Awal kotbahnya tentang pesan-pesan moral, namun makin ke ujung makin jelas mengkampanyekan salah seorang calon bupati. Sedang berkobar-kobarnya berkotbah, tiba-tiba ada suara seorang umat yang duduk di belakang interupsi. Ia memprotes karena tidak setuju tempat ibadah dijadikan ajang kampanye dan tidak setuju sang oknum imam hanya mengkampanyekan satu calon. Ternyata banyak juga umat yang tidak setuju dengan tindakan oknum imam itu. Ketika komuni, umat yang memprotes menerima komuni ke imam lain.
Kejadian diatas tergolong fenomena baru dalam masyarakat kita. Hal ini erat kaitannya dengan adanya perubahan sistem politik di Indonesia di mana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, maka meningkat pula ulah oknum-oknum tokoh agamawan dari beragam agama yang memanfaatkan imambar ibadah untuk mendukung salah satu kandidat. Pertanyaan kita tentu, apakah tindakan itu salah? Untuk menilai salah atau benar, biarlah para pihak y ang berwenang di institusi agama masing-maisng yanag menilainya. Bagi Gereja Katolik, banyak umat bertanya bagaimana sebenarnya posisi Gereja dalam urusan politik?
Politik dimaknai dalam dua hal: arti sempit adalah kekuasaan dan arti luas, politik adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk menciptakan, mempertahankan, dan memperbaiki tata aturan dalam suatu masyarakat demi kebaikan dan kemajuan bersama.
Umat Katolik memandang politik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan kasih Allah. Bentuk pelayanan ini mengambil wujudnya paling konkrit dalam upaya setiap umat beriman memajukan kesejahteraan umum. Kitab Suci mengatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7). Politik merupakan hak, tanggungjawab dan panggilan semua anggota Gereja (KWI, Aksi Kaum Muda, 2008).
Dr. Ola Rongan Wilhelmus dalam makalahnya pada seminar pesta emas STKIP Widya Yuwana Madiun, April 2010 menjelaskan bahwa alasan mendasar yang membuat umat Katolik terus terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan Ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar (lihat di http://yabisa.wordpress.com). Yaitu politik demi keadilan, perdamaian, kesejahteraan dan kebaikan bersama serta penghormatan terhadap hak-hak asasi dan martabat manusia.
Menurut Ola Rongan, keterlibatan Gereja dalam kegiatan sosial-politik telah mengalami evolusi panjang dan menarik. Evolusi ini sejalan dengan perkembangan eklesiologi Gereja Katolik. Sebuah studi yang dilakukan di Filipina (2005) mengatakan bahwa keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang kehidupan sosial politik di Asia dalam rentang waktu lima puluh tahun terakhir ini dipengaruhi oleh bingkai kerja eklesiologi Konsili Trente (1545-1563) dan Konsili Vatikan II (1962-1965).
Eklesiologi Trente memberi penekanan kuat terhadap konsep Gereja sebagai sebuah ”Institusi Sosial” yang terpisah dari kehidupan publik dan memiliki kekuasaan, hukum dan tata pemerintahan sendiri. Gereja memposisikan dirinya sebagai satu-satunya jalan keselamatan jiwa. Keselamatan itu terjadi melalui pewartaan dan pembabtisan. Karena itu kegiatan evangelisasi dan pembatisan menjadi misi utama Gereja. Setiap orang yang tidak membuka diri kepada penginjilan dan menolak pembabtisan dipandang sebagai orang asing dan berada diluar jalur keselamatan Allah.
Jaman terus berubah. Perubahan yang terjadi mempengaruhi setiap aspek kehidupan umat beriman. Tata aturan dan hukum serta kebijakan sosial, ekonomi dan politik dibawah pengaruh modernisme terus mempengaruhi cara berpikir dan prilaku manusia. Kemajuan ini pada suatu sisi mendatangkan kegembiraan, harapan, kelimpahan dan sukacita, tetapi disisi lain membawa duka dan lara bagi manusia. Gereja terpanggil untuk merumuskan suatu eklesiologi baru dimana Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi sosial yang terisolir malainkan bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat umumnya.
Inilah yang melahirkan Konsili Vatikan II. Gereja adalah bagian dari pengalaman umat manusia akan kegembiraan, sukacita, harapan serta duka dan kecemasan sehari-hari. Gereja adalah umat Allah. Konsep Gereja sebagai umat Allah ini dirumuskan secara sangat baik dalam dokumen tentang Gereja dalam Dunia modern (Gaudium et Spess-GS) yang sangat terkenal. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).
Pernyataan Konsili Vatikan II ini mereflesikan adanya keterbukaan luar biasa dari pihak Gereja terhadap kehidupan publik. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsili Trente. Para pimpinan Gereja membuka mata dan hati serta peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi serta gejolak hidup ditengah masyarakat. Gereja Katolik di Indonesia setelah Konsili Vatikan II tidak mundur dari komitmenya terhadap politik (dalam artian luas).
Hirarki-Politik
Konsep Gereja sebagai umat Allah membuka pintu sangat lebar bagi keterlibatan umat dalam politik. Namun dipihak lain Gereja tetap melarang keterlibatan para uskup, imam, serta rohaniwan dan rohaniwati dalam arena politik praktis. Hukum Kanonik 287 misalnya mengatakan bahwa para klerus tidak diperbolehkan terlibat dalam dan memimpin partai politik tertentu. KWI tahun 2008 membuat pernyataan bahwa demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi maka pimpinan Gereja tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik.
Mengapa larangan seperti ini dibuat dan terus dipertahankan? Alasannya bahwa para uskup, imam dan bahkan kaum religious merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman. Karena itu apabila terlibat dalam politik praktis dan pada suatu ketika harus berseberangan dengan umat Katolik lainnya, maka akan memperlemah otoritas pengajaran serta posisi mereka sebagai penyatu, pelindung dan pembimbing umat beriman.
Para klerus (Gereja) mengikuti amanat Yesus, terus berpolitik dengan cara meneladani Yesus. Cara berpolitik seperti inilah yang dilakukan sejumlah tokoh Katolik seperti Mgr. Soegijapranata, Kardinal Darmoyuwono, Rm. Mangunwijaya, Frans Seda, IJ. Kasimo, dll. "Keterlibatan politik terwujud dalam tindakan profetis, etis dan praktis membangun tata dunia Indonesia berdasar nilai-nilai Injili seperti cinta kasih, kedamaian, keadilan, pelayanan dan kesejahteraan bersama. Gereja terus berdialog dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dalam rangka merealisir konsep Indonesia sebagai satu rumah bersama yang adil dan sejahterah,"tulis Ola Rongan.
Negara Indonesia kini menghadapi sejumlah masalah krusial. Korupsi, kolusi terus merajalela, dari Pusat sampai ke tingkat RT. Indonesia adalah Negara terkorup di Asia tahun 2010. Ancaman bencana lingkungan sudah di depan mata. Kalbar menyiapkan 2,5 juta hektar lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Sampai Juli 2009 ; sudah ada 351 perusahaan/izin pertambangan dengan total areal 2.150.171 hektar di Kalbar (KR 170, Oktober 2009). Ada 500.000 rakyat Kalbar hidup dalam kemiskinan. Politik etnis yang mengancam keharmonisan masyarakat. Menghadapi situasi ini tentulah Gereja tidak akan berdiam diri. Gereja akan terus "berpolitik" untuk mewujudkan tatanan dunia yang aman, adil dan sejahtera.
Terkait adanya oknum imam atau klerus yang aktif dalam politik praktis, mungkin akan sangat elegan jika mengikuti jejak Pastor Eduardo Panlilio di Provinsi Pampanga, Philipina. Ketika ia memutuskan maju sebagai calon gubernur, Gereja Katolik Philipina menskornya dan membebastugaskannya. Ia maju dan akhirnya dipilih rakyat secara langsung sebagai gubernur Pampanga periode 2007-2009.
Tentu tidak asal meniru Panlilio. Panlilio terpilih bukan hanya karena ia pastor, tetapi karena ia selama 15 tahun membantu rakyat miskin akibat letusan Gunung Pinatubo (1991). Sebelum Panlilio, imam pertama terpilih untuk jabatan publik di Filipina adalah Margarito Gonzaga sebagai walikota Alburquerque, Bohol (1971). Keduanya diskors Uskup Leonardo Medroso , Ketua Konferensi Uskup Katolik Philipina.
Atau mengikuti langkah Uskup Fernando Armindo Lugo Méndez yang memutuskan maju sebagai Presiden Paraguay dan menang (2009). Setelah menjabat sebagai presiden, Gereja Katolik Paraguay membebastugaskannya sebagai uskup dan imam.
Pandangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX bisa mewakili harapan rakyat Indonesia terhadap posisi Gereja Katolik dalam politik. "Gereja Katolik Indonesia terus mendefiniskan dirinya sebagai ”rumah Tuhan tanpa dinding” serta institusi sosial yang terus berbela rasa, mewartakan pengharapan dan pertobatan serta menciptakan masyarakat baru Indonesia yang lebih manusiawi dan berkeadilan" (dalam Ola Rongan, 2010). ***
Edi v. Petebang, dari berbagai sumber (artikel ini dimuat dalam Majalah KR edisi 179, Juli 2010)
Komentar