Langsung ke konten utama

Miting, Potret Buram Masyarakat dan Pembangunan


Oleh Edi V Petebang

Pernah mendengar kata miting? Bagi Anda yang bukan warga Kabupaten Ketapang, Kalbar atau tidak pernah berkunjung ke daerah pedalamannya, mungkin agak asing mendengar kata itu. "Miting" itu sendiri kuat diduga asalnya adalah kata "meeting" dari bahasa Inggris yang artinya pertemuan. Namun miting ini bukan sekedar nama, tetapi bisa dijadikan istilah untuk memotret banyak hal tentang filosofi, karakter manusia dan berhasil atau gagalnya pembangunan.

Soal istilah miting, pada awal pembangunan jalan darat poros Desa Pelang-Tumbang Titi sekitar tahun 1980-an, di kawasan yang kini disebut miting, merupakan tanah berpasir halus sedalam setengah meter. Struktur jalan tanah berpasir halus ini (pasir sepok--bahasa Melayu) sangat menyulitkan kendaraan lewat, khususnya sepeda motor. Agar bisa dilewati maka diatas jalan ini diberi batang kelapa, berjejer saling menyambung/bertemu. Entah siapa yang memulai, badan jalan yang terdiri dari batang kelapa sambung menyambung inilah yang disebut miting (meeting-pertemuan batang kelapa).

Setelah beberapa tahun, jalan darat ini semakin ramai dilewati, terutama mulai tahun 1990 dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit di wilayah Tumbang Titi (Tembelina). Makin banyaknya kendaraan lewat mengakibatkan jalan di kawasan miting ini hancur lebur dan penuh kubangan lumpur. Agar kendaraan bisa lewat, maka ada warga yang berinisiatif membuat jembatan dari papan-papan tebal. Sangat wajar, dengan biaya jutaan yang dikeluarkannya, maka ia pun memungut tarif untuk setiap sepeda motor dan mobil yang lewat. Dari sinilah lalu terkenal istilah miting sebagai sebutan untuk kawasan jalan rusak, diberi papan dan ditunggu orang untuk minta bayaran.

Dalam perkembangannya, miting ini menjamur, ratusan sepanjang jalan Pelang sampai ke desa-desa di pedalaman hingga kini (2010). Saat ini di jalur yang paling marak miting di kabupaten Ketapang adalah Kecamatan Pelang-Sungai Melayu Rayak-Tumbang Titi- Jelai Hulu- Marau-Singkup- Manis Mata; dan jalur Sandai-Nanga Tayap-Tumbang Titi.

Dalam sekali jalan antara Pelang-Tumbang Titi yang berjarak sekitar 90 km, mobil kecil (roda empat) harus membayar miting Rp.250.000; truk Rp.500.000. Bahkan ada satu tempat, karena jalan rusak parah sekali, pengendara harus lewat halaman rumah warga dan warga ini meminta bayaran Rp.80.000 untuk setiap mobil non truk. Di jalur Kec. Nanga Tayap-Tumbang Titi yang berjarak 45 km, mobil jenis kecil (selain truk) harus membayar miting Rp.50.000.

Jalur lain ke pedalaman, yakni Ketapang-Sungai Gantang-Marau juga akan dijumpai banyak miting. Begitu juga jalur pantai dari Ketapang-Teluk Batang. Ketapang-Teluk Batang berjarak sekitar 120 km mobil kecil harus mengeluarkan uang sekitar Rp.100.000; sepeda motor sekitar Rp.25.000. Satu miting mobil membayar rata-rata Rp.5.000; truk dan sejenisnya Rp.10.000.

Sebetulnya jalan yang juga rusak parah sebelumnya adalah jalur Tayan-Toba-Balai Berkuak-Sandai. Syukurlah mulai tahun 2009 jalur ini bisa dikatakan bebas miting. Padahal ketika jalan di sini masih hancur, sekali jalan satu truk harus membayar sampai satu jutaan rupiah.

Ikon pedalaman

Fenomena "miting" ini ternyata tidak hanya ada di wilayah Kabupaten Ketapang. Tahun lalu ketika melintas jalur Bengkayang-Seluas saya juga menemukan sejumlah miting dan penunggunya. Bulan Juli 2010 lalu ketika melintas di jalan Sintang-Kapuas Hulu, tepatnya di kawasan Kelam Permai-simpang Sejiram, juga banyak dijumpai miting ini (warga di sana tidak menyebutnya miting). Bahkan lebih parah jika dibanding jalur Ketapang-Tumbang Titi. Di jalur Sintang-Kapuas Hulu ini jalan rusak sedikitpun ditunggui padahal menurut ukuran jalur Ketapang-Tumbang Titi tidak akan dijaga. Rekan saya, warga luar Kalbar yang baru pertama kali ke Kalbar bilang, "Enak benar orang ini. Hanya buat tenda kecil, lintangkan tali di jalan yang becek dan diberi papan, uang masuk tiap hari ratusan ribu".    

Di luar Kalbar pun ternyata ada juga "profesi" menunggu jalan ini. Beberapa tahun lalu dalam beberapa kali kesempatan melintas jalan darat antara Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat di Kaltim, belasan kali kendaraan kami dicegat di jalan yang berlobang dan diberi papan oleh warga. Mereka meminta uang kepada semua pengendara yang melintas.

Potret buram
Secara finansial, kerja menjaga miting sangat santai. Di jalur Pelang-Tumbang Titi misalnya, dalam sehari, antara pukul 09.00-16.00 minimal 100 sepeda motor melintas. Umumnya tarif untuk motor sekali lewat seribu rupiah. Artinya sehari mendapat uang tunai seratus ribu rupiah--belum termasuk mobil: jumlah yang tergolong besar tentu saja. Namun disinilah kita bisa melihat mentalitas manusia di balik fenomena miting ini.

Ada dua mentalitas mendasar. Pertama, mentalitas ingin cepat kaya/senang dengan jalan pintas. Enak sekali kan, memberi papan di jalan berlobang, lintangkan tali, buat tenda lalu tunggu dan uang pun didapat. Tidak perlu bekerja berpeluh keringat, tidak perlu berpikir panjang. Mentalitas seperti ini yang berpotensi besar melahirkan pelaku kriminal.

Mentalitas kedua adalah premanisme/kekerasan. Meski belum ada kasus perkelahian antara penjaga miting dengan pengendara, tapi tingkah polah para penjaga miting tidak ubahnya preman; bahkan terkadang dilengkapi senjata tajam untuk mengancam secara halus. Orang-orang seperti ini akan melahirkan pelaku anarkisme, premanisme di kampung.

Yang paling mencemaskan dari miting ini adalah masa depan anak-anak. Cukup banyak penunggu miting adalah anak-anak. Anak-anak ini "diajari" merokok, minum alkohol, bawa senjata tajam--mungkin tujuannya supaya berani menjaga miting. Bisa dibayangkan generasi seperti apa setelah dewasa?
 
Dari sisi pemerintah, lahirnya fenomena miting sesungguhnya potret kegagalan pemerintah menyediakan prasarana dasar bagi rakyatnya (jalan) serta menyediakan lapangan pekerjaan. Padahal jalan adalah urat nadi perekonomian masyarakat pedesaan. Salah satu sebabnya adalah belum adanya kemauan politik yang kuat untuk membangun jalan ke pedalaman sehingga misalnya jalan Pelang Tumbang Titi yang hanya berjarak 90 km sudah hampir 20 tahun tidak pernah normal. Jarak yang sangat dekat, namun jika musim hujan sepeda motor perlu waktu 6-7 jam; truk bisa dua-tiga hari. Jalan yang hancur mengakibatkan harga barang mahal dan ekonomi tinggi di pedesaan.  

Harus diakui ada kendala secara financial, geografis dan alam untuk membangun jalan darat di Kalbar yang berjumlah sekitar 1.500 km jalan nasional; 1.656 km jalan provinsi (BPS 2010). Kira-kira 11,8% ruas jalan nasional dalam kondisi rusak atau rusak berat; 24% jalan provinsi dalam kondisi rusak dan rusak berat.

Secara financial, anggaran yang tersedia untuk memperbaiki jalan yang rusak, meningkatkan grade jalan dan membangun jalan baru memang sangat terbatas. Anggaran yang terbatas harus dibagi lagi dengan begitu panjangnya ruas jalan di Kalbar.Secara geografis adalah tanah yang sebagian besar gambut. Faktor alam ada tingginya curah hujan yang mengakibatkan banjir dan merusak jalan.

Selain ketiga faktor diatas, buruknya jalan di Kalbar adalah akibat faktor manusia. Yakni pengerjaan jalan yang terkesan asal jadi (banyak dana proyek yang menguap?) sehingga kualitasnya sangat buruk; serta rendahnya keswadayaan masyarakat untuk merawat jalan. Jalan rusak di depan rumahnya pun tidak mau diperbaiki.

Semoga miting tidak lagi menjadi ikon daerah pedalaman Kalbar. Tugas berat buat pemerintah (Pusat sampai daerah) yang memang diberi mandat oleh rakyat untuk menyediakan kebutuhan dan sarana prasarana dasar sebagai pemenuhan hak asasi warganya.***

Komentar

Syaiful Amri mengatakan…
kurang lebih sama dengan desa-desa di tempat kerja saya, karena jarah yang jauh dari pusat kota dan kondisi infrastuktur yang belum memadahi mereka jadi sulit untuk maju
jalan-kalimantan mengatakan…
benar bang. kemauan politik penguasa lokal sebenarnya kuncinya; bukan soal dana
benny yonk aztech mengatakan…
sekarang meting pelang-tumbang titi sudah d hapuskan,tp belum ad perbaikan,bru penimbunan jalan yg dianggap parah.tetapi,bukan malah bagus justru semakin hancur
benny yonk aztech mengatakan…
sekarang meting pelang-tumbang titi sudah d hapuskan,tp belum ad perbaikan,bru penimbunan jalan yg dianggap parah.tetapi,bukan malah bagus justru semakin hancur

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany