul 11.30 WITA, telah diamankan 2 (dua) orang yang diduga kuat sebagai pelaku pembunuhan Abdullah, yaitu Baharudin alias Bahar (20 tahun) berperan pelaku penebas parang ke tubuh Abdullah dan Badarudin alias Ada (16 tahun) yang membantu Bahar.
Meski sudah ada kesepakatan damai, nampaknya pihak yang bertikai belum puas. Karena itu pada hari Rabu dinihari (29/09/2010) kerusuhan kembali pecah di kota Tarakan, tepatnya di simpang empat Grand Tarakan Mall. Dalam kerusuhan hari ini, tiga orang tewas.
Selama kerusuhan sejak Minggu hingga Rabu total sudah lima orang yang tewas, yakni Abdullah, Mursidul Armin, Pugut, Iwan (31), dan Unding (30). Selain tewas, empat warga terluka, 6 rumah rusak dan dibakar, dan 4 sepeda motor terbakar.
Akibat konflik ini, warga dari kedua belah pihak maupun warga lainnya yang ketakutan memilih mengungsi. Hingga Rabu malam (29/9) ada 32.000 warga yang mengungsi. Warga diungsikan di pusat-pusat militer seperti di Pangkalan TNI AL Jl Yos Sudarso, Tarakan, kemudian di Yonif 613 Raja Alam, Juata, Kodim dan instalasi militer lainnya. Banyak juga yang pergi meninggalkan Tarakan menuju kabupaten/kota terdekat yang lebih aman.
Sejak pagi warga mulai berduyun-duyun meninggalkan rumah masing-masing dengan mengendarai sepeda motor. Tetapi kebanyakan berjalan kaki. Mereka mencari lokasi aman di daerah militer atau markas polisi. Yang lebih banyak menumpang kendaraan tpolisi dan tentara. "Dari pagi, ada anggota TNI yang mengetok pintu rumah ke rumah. Mereka mengimbau warga untuk mengungsi. Tidak ada paksaan. Tetapi kami merasa di sini lebih aman," ujar seorang pengungsi.
Untuk mengendalikan kerusuhan, dari Jakarta, Rabu 29/9, Mabes Polri dan TNI mengirim satu Batalyon TNI dan 172 Personel Brimob Dikirim ke Tarakan. Kapolri memerintahkan seluruh Kapolda dan apapar kepolisian dan TNI untuk memperketat penjagaan di wilayah perbatasan Kaltim dengan Kalteng, Kalsel dan Kalbar untuk mencegah masuknya orang luar ke Tarakan.
Di Jakarta (29/9) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh jajaran pemimpin formal dan informal di Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim), turun tangan untuk memastikan konflik antarkomunitas di daerah itu tidak meluas. Keterlambatan penanganan konflik yang pernah mengakibatkan meluasnya kerusuhan Sampit di Kalimantan Tengah tahun 2000 diharapkan tidak terulang kembali.
Kepada pers di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh pemimpin formal dan informal di Tarakan turun tangan untuk memastikan konflik antarkomunitas itu tidak kian meluas dan tidak terlambat ditangani.
Presiden menginstruksikan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, dan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.
”Saya ingatkan lagi kepada tiga pejabat yang tadi pagi saya berikan instruksi, dulu kenapa peristiwa Sampit jadi luas dan besar, karena saat terjadi kekerasan, tidak dilakukan langkah-langkah cepat, tepat, terpadu, dan tuntas,” ujar Presiden di Kantor Presiden kemarin.
Ditegaskan Presiden, penanganan bentrokan dan ketegangan di Tarakan saat ini tidak dapat diserahkan kepada kepolisian dan TNI saja. Gubernur, wali kota, camat, kepala desa, serta tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama dan tetua adat, diharapkan Presiden agar turun tangan menyadarkan semua pihak supaya kekerasan tidak berkembang.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengemukakan, pihaknya telah mengoordinasikan penanganan masalah Tarakan dengan Polri dan TNI, dengan menambah pasukan keamanan di sana.
Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, mengaku prihatin dengan bentrokan yang melibatkan warga dari Suku Bugis dengan Suku Tidung di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Syahrul mengaku, siap membantu upaya perdamaian antara kedua kelompok tersebut.
Syahrul juga mengaku sudah menjalin komunikai dengan Gubernur Kaltim Awang Faruk dan tokoh-tokoh Sulsel yang sudah lama bermukim di Tarakan. Dia berharap, bisa segera ditemukan jalan keluar sebagai upaya perdamaiaan.
Syahrul yakin masalah ini akan cepat diselesaikan aparat keamanan. Sebab karakter perantau Bugis-Makassar pandai bergaul dengan warga di beberapa daerah.
"Saya meminta kasus ini ditangani secara persuasif dan peran kepolisian harus optimal. Saya juga mengimbau warga asal Sulsel tidak terprovokasi dengan kasus ini," ungkap Syahrul.
Media Indonesia (30/9) melaporkan Syahrul bahkan akan mengirim sejumlah bupati ke Tarakan, Kalimantan Timur, guna mendamaikan dua kelompok bertikai. Syahrul di Kabupaten Selayar, Rabu (29/9), mengatakan, tim itu akan melengkapi pendahulunya yang terdiri dari tokoh masyarakat dan agama Sulsel yang kini sudah berada di Tarakan.

Kesepakatan damai

Rabu siang (29/9) kerusuhan dapat diatasi. Dan pada Rabu malam Forum Komunikasi Rumpun Tidung dan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan  menandatangani pernyataan kesepakatan damai. Dikutip dari situs www.bbcnews.co.uk dan www.kompas.co.id perundingan damai dipimpin oleh Gubernur Kalimantan Timur Awang Faruk dengan dua kelompok masyarakat yang bertikai di Tarakan, Kalimantan Timur.
Ketua Forum Komunikasi Rumpun Tidung Kota Tarakan Sabirin Sanyong dan Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Kota Tarakan Yancong menandatangani sepuluh butir kesepakatan di Ruang VIP Bandar Udara Internasional Juwata, Tarakan, pukul 19.30 Wita. Penandatanganan itu disaksikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisal, anggota DPD Luther Kombong, Panglima Kodam VI/Mulawarman Mayor Jenderal Tan Aspan, dan Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal Sunarko DA.
Kedua belah pihak antara lain sepakat mengakhiri pertikaian, membubarkan konsentrasi massa di mana pun, melarang siapa pun membawa senjata, memulangkan warga dari kedua kelompok di luar Tarakan yang datang untuk membantu penyelesaian masalah, memulangkan pengungsi, dan tindakan tegas aparat terhadap pelanggar kesepakatan.
Penandatanganan pernyataan damai merupakan hasil pertemuan yang digelar sejak Rabu sore di Ruang VIP Bandara Juwata. Turut hadir Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kaltim Brigadir Jenderal (Pol) Ngadino, Wali Kota Tarakan Udin Hianggio, Bupati Tana Tidung Undunsyah, Bupati Bulungan Budiman Arifin, Wakil Bupati Malinau M Nazir, unsur pimpinan TNI di Kaltim, unsur pimpinan Polri di Kaltim dan Tarakan, serta tokoh masyarakat.
Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Prof Sarosa Hamongpranoto meminta pemerintah dan warga tetap waspada sebab insiden di Tarakan bisa terjadi di kabupaten/kota lain di Kaltim (Kompas 30/9).
"Mereka sudah sepakat untuk mengakhiri pertikaian dan perselisihan dan sepakat pula untuk menyelesaikan persoalan ini kepada pihak kepolisian," jelas Kepala Humas Polda Kalimantan Timur, Komisaris Besar Antonius Wisnu Sutirta kepada BBC Indonesia.
Antonius mengakui bahwa ini bukan kesepakatan damai pertama yang dicapai oleh kedua pihak yang bertikai dalam minggu ini namun dia mengatakan yakin kesepakatan ini akan dipatuhi dan dilaksanakan.
"Memang benar pernah ada kesepakatan sebelumnya. Tetapi dalam rapat malam tadi, dipimpin langsung oleh Gubernur, ada Panglima Kodam, Wakapolda, asisten operasi dari Mabes Polri dan dari kedua belah pihak yang bertikai beserta tokoh-tokoh adatnya," tegas dia.
Selanjutnya Antonius menambahkan bahwa kalau ada yang melanggar kesepakatan ini, maka kedua pihak sudah setuju, penyelesaiannya akan ditangani polisi dengan memakai aturan yang ada. Kepolisian, lanjut Antonius, akan mengupayakan agar ini adalah pernyataan perdamaian yang terakhir dan polisi tidak akan mundur untuk mencapai perdamaian di Tarakan, Kalimantan Timur.

Aparatur Lamban

Kerusuhan ini sebenanrnya bisa dicegah oleh aparat keamanan, terutanma polisi supaya tidak meluas dan memakan banyak korban. Sangat disayangkan aparat kepolisian terkesan lamban dan aparat sipil sepertinya menyepelekan konflik ini awalnya.  

Awalnya pemerintah menganggap kerusuhan di Tarakan perkelahian biasa.  Ini tercermin dari pendapat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Gubernur Kaltim Awang Faroek. Menurutnya kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim), merupakan perkelahian biasa antarwarga. Hanya karena kebetulan melibatkan warga dari dua etnis berbeda.

 “Itu kan insiden yang tiba-tiba-tiba saja,  perkelahian biasa saja, kebetulan saja dari dua suku,” ujar Gawaman Fauzi kepada wartawan di kantornya, Selasa (28/9) seperti dimuat harian Sumutpos (www.hariansumutpos.com).
Gamawan mengaku sudah dua kali bicara dengan Gubernur Kaltim, Awang Farouk. Dari penjelasan Awang, kata Gamawan, situasi di Tarakan sudah aman. “Sudah aman, aman. Proses hukumnya berjalan dan sudah semakin tenang,” ujar mantan gubernur Sumbar itu menirukan ucapan Awang Faroek.

Siapakah suku Tidung?

Mungkin banyak yang sudah tahu tentang Suku Bugis, namun tidak dengan suku Tidung yang tiba-tiba terkenal seantero dunia karena kerusuhan ini.
Dikutip situs http://id.wikipedia.org, www.etawau.com dan www.joshuaproject.net/ jumlah warga suku Tidung ini di Kaltim, khususnya Tarakan sekitar 50.000 dan di Tawau, Sabah, Malaysia sekitar 26.000 (total 76.000). Orang Tidung berbahasa Tidung dan bahasa Indonesia. Suku Tidung semuanya menganut agama Islam. Mereka banyak bergaul dengan berbagai suku lain, Seperti orang bugis, Banjar, Jawa, Bulungan dan etnis Tionghoa.
Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Kaltim. Pada jaman dulu Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda.
Penari Tidung dalam pestival di Tawau, Sabah (wikipedia)
Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak , tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai dan suku Pasir. 
Bahasa Tidung termasuk dalam "Kelompok Bahasa Tidung" salah satu bagian dari Kelompok Bahasa Dayak Murut. Kelompok Bahasa Tidung terdiri 1.  Bahasa Tidung (tid); 2. Bahasa Bulungan (blj); 3. Bahasa Kalabakan (kve); 4. Bahasa Murut Sembakung  (sbr); 5. Bahasa Murut Serudung (srk)
Persamaan kosakata bahasa Tidung dengan bahasa-bahasa Kalimantan lainnya, misalnya : matonandow dalam bahasa Tidung sama dengan matanandau (bahasa Ngaju) artinya matahari. Bubuan dalam bahasa Tidung sama dengan bubuhan (bahasa Banjar) artinya keluarga, kerabat.
Dari 13 Kabupaten dan kota yang ada di provinsi kalimantan timur ini. Penutur Bahasa Tidung terdapat pada tujuh Kabupaten di kaltim dan tiga kota di negeri sabah. Sepuluh daerah tersebut adalah Kota Tarakan, Kab. Malinau, Kab. Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung, Kab. Berau, Kab. Kutai Kartanegara. Di Sabah terdapat di Kota Tawau, Kota Sandakan dan Kota Lahad Datu.

Kesultanan Sulu

Dikatakan Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat atau Pangiran Bakhtiar telah berkahwin dengan seorang gadis Tionghoa yang berasal dari daerah Tirun (Tidung). Dan juga karena ingin mengamankan wilayah North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari Sultan Brunei, seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat iaitu Sultan Badaruddin-I juga telah memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung (isteri kedua) yang merupakan anak kepada pemerintah awal di wilayah Tidung. (Isteri pertama Sultan Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Maka lahirlah Datu Lagasan yang kemudianya menjadi Sultan Sulu bergelar, Sultan Alimuddin-I ibni Sultan Badaruddin-I). Dari zuriat Sultan Alimuddin-I inilah dikatakan datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah di Sulu.
Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lah seorang putera bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang Meria. Datu Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu (menggantikan abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar Sultan Bantilan Muizzuddin. Adindanya Dayang Meria dikatakan berkahwin dengan seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau Datu Tating. Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya Keluarga Maharajah Adinda, yang kini merupakan "Pewaris Sebenar" kepada Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil "Tartib Sulu".
Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sultan Aliuddin Haddis Pabila (Wafat pada 30.06.2007 di Kudat, Sabah). Dan juga dinyatakan bahawa 'Putera Mahkota' kesultanan Sulu kini adalah putera bongsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai "Raja Bongsu-II" (*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama Raja Bongsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan putera-bongsu kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei. Dikatakan Raja Bongsu ini telah dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu menggantikan pamannya Sultan Batarasah Tengah ibnu Sultan Buddiman Ul-Halim yang tiada putera. Ibu Raja Bongsu ini adalah puteri kepada Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang berkahwin dengan Sultan Muhammad Hassan).***

Pontianak, 30 September 2009


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany