Langsung ke konten utama

GURITA CREDIT UNION model KALIMANTAN

Luar biasa! Credit Union ala Kalimantan di bawah naungan Badan Kordinasi Credit Union Kalimantan ini sampai tahun buku 2009 mencatatkan aset Rp. 3.193.460.969.042-, dengan anggota 397.436 orang yang tersebar di 47 CU primer di pulau Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Papua dan Maluku.


Menyebut kata "credit union" di Indonesia, hampir mayoritas orang akan mengidentikkannya dengan Kalimantan Barat. Memang Kalbar dan credit union ibarat sekeping mata uang logam: dua tapi satu. Betapa tidak, dua credit union terbesar di Indonesia ada di Kalimantan Barat, yakni CU Lantang Tipo di Bodok, Sanggau dan CU Pancur Kasih di Pontianak. Bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan Barat, termasuk para pejabatnya seperti gubernur, bupati, anggota legislative maupun pengusaha, credit union sudah menjadi bagain dari kehidupan mereka; apalagi di daerah pedalaman. Hampir seluruh pedalaman Kalbar--yang sangat sulit dijangkau lembaga keuangan lainnya--sudah ada pelayanan credit union.

Secara nasional, Credit Union (CU) di Indonesia kini bukan lagi sekedar lembaga keuangan, tetapi sudah menjadi gerakan ekonomi karena besar dan luasnya dampak yang dihasilkannya. Secara kuantitas, sampai Oktober 2009 menurut data dari Induk Koperasi Kredit Indonesia (Inkopdit) terdapat 964.048 orang anggota dengan aset sekitar Rp.6 triliun yang tersebar di 965 Kopdit primer. Saat ini Inkopdit memiliki jaringan 30 Puskopdit/ Pra Puskopdit/ BK3D yang tersebar di beberapa Propinsi di seluruh Indonesia.

DR. Eddy Suratman, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura, menilai bahwa CU model Kalimantan yang dipelopori AR. Mecer telah berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan khususnya, dan masyarakat umumnya. "Credit union benar-benar sangat membantu perekonomian masyarakat yang tidak punya akses ke bank komersial karena inilah lembaga keuangan yang benar-benar dimiliki dan dikelola rakyuat secara langsung,"ujarnya dalam sebuah seminar erkonomi kerakyatan di Pontianak beberapa waktu lalu.

"CU benar-benar sangat membantu kami masyarakat pedalaman ini sebagai alat kami berusaha sekaligus memberikan kami pengetahuan dan kebijakan dalam pengelolaan keuangan,"ujar Masita, seorang pedagang yang bermodal pinjaman dari CU Gemalaq Kemisiq di kampung Beriam, Manis Mata, Ketapang--perbatasan Kalbar-Kalteng.

Credit union terbukti telah meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi jutaan rakyat di Indonesia. CU telah mensejahterakan banyak orang tanpa memandang golongan agama, etnis, status sosial dan aneka perbedaan buatan manusia lainnya.

Memutus rantai kemiskinan
Lahirnya credit union merupakan cara yang jitu untuk memutus rantai kemiskinan. Meminjam istilah Ragnar Nurkse, ahli ekonomi asal Swedia penerima Hadiah Nobel, kemiskinan itu adalah sebuah vicious circle poverty atau lingkaran setan kemiskinan. Menurutnya, keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Karena produktifitas rendah maka pendapatan juga rendah sehingga berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan...dan seterusnya membentuk lingkaran, tidak ada putusnya.

Begitulah kondisi masyarakat dimana CU didirikan, seperti di Jerman, Indonesia dan khususnya Kalbar. Fenomena kemiskinan struktural dan kultural semacam ini menggambarkan bagaimana kaum miskin tetap miskin karena dia miskin, dan demikian terus berlaku secara turun-temurun tanpa menemukan jalan keluar. Akhirnya Si miskin tetap miskin bahkan semakin terjerat dalam “kubangan kemiskinan” karena mereka mendapatkan “bantuan” berupa pinjaman dari lintah darat, pengijon, tengkulak atau perantara yang menagih cicilan dengan bunga yang tinggi.

