Langsung ke konten utama

Ketapang, Kabupaten Bertuah Yang Merana

Ketapang adalah negeri bertuah yang memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Namun sayang karena salah urus akibatnya masih 85.766 jiwa (18,27%) rakyatnya miskin, peringkat kedua terburuk di Kalbar. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007 adalah nomor empat berburuk (66,02) di Kalbar.

Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas  di provinsi Kalbar yakni 31.588 km2 atau  21,52 persen dari seluruh wilayah Kalbar. Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Sanggau dan Kab. Sekadau. Selatan  berbatasan dengan Laut Jawa; Barat berbatasan dengan Kab. Pontianak, Kab. Kayong Utara dan Selat Karimata; Timur berbatasan dengan Prov.Kalimantan Tengah, Kab. Sintang dan Kab. Melawi. Ada 24 kecamatan dengan 5 Kelurahan dan 216 Desa
Pada akhir tahun 2007 jumlah penduduk Ketapang adalah 403.625 jiwa. Penduduk Ketapang, khususnya di kota Ketapang adalah multi etnis. Suku Dayak dan Melayu serta Tionghoa merupakan tiga suku terbesar. Seiring dengan makin banyaknya dibuka perkebunan sawit dan didatangkan transmigran asal Jawa dan NTT, maka warga Jawa, NTT juga bertambah secara signifikan. Juga ada warga Batak, Madura, Sunda, Manado, Bugis, dan sebagainya.

Dilihat dari kondisi alamnya, wilayah Kabupaten Ketapang terbagi menjadi dua daerah yaitu daerah pesisir pantai dan daerah perhuluan (pedalaman). Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Ketapang berupa tanah podsolik merah kuning, litosol/ regosol, latosol, andosol dan organosal. Dilihat dari jenis dan kandungan tanah, wilayah Kabupaten Ketapang secara umum terdiri dari tanah kuarter, efulsif tak dibagi, intrusif plutonik yang terhampar di sebagian besar kecamatan. Kondisi tanah tersebut merupakan daerah yang subur dan sangat baik untuk kegiatan usaha perkebunan, pemanfaatan hasil hutan, pertanian tanaman pangan dan budidaya perikanan.

Kondisi tanah tersebut mengindikasikan keragaman kandungan tanah yang cukup signifikan dengan kekayaan sumber daya tambang dan mineral di daerah Kabupaten Ketapang. Wilayah Kabupaten Ketapang relatif datar dengan rata-rata berada pada ketinggian 0,5 s/d 30 m diatas permukaan laut
.

Kabupaten Ketapang ber iklim tropis dengan suhu rata-rata 23,70°C-26,70°C dan suhu pada siang hari mencapai 30,80°C serta memiliki curah hujan rata-rata 3696,1 mm pertahun. Kecepatan angin adalah 3,1 knot dan merupakan yang tertinggi di Kalimantan Barat.

Kabupaten Ketapang sudah terkenal ke seantero Nusantar sejak masa kerajaan dulu. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejak tahun 1936 Kabupaten Ketapang adalah salah satu daerah Afdeling yang merupakan bagian dari Keresidenan Kalimantan Barat dengan pusat pemerintahannya di Pontianak. Kabupaten Ketapang ketika itu dibagi menjadi tiga Onder Afdeling, yaitu (1). Onder Afdeling Sukadana, berkedudukan di Sukadana (2). Onder Afdeling Matan Hilir, berkedudukan di Ketapang (3). Onder Afdeling Matan Hulu, berkedudukan di Nanga Tayap.

Masing-masing Onder Afdeling dipimpin oleh seorang Wedana. Tiap-tiap Onderafdeling dibagi lagi menjadi Onder Distrik, yaitu (1). Onder Afdeling Sukadana terdiri dari Onder Distrik Sukadana, Simpang Hilir dan Simpang Hulu; (2). Onder Afdeling Matan Hilir terdiri dari Onder Distrik Matan Hilir dan Kendawangan (3). Onder Afdeling Matan Hulu terdiri dari Onder Distrik Sandai, Nanga Tayap, Tumbang Titi dan Marau.

Masing-masing Onder Distrik dipimpin oleh seorang Asisten Wedana. Afdeling Ketapang terdiri atas tiga kerajaan, yaitu (1). Kerajaan Matan, yang membawahi Onder Afdeling Matan Hilir dan Matan Hulu; (2). Kerajaan Sukadana, yang membawahi Onder Distrik Sukadana; (3). Kerajaan Simpang, yang membawahi Onder Distrik Simpang Hilir dan Simpang Hulu. Masing-masing kerajaan dipimpin oleh seorang Panembahan. Sampai tahun 1942, kerajaan Matan dipimpin oleh Gusti Muhammad Saunan. Kerajaan Sukadana dipimpin oleh Tengku Betung dan Kerajaan Simpang dipimpin oleh Gusti Mesir.

Masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir dengan datangnya bala tentara Jepang pada tahun 1942. Dalam masa pendudukan tentara Jepang, Kabupaten Ketapang masih tetap dalam status Afdeling, hanya saja pimpinan langsung diambil alih oleh Jepang. Pemerintahan pendudukan Jepang yang berakhir kekuasaannya pada tahun 1945 diganti oleh Pemerintahan Tentara Belanda (NICA). Pada masa ini bentuk pemerintahan yang ada sebelumnya masih diteruskan. Kabupaten Ketapang berstatus Afdeling yang disempurnakan dengan Staldblaad 1948 No. 58 dengan pengakuan adanya Pemerintahan Swapraja.

Pada waktu itu Kabupaten Ketapang terbagi menjadi tiga pemerintahan swapraja, yaitu Sukadana, Simpang dan Matan. Kemudian semua daerah swapraja yang ada digabungkan menjadi sebuah federasi. Dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 1956 Ketapang ditetapkan sebagai kabupaten.

Kaya tapi miskin

Ketapang adalah daerah yang kaya raya dengan kayu, bahan tambang, perikanan dan sumber-sumber lainnya. Namun sangat ironis, meski kaya ternyata masih banyak penduduknya yang miskin. Menurut data BPS 2005, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Ketapang mencapai 85.766 jiwa (18,27%), peringkat kedua terburuk di Kalbar. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007 adalah nomor empat berburuk (66,02).

Tiga puluh tahun lalu Kabupaten Ketapang diselimuti hutan hujan tropis yang sangat kaya. Karena itulah, pemerintah jor-joran mengeluarkan izin HPH. Kayu habis dikeruk, baik secara legal maupun liar. Perusahaan kayu yang besar kala itu antara lain PT Alas Kusuma, PT Kawedar, PT BRU. Ada ratusan sawmill di sepanjang sungai-sungai besar di Ketapang kala itu. Luar biasa hasil kayu asal Ketapang kala itu. Sebenarnya industri kayu di Ketapang masih marak meski perusahaan HPH yang besar sudah tutup. Kegiatan jual abeli kayu baru berhenti total setelah operasi besar-besaran yang dilakukan aparat keamanan tahun 2007-2008 yang berhasil memenjarakan sejumlah cukong kayu.
Korelasi nyata banjir dan masifnya perkebunan sawit di Ketapang
  
Setelah kayu habis, maka mulai tahun 2000-an pemerintah kabupaten Ketapang gencar mengeluarkan izin perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan tambang. Pada bulan Juli 2006 Pemkab Ketapang telah mengalokasikan luas areal untuk perkebunan sawit mencapai 900 ribu hektar. Dan hanya setahun (2007) menjadi 1.422.000 hektar. Hanya dalam tiga tahun Pemkab Ketapang sudah mengalokasikan 40 persen wilayanya untuk perkebunan sawit. Dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 70 persen  dari luas Ketapang sudah diserahkan kepada perusahaan perkebunan sawit. Sekitar 30 persen lahan yang tersisa adalah pegunungan atau rawa di sepanjang pantai.

Berdasarkan hasil penelitian Milieu Defensie-Netherland dan Walhi Kalbar (Pengurusan yang gagal, penghindaran tanggung jawab,2009), proses perizinan perkebunan sawit di Ketapang melalui jalur cepat karena izin usaha perkebunan diajukan dan dikeluarkan sebelum perusahaan sawit memperoleh surat rekomendasi gubernur atas AMDAL mereka dan sebelum surat pelepasan kawasan hutan dari Departemen Kehutanan diperoleh. Akibatnya banyak perusahaan sawit di Ketapang mengajukan dan mendapatkan izin dengan legalitas yang diragukan. Masih menurut laporan tersebut, banyak perkebunan sawit yang lahannya tumpang tindih dengan lahan peruntukan lain.

"Penguasaan kekayaan alam Ketapang oleh pemodal besar baik sektor kehutanan, perkebunan sawit, pertambangan sangat mengebiri dan menghilangkan hak-hak kelola masyarakat lokal sehingga mereka kehilangan asset penghidupan mereka seperti hutan, tanah dan air,"simpul laporan penelitian Mileu-Walhi.

Menurut Dinas Perkebunan Ketapang, dari 54 perusahaan sawit yang ada di Ketapang, 20 persen diantaranya menghadapi konflik lahan/sengketa tanah. Sengketa itu antara lain pengembangan lahan oleh perusahaan tanpa persetujuan masyarakat, pemberian izin ganda diatas lahan yang sama, penjualan kebun plasma dan kegagalan penyerahan kebun plasma sesuai waktu kepada petani.

Selain untuk sawit, lebih dari satu juta hektar (30% dari luas kabupaten) merupakan areal hutan tanaman industry dan sudah 562.262 areal pertambangan yang diberikan izin oleh Bupati Morkes Effendi. Ada 15 izin penyelidikan umum; 12 izin eksplorasi; 24 izin eksploitasi; 22 izin pengolahan dan pemurnian; 22 izin pengangkutan dan penjualan. Total izin yang sudah dikeluarkan Morkes selama 10 tahun menjadi bupati ada 95 izin (Distamben Kalbar 2008--data selengkapnya baca KR Oktober 2009).

Terjadinya konflik sosial, penghilangan tanah rakyat, kriminalisasi masyarakat adat dan petani, bencana banjir, kebakarana lahan, krisis air bersih di kampung, krisis pangan di kampung, penggusuran tanam tumbuh dan kebun tembawang masyarakat, rusaknya sumber air dan DAS serta degradasi lingkungan serta terjadinya perubahan iklim yang ekstrim seharusnyalah menjadi catatan kritis bagi Bupati dan pengambil kebijakan di Ketapang agar meninjau ulang keberadaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di sana.n

Komentar

Anonim mengatakan…
yah itulah wajah pembangunan sekarang.....monoton dan kurang inovatif bro
jalan-kalimantan mengatakan…
semoga dengan penguasa yang tembuni dari buyutnya ada di sana, keadaan bisa membaik.

o,ya sya sudah link blog nya

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany