Judul buku: From Headhunter to Catholics, Studi dan Pendekatan Semiotika Dayak Djangkang.
Penulis: R. Masri Sareb Putra
Penerbit: Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta, 2010
Satu lagi buku menarik tentang Dayak yang ditulis oleh orang Dayak. Sudah banyak buku tentang Dayak yang ditulis orang non Dayak, terutama orang luar negeri. Tentu apa yanag ditulis orang luar ada nuansa yang berbeda jika yang menulis pemilik dan pelakunya sendiri yang menulis atas dasar pengalaman nyata. Penulis buku ini, R. Masri Sareb Putra, adalah putra asli Dayak Jangkang yang tergolong penulis produktif di Indonesia. Sejak 1984 telah menulis ribuan artikel yang tersebar di berbagai media massa di Indonesia serta 47 judul buku tentang berbagai topic, baik fiksi maupun non fiksi. Inilah kredit poin pertama buku ini.
Jangkang berasal dari nama kayu meranti (tokamp jangkang) yang tumbuh subur di sepanjang anak Sungai Jangkang. Sungai Jangkang bermuara ke sungai Ence. Sungai Ence bermuara ke Sungai Mengkiang, Mengkiang ke Sungai Sekayam, Sekayam ke Sungai Kapuas yang melintas dari Sanggau menuju Pontianak, lalu muntah ke segara Natuna. Penamaan anak suku Jangkang ini sesuai dengan kelaziman Dayak pada umumnya: memberi nama diri berdasarkan nama sungai.
Kredit poin kedua adalah buku ini mempunyai nilai historis meski dalam konteks lokal, yakni masyarakat adat Dayak Jangkang. Jika dikembangkan lebih luas maka sejarah lokal dalam buku ini akan menjadi kepingan mozaik sejarah masyarakat Dayak di Kalimantan maupun sejarah Kalimantan Barat dan sejarah Indonesia. Sebagian besar isi buku ini berisi peristiwa, fenomena, fakta-fakta kehidupan agama, sosial, budaya, ekonomi, politik yang dialami masyarakat Dayak Jangkang masa silam. Sisipan 76 lembar foto yang sebagian besar diantaranya adalah foto-foto tua tahun 1930-an yang turut menambah nilai historisnya.
Secara umum buku yang terdiri dari 12 bab ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama tentang kondisi masyarakat Dayak Jangkang kini, metode dan pendekatan penulisan, Dayak Jangkang era kolonial dan Dayak Jangkang berdasarkan bahasa/dialek dan tempat tinggal serta perladangan. Bagian kedua berisi tentang agama asli Dayak Jangkang, ritus-upacara-festival, dan pengayauan.
Bagian ketiga tentang peng-Katolik-kan masyarakat Dayak Jangkang. Dalam dua bab (10 dan 11) secara jernih menguraikan proses peralihan masyarakat Dayak Jangkang dari masyarakat dengan "agama asli Jangkang" dengan segala adat istiadatnya menjadi masyarakat Katolik; seperti yang disarikan dari judulnya "From headhunters to Catholics. Sangat terasa sekali pengaruh masuknya agama Katolik dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Dayak Jangkang. Orang Dayak, termasuk Dayak Jangkang sangatlah mudah dikatolikkan melalui pendekatan adaptasi dan akulturasi (hlm.181).
Kredit poin ketiga adalah pendekatan yang digunakan. Buku ini mau menjelaskan berbagai pandangan miring tentang orang Dayak melalui pendekatan semiotika ala Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dalam hubungannya dengan petanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Menurut penulis, inilah buku pertama tentang etnis Dayak dari pendekatan Roland Barthes. Setelah membaca buku ini diharapkan pembaca, terutama non Dayak, bisa lebih memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak. Selain itu juga diharapkan memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar konflik social/etnis yang kerap terjadi di Kalimantan dan pendekatan baru untuk mengatasinya.
Meski bukan menjadi focus buku setebal 293 halaman ini, empat lampirannya menjadi bahan referensi yang penting. Yakni hukum adat Dayak Kecamatan Jangkang, keputusan Dewan Paroki Jangkang tentang hukum adat yang menyangkut hidup keagamaan, penyeragaman hukum adat Dayak Jangkang dan legenda asal mula bukit penongu.
Kritik
Bagi saya yang agak mengganggu adalah bab 12. Bab ini diberi judul "Masalah lahan dan Tanah adat". Sepintas saya pikir bab ini akan membahas tentang persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat Dayak Jongkang saat ini berkaitan dengan lahan dan tanah adat mereka yang makin terancam akan kehadiran aneka industri rakus lahan seperti perkebunan besar kelapa sawit. Namun ternyata yang dibahas adalah cerita tentang ladang dan gawai Dayak Jongkang. tentu penulis mempunyai pertimbangan sendiri dalam pemilihan judul dan isi yang dibahas dalamnya yang terkesan menghindari pembahasan tentang persoalan nyata terkait lahan dan tanah adat dalam komunitas Dayak Jongkang kini.
Hal lain yang mengganggu adalah ada ketidakkonsistenan dalam penamaan suku Dayak Jangkang. Pada sampul ditulis "Dayak Djangkang" sedangan dalam keseluruhan isinya memakai sebutan "Dayak Jangkang".
Ada juga kekeliruan kecil dalam buku ini. Yakni terjadi pencampuradukkan antara konflik Dayak-Madura dengan konflik Dayak-Tionghoa pada tabel kronologi konflik antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan (hlm.118). Beberapa kesalahan teknis juga ditemukan. Misalnya, Bab 10 di daftar isi tertulis halaman 183 seharusnya 181; Bab 9 tertulis halaman 169 seharusnya 168.
Judul buku ini juga unik; menggabungkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Apakah untuk menghindari image negatif tentang pengayauan sehingga kata itu seolah ditabukan dan diganti dengan headhunter. Tentu penulis punya alasan sendiri dalam pemilihannya.
Terlepas dari sejumlah pertanyaaan di sana-sini, kita patu memberikan apresiasi yang tinggi atas penerbitan buku ini; atas ketekunan penulis mengumpulkan informasi selama puluhan tahun dalam penulisan buku ini. Seperti harapan penulis, semoga setelah membaca buku ini Anda bisa mengubah stereotif dan membongkar mitos-mitos yang terselubung dalam masyarakat Dayak Jangkang khususnya dan Dayak umumnya.
Buku ini berkontribusi dalam upaya merajut perdamaian abadi di Kalimantan Barat. Dalam buku ini diuraikan bagaimana harmonisnya hubungan antara Dayak Jangkang dengan Melayu pada masa kesultanan Melayu hingga kini maupun dengan etnis lainnya seperti Tionghoa, Jawa, Batak.***
Peresensi: Edi v Petebang
Komentar
- Ttg Judul depan: Djongkang (Djo) agar terbaca di komunitas internasional bahwa sandi penggolongan Dayak Jangkang adalah Djo, jadi memang disengaja, bukan inkonsisten.
- setuju bahwa saya masih menghindar masalah tanah adat, rumit, mungkin buku tersendiri.
- Betul, satu konflik horizontal dgn Cina, bukan Madura, ini trims atas masukannya. Akan saya buat buku sendiri, sebab Dayak dipakai oleh Orba untuk memukul dalam sebuah grand design militer.