Menukik ke konteks Kalimantan, khususnya Kalbar, ketika CU awal didirikan, kondisi yang dialami mayoritas masyarakat, khususnya Dayak, sangatlah memprihatinkan. Masyarakat masuk dalam lingkaran setan kemiskinan struktural. Bagi masyarakat Dayak sendiri, peran misionaris Katolik dan Protestan sangat besar untuk memutus lingkaran setan kemiskinan melalui pendidikan, kesehatan, pelayanan social lainnya dan credit union.

Credit berasal dari bahasa Latin Credere yang artinya percaya; Union berarti perkumpulan. Credit Union berarti kumpulan orang-orang yang saling percaya. “People helping people help themselves” adalah filosofi Credit Union. Gerakan ini berawal dari Jerman, yakni dirintis walikota Flammersfield bernama Frederich Wilhem Raifeisen. Gerakan ini menyebar ke Kanada dan Amerika Serikat. Tahun 1934 pada masa pemerintahan Presiden FD Rosevelt, gerakan ini mendapatkan legalitas dan dibentuklah Biro Pengembangan Credit Union sedunia dengan nama World Council Of Credit Union (WOCCU). Di Asia dibentuk The Asia Confederation of Credit Union (ACCU).

Tahun 1963 diadakan seminar "Social Ekonomic Life in Asia" dan "Sosial Action Leadership Course" di Bangkok yang dihadiri Delsos-Delsos peserta dari Indonesia. Dalam seminar ini diparkan ide tentang CU. Tahun 1968-1969 gerakan Credit Union mulai dirintis melalui Konpernas PSE/Delsos di Bandung tahun 1968 dan Konpernas PSE/Delsos di Sukabumi tahun 1969.

Tahun 1967 Mr. A.A. Baily, perwakilan WOCCU, diundang ke Indonesia untuk memperkenalkan CU. Pater Karl Albretch Karim Arbi, SJ bersama-sama rekan-rekannya seperti Ir. Ibnoe Soedjono, Margono Djojhadikusumo, Mokhtar Lubis, Prof. Dr. Fuad Hasan dan Prof. Dr. A.M. Kadarman, SJ, serta Roby Tulus kemudian memasyarakatkan gagasan CU. Kehadiran CU yang berpihak pada kaum miskin-melarat-terlantar, menarik perhatian masyarakat. Kelompok-kelompok kecil yang merasa senasib sepenanggungan, bersama-sama mulai mendirikan CU.

Mulai banyaknya CU primer di Indonesia, mendorong Pater Albrecht dan kawan-kawan membentuk Credit Union Counseling Office atau yang disingkat dengan CUCO, pada tahun 1970. CUCO inilah yang kemudian hari berkembang menjadi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia atau BK3I (kini Inkopdit). Sejak saat itu sosialisasi tentang credit union dilakukan oleh CUCO di berbagai tempat di Indonesia.

CU ke Kalbar tahun 1975, tidak lepas dari peranan Gereja Katolik. Delegatus Sosial yang berada di bawah Keuskupan Agung Pontianak, pada tahun 1976 menyelenggarakan pendidikan CU di Nyarumkop dan Sanggau. Pendidikan tersebut dimaksudkan agar masyarakat Kalimantan Barat memahami CU dan bernisiatif mendirikannya. Pendidikan tersebut mendorong para peserta sepulang dari pendidikan tersebut, untuk mendirikan CU-CU di tempatnya masing-masing. Harapan ingin memperbaiki masa depan yang lebih baik, mendorong para peserta pendidikan CU di Nyarumkop dan Sanggau itu mendirikan 40 CU yang tersebar di wilayah Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sambas.

Pada masa awal ini inti CU hanyalah sebatas simpan pinjam dan tidak mendidik anggotanya. Nilai-nilai CU yang seharusnya ditanamkan melalui pendidikan tidak dilakukan. CU masih diurus secara konvensional. Pengurus merangkap sebagai staf, pelayanan dilakukan tidak full time dan produk yang ditawarkan kepada anggota tidak lebih dari simpan dan pinjam. Akhirnya, pelan tapi pasti semangat ber-CU anggota luntur. Bisa ditebak: pelan tapi pasti CU-CU itu kolaps, umumnya akibat kredit macet dan mis manajemen. Yang bertahan hanya CU Lantang Tipo di Bodok, Pusat Damai-Sanggau.

Tahun 1985 PSE dan CUCO mengadakan pelatihan CU di Pontianak. Peserta pelatihan sepakat mendirikan CU laboratorium yang diberi nama Khatulistiwa Bhakti (CU KB). Walaupun pada masa awalnya terkesan jalan di tempat, namun CU KB mampu terus bertahan, dan kini telah berkembang menjadi sebuah CU besar di Kota Pontianak.

Tahun 28 Mei 1987, para aktivis Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) yang dimotori AR.Mecer menginisiatifi pendirian CU yang kemudian diberi nama CU Pancur Kasih. Anggota pertama 61 orang yang sebagian besar adalah para guru di persekolahan Santo Franciskus Assisi, setelah 3 tahun CU ini berkembang pesat: anggota 446 orang.

Untuk mengkordinasikan CU-CU primer tahun 1988 didirikan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D) Kalimantan Barat.

Belajar dari kegagalan 40 CU sebelumnya, CU Lantang Tipo, CU Khatulistiwa Bakti, CU Sehaq, dan CU Pancur Kasih sebagai CU awal di Kalbar kala itu berusaha mencari bentuk dan inovasi. Hasil dari inovasi-inovasi pengurus dan anggota itu mulai terasa dampak positifnya. CU mulai diurus semi professional dan memperluas daerah pelayanan. Terutama CU PK, dengan support dari para aktivis YKSPK dan unit-unitnya, mulai tahun 1993 sangat gencar mensosialisasikan CU ke daerah-daerah. Di era rejim Orde Baru yang sangat ketat, maka CU menjadi pintu masuk kegiatan LSM di masyarakat agar tidak dicurigai dan dilarang. Dalam setiap kegiatan, CU selalu diperkenalkan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat.

Karena semakin banyak komunitas, lembaga dalam dan luar Kalbar yang ingin mendirikan CU, maka tahun 1995 YKSPK membentuk unit Program Ekonomi Kerakyatan (PEK) untuk menjadi fasilitator CU-CU tersebut. Ada puluhan CU yang difasilitasi pendiriannya maupun pendampingannya, baik di Kalbar, Kalimantan lain, maupun di pulau lain seperti CU Uma Mentawai di Mentawai-Sumatera Barat. Akhirnya ada puluhan CU yang berdiri di Kalbar.

Agar CU tetap berkembang dengan baik, maka insan-insan CU, terutama BK3D, sangat proaktif mencari inovasi. CU harus menguntungkan anggotanya di satu sisi, di sisi lain CU harus bisa menghidupi dirinya/organisasinya. Mulai tahun 2000-an lahirlah inovasi CU yang terkenal, yakni CU professional atau CU modern dengan ciri khas lokal. Inilah yang kemudian dikenal dengan CU model Kalimantan.

CU professional dengan ciri khas lokal inilah yang bisa dikatakan sebagai rahasia sukses pengembangan gerakan CU di Kalimantan Barat dan Kalimantan lainnya dibanding daerah lain di Indonesia. NIlai-nilai, budaya, kearifan masyarakat lokal dijadikan landasan dan pegangan dalam pengembangan CU tanpa meninggalkan prinsip-prinsip universal credit unon. Perpaduan antara pengetahuan lokal dan luar inilah yang membedakan dan mengantarkan gerakan CU model Kalimantan ini berkembang pesat baik di Kalimantan maupun di luar Kalimantan.

AR.Mecer, Ketua BKCU Kalimantan berhasil memformulasikan empat filosofi kehidupan masyarakat adat Dayak dalam pelayanan dan produk-produk CU. Keempat filosofi tersebut --yang disebut sebagai "Empat Jalan Keselamatan"--adalah konsumsi, benih, sosial, ritual.

Konsumsi: penting sekali memenuhi kebutuhan makan-minum, meliputi kebutuhan pokok manusia yaitu makan-minum sehari-hari, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, air bersih, dan lain sebagainya agar memenuhi karya penciptaan Tuhan di bumi ini dari generasi ke generasi.

Benih: menyisihkan hasil sebagai benih untuk ditanam kembali, yang erat kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam/hayati dan konsep menghemat dari hasil kerja agar ekologi dan kehidupan ini dapat lestari.

Sosial: pentingnya kebutuhan sosial-budaya untuk menyokong kualitas hidup pribadi yakni kesadaran untuk partisipasi dan emansipasi dalam bentuk sumbangan materi maupun “doa dan restu” untuk membangun dan mempertahankan keutuhan relasi sosial di antara sesama manusia. Di sini terdapat nilai dan spirit kebersamaan dan social.

Ritual: pentingnya kebutuhan ritual untuk menyeimbangkan hubungan dengan Tuhan (vertical) dan hubungan dengan sesama dan lingkungan alamnya (horizontal). Konsep ritual ini memberikan partisipasi horizontal yang menekankan keseimbangan hubungan antara alam-sesama-Tuhan.

Empat filosofi ini diwujudkan dalam produk CU. Karena itulah ada produk simpanan bunga harian (konsumsi); ada simpanan jangka panjang, deposito (benih); ada solidaritas sosial--seperti kesehatan, pendidikan; ada solidaritas kematian, tabungan hari raya (ritual).

Menggarami dunia
Sukses CU model Kalimantan di bawah BKCU Kalimantan menginspirasi banyak komunitas untuk belajar dan mendirikan CU di daerahnya; baik dari dalam maupun luar negeri. Karena itulah BKCU Kalimantan dan lembaga mitranya di Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) kebanjiran permintaan fasilitasi pendirian CU dari seantero tanah air; serta memfasilitasi komunitas dalam dan luar negeri yang magang, misalnya dari Bangladesh, Filipina, Sabah-Malaysia, Myanmar, Timor Leste, dan Thailand. Inilah kesempatan CU model Kalimantan "menggarami" dunia sekaligus menyebarkan nilai-nilai masyarakat adat Dayak khususnya kepada dunia.

Bahkan keberhasilan CU model Kalimantan sebagai salah satu alternatif model pembangunan bagi masyarakat adat membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Permenen Forum Masyarakat Adat mengundang John Bamba, Direktur Institut Dayakologi sekaligus Ketua CU Gemalaq Kemisiq untuk membagikan pengalaman gerakan CU ala Kalimantan. Di hadapan diskusi panel para ahli tentang masyarakat adat sedunia di kantor PBB New York (12-14 Januari 2010).

Dalam paparannya John menegaskan bahwa CU ala Kalimantan menawarkan “kebebasan” dan “kesempatan” kepada masyarakat. Di credit union, masyarakat adat Dayak menemukan sebuah cara untuk menerapkan model pembangunan secara mandiri yang didasarkan pada budaya dan identitas mereka sendiri. "CU menjadi alat untuk mengubah dari lingkaran pemiskinan, keputusasaan, perasaan tidak berdaya, dan dari ketergantungan pada pihak luar yang berakibat pada penindasan dan terpinggirkan berabad-abad lamanya,"jelasnya.

Menurut John Bamba, selama dua dekade keberadaan gerakan CU di Kalimantan telah secara signifikan mengubah cara pandang masyarakat Dayak terhadap diri mereka sendiri. Dengan punya akses keuangan di CU, masyarakat adat telah menemukan solusi yang lebih baik untuk mengatasi kebutuhan cepat dan darurat. CU telah sangat menolong mengurangi penjualan tanah dan pengambilan sumber daya alam, seperti kayu, untuk mendapatkan uang tunai. Karena CU mengedepankan pendidikan yang berkelanjutan bagi anggotanya untuk memiliki manajemen keuangan yang baik, masyarakat tersebut dilindungi dari tindakan spekulasi dan konsumerisme.

Menurut buku "Manifesto Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih" (2009) CU-CU di luar Kalimantan yang difasilitasi BKCU Kalimantan dan GPPK adalah sebagai berikut.
1. CU Bintang Karantika Meratus di Batu Kampar, Kalimantan Selatan.
2. CU Sumber Rezeki di Ampah (Kalteng).
3. CU Remaung Kecubung di Pangkalan Bun (Kalteng).
4. CU Betang Asi di Palangkaraya (Kalteng).
5. CU Eka Pambelum Itah di Sampit (Kalteng).
6. CU Daya Lestari (Samarinda, Kaltim).
7. CU Petemai Urip di Mamak Tebok, Kab.Kutai Barat (Kaltim).
8. CU Citra Dayak, Kaltim.
9. CU Alang Jalung, Kaltim
10. CU Sempekat Ningkah Olo, Kutai Barat, Kaltim.
11. CU Femung Pebaya, Malinau, Kaltim.
12. CU Almendo, Papua.
13. CU Mambuin, Papua.
14. CU Sinar Papua Selatan.
15. CU Uma Mentawai, Sumatera Barat
16. CU Bererod Gratia, Jakarta
17. CU Prima Danarta, Surabaya
18. CU Cindelaras Tumangkar, Jogyakarta
19. CU Jembatan Kasih, Riau
20. CU Bahtera Sejahtera, Maumere NTT
21. CU Gerbang Kasih, Ende, NTT
22. CU Sinar Saron, Larantuka, NTT
23. CU Kasih Sejahtera, Atambua, NTT
24. CU Suan Sibarrung, Tana Toraja, Sulsel
25. CU Mekar Kasih, Makasar
26. CU Mototabian, Kota Kotamobagu, Sulut
27. CU Hati Amboina, Ambon
28. CU Mambuin, Manokwari, Irjabar
29. CU Almendo, Sorong, Papua Barat
30. CU Sinar Papua Selatan, Merauke, Papua
31. CU Ndar Sesepok, Agat, Papua

Menurut DR.Francis Wahono, pakar ekonomi sekaligus pegiat ekonomi kerakyatan, berkembang pesatnya gerakan CU di Kalimantan Barat khususnya dan Kalimantan umumnya tidak bisa dipisahkan dengan Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) dan Majalah KR. "Tanpa dua hal itu, terus terang saja, saya yang hidup di bagian Indonesia yang lain, selama 25 tahun terakhir ini, tidak pernah akan mengenal, apalagi mengapresiasi Kalbar,"aku Francis.

Memang majalah ini sejak tahun 1996 secara rutin menyediakan halaman khusus untuk informasi credit union. Dan secara khusus sejak tahun 2005 dijalin kerja sama dengan Badan Kordinasi Credit Union Kalimantan (BKCUK) sehingga KR menjadi media resmi tentang credit union. "Saya mengenal CU karena membaca KR di perpustakaan kampus,"ujar Andrea, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Pontianak.

Sedangkan GPPK melalui lembaga/unitnya secara proaktif menyebarluaskan credit union ke seluruh Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. CU menjadi pintu masuk aktivitas lembaga-lembaga di lingkungan Gerakan Pancur Kasih; terutama di masa rejim Orde Baru.

Lembaga anggota GPPK tersebar di Kalbar dan Kaltim, antara lain Yayayasan Karya Sosial Pancur Kasih (dan unit-unitnya), CU Pancur Kasih, BPR Panbank, Institut Dayakologi-Majalah KR, LBBT, Perkumpulan Nurani Perempuan-Kaltim, KPD, KSU Mitra Kasih, POR, AMAN Kalbar, Ruai TV, Radio Rama.

CU ala Kalimantan yang dikembangkan BKCU Kalimantan bukan lagi hanya sebuah gerakan keuangan tetapi sudah menjadi sebuah gerakan social. Yakni gerakan untuk memperbaiki nasib, harkat dan martabat manusia dengan pintu masuk ekonomi. "Saya optimis, jika 10 persen saja penduduk Indonesia yang menjadi anggota CU maka kondisinya jelas berbeda,"papar Mecer.

Tak tertandingi
Perkembangan gerakan CU ala Kalimantan ini tidak tertandingi ekonomi kerakyatan lainnya. Pertumbuhan asset, anggota dan dampak sosial, ekonomi, budaya gerakan ini untuk masyarakat sangat dirasakan. Sampai Desember 2009 asetnya Rp. 3.193.460.969.042-, dengan anggota 397.436 orang yang tersebar di 47 CU primer.

Harapan-Tantangan
Gerakan CU ala Kalimantan ini masih sangat dinantikan jutaan rakyat yang belum mengenal dan mendapat manfaat CU. Gubernur Kalbar Cornelis, MH dalam sambutannya ketika Pembukaan RAT CU Pancur Kasih (23/2/2010) mengharapkan agar CU tidak hanya difokuskan di daerah pedalaman, tetapi harus juga dikembangkan di daerah pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan.

"Pemerintah telah memberi keleluasaan, keistimewaan ke CU yakni tidak kena pajak. Karrena itulah saya harap agar secara internal para pengawas, pengurus dan manajemen adalah orang-orang yang jujur, profesional, menerapkan manajemen modern, tidak ada kepentingan keluarga, pribadi, apalagi kepentingan politik praktis," pintanya seraya menunjukkan buku anggota CU Pancur Kasih miliknya.

Harapan terhadap gerakan CU juga disampaikan Komisi PSE Konferensi Waligeraja Indonesia. Dalam Konferensi Nasional Komisi PSE-KWI tahun 2000, PSE KWI berharap agar CU di Indonesia tidak lupa dengan peran Gereja Katolik sebagai pihak yang pertama memperkenalkan gerakan CU di Indonesia. Sebaliknya Gereja Katolik juga tidak lupa harus terlibat aktif dalam pengembangan CU. Sebab jika CU gagal, maka bisa dikatakan kegagalan Gereja Katolik juga.

Menurut Drs. AR. Mecer, Ketua BKCU Kalimantan, gerakan CU ala Kalimantan ini ke depan akan terus dikembangkan ke luar Kalimantan, termasuk ke luar negeri. "Misalnya, di Asia (Vietnam, Kamboja, Filipina, Bangladesh, Sabah, dan Serawak), kita sudah studi banding ke sana. Jika mereka benar-benar tertarik dan mau mengembangkan konsep yang kita tawarkan, kita siap untuk memfasilitasinya," papar Mecer kepada Dominikus Uyub dan Maksi Hajaang dari KR di rumahnya.

[Edi v Petebang, dimuat dalam Majalah KR edisi 177, Mei 2010)

Komentar

Wilfirmus Uwil mengatakan…
Bagus...saya sebagai orang Daya yang tinggal di pesisir akan terus mengkampanyekan hebatnya CU bagi pemberdayaan masyarakat.
10% saja masyarakat Indonesia yangber-CU pasti langkah-langkah menuju Indonesia makmur bakal terjadi.

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany