"Bebaskan Andi-Japin. Polisi dan jaksa telah menculik Andi dan Japin. Ini pengadilan sesat, tidak adil dan melecehkan hukum adat kami. Kami tidak akan meninggalkan Pengadilan ini sebelum Andi-Japin dibebaskan"
Suasana ruang sidang utama di Pengadilan Negeri Ketapang yang semula tenang ketika sidang berlangsung, berubah jadi tegang setelah hakim mengetuk palu sidang ditutup. Sebanyak 150 orang perwakilan dari 11 kampung dari pedalaman mengenakan ikat kepala, berseru sambil mengepalkan tangan ke atas minta pembebasan Andi-Japin. Warga bertekad akan bermalam di PN Ketapang dan akan memanggil ribuan massa dari pedalaman untuk memberikan dukungan agar Andi-Japin dibebaskan.
"Saya tidak diberitahu tentang penahanan suami saya. Saat itu dia ke Ketapang memenuhi panggilan polisi. Sorenya dapat kabar dia ditahan. Ini tidak adil, suami saya diculik aparat penegak hukum,"tutur Lusiana, isteri Andi sambil menggendong putri pertama mereka, Infita Langkang Betunang (2) kepada KR di PN Ketapang.
Penjelasan dari pengadilan oleh hakim anggota, Bambang Edhi, tidak diterima massa. Belasan polisi berjaga dan menenangkan massa. Massa terlihat mulai beringas dan menumpahkan seluruh kekesalan mereka kepada polisi, jaksa dan hakim yang menurut mereka telah merampas hak-hak masyarakat adat, telah menindas rakyatnya sendiri atas nama hukum Negara. "Peradilan ini harus dihentikan. Ini penuh konspirasi antara PT BNM dengan polisi, jaksa dan hakim. Polisi tidak professional dan melecehkan hukum adat kami,"teriak massa.
Massa baru tenang setelah Majelis Hakim memberitahu akan melakukan negosiasi dengan Tim Pengacara tentang pembebasan Andi-Japin. Sidang perdana itu berlangsung pukul 11.00 sampai pukul 12.30 WIB berisi pembacaan dakwaan oleh jaksa Sunoto SH. Selesai dakwaan, Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA) yang terdiri dari Johnson Panjaitan SH, Sulistiyono SH, Martinus Yestri Pobas SH.MH dan Blasius Hendi Chandra SH langsung membacakan eksepsi/keberatan atas dakwaan jaksa. TPMA sendiri sejatinya terdiri dari 20 pengacara lokal dan nasional seperti dari Kontras, PIL-Net dan sebagainya tetapi pada sidang perdana belum semua bisa tampil karena persoalana administratif.
"Kami berniat mulia untuk membantu Pengadilan Negeri Ketapang ini agar tidak terseret dalam lingkaran mafia pengadilan. Kami mencium aroma bau busuk kolusi antara perusahaan, polisi dan kejaksaan yang memaksakan kasus ini,"ujar Johnson Panjaitan kepada KR di sela-sela negosiasi penangguhana penahanan.
Negosiasi penangguhan penahanan berlangsung tertutup. Sekitar satu jam berunding, akhirnya surat penangguhan dari pengadilan dikeluarkan. Bersama 30-an polisi yang memang sejak awal mengawal sidang ini, massa termasuk istri Andi-Japin dan pengacara berjalan kaki menuju Rumah Tahanan/LP Kelas IIB Ketapang sekitar 600 meter. Sekitar dua jam menunggu akhirnya kedua terdakwa pun keluar. Keduanya disambut haru oleh istri dan keluarganya serta massa. Andi-Japin digotong dan dielukan massa. "Terima kasih atas dukungan semua pihak. Perjuangan menegakkan hak-hak masyarakat adat belum selesai. Kebenaran pasti menang,"ujar Andi yang matanya merah berkaca-kaca karena haru.
"Surat penangguhan kita keluarkan sesuai prosedur. Seseorang ditangguhkan karena berbagai sebab. Salah satunya tidak akan melarikan diri. Ini ada jaminan dari pengacara maupun masyarakat," terangnya Bambang Edhy, hakim anggota dan juga Humas PN Ketapang kepada KR.
Dugaan rekayasa dan kriminalisasi
Sidang mulai pukul 11.00 WIB. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sunoto SH membacakan dakwaan. Kemudian tim pengacara menyampaikan eksepsi. TPMA memaparkan, proses hukum adat antara masyarakat Silat Hulu dengan PT BNM telah ditempuh. Masalah tersebut telah dinyatakan selesai. "Polisi telah merusak apa yang sudah diselesaikan. Ini bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat dengan hukum adatnya,"demikian di antara butir eksepsi yang dibacakan TPMA.
Sunoto SH tampak terkejut mendengar eksepsi dan akan mempelajari keberatan TPMA. Ia mengakui, tidak tahu jika masalah tersebut pernah diselesaikan secara adat. "Secara pribadi saya menghormati dan mengakui keberadaan hukum adat. Namun secara institusi saya tidak bisa berkomentar. Hukum adat ini fakta baru dalam persidangan ini karena dalam BAP polisi dijelaskan bahwa kasus ini sudah diselesaikan secara hukum adat. Silahkan dibuktikan selanjutnya di persidangan,"jelas Sunoto kepada KR sesuai sidang di PN Ketapang.
Bambang Edhy Supriyanto, hakim anggota persidangan Japin-Andi mengatakan bahwa institusi kehakiman mengakui keberadaan hukum adat. "Jika suatu kasus telah diselesaikan secara hukum adat seharusnya sudah selesai. Dan jika sampai ke persidangan, maka hukum adat itu menjadi bahan pertimbangan penting bagi hakim,"jelasnya kepada KR.
Baik Bambang maupun Sunoto menolak berkomentar ketika ditanya apakah ada rekayasa dalam kasus ini. "No comment," ujar Sunoto dan Bambang kompak.
Upaya rekayasa pidana atau kriminalisasi kini marak terjadi di Indonesia. Persoalan ini mendapat kritikan tajam dari banyak pihak. "Rekayasa pidana adalah kejahatan. Sayangnya, rekayasa pidana ini pertanggungjawabannya paling banter dilakukan internal dan tertutup,"ujar Novel Ali, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) seperti dikutip Kompas (8/3). Seharusnya ditindak aparat yang merekayasa kasus. Agar ada efek jera, Neta S.Pane, mantan direktur Police Watch meminta aparat yang melakukan rekayasa kasus harus dipecat.
Menurut Novel, praktek rekayasa kasus yang dilakukan polisi dan aparat penegak hukum lainnya pada umumnya bermotif materi. Motivasi itu diwujudkan dengan praktek tidak professional dan berlindung dibalik kewenangannya melakukan diskresi. Yaitu kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar aturan/hukum.
Menurut Novel, tanpa memberantas habis praktek rekayasan di kepolisian, citra polisi yang sudah babak belur akan sulit pulih.
Kepala Polri Jend.Bambang Hendarso Danuri menaruh perhatian serius terhadap maraknya rekayasa kasus oleh oknum reserse di kepolisian. Karena itulah dalam waktu dekat Polri akan mengumpulkan 5.000 kepala unit (Kanit) serse di tingkat Polsek, 500 kepala satuan reserse di tingkat Polres dan 31 direktur reserse di tingkat Polda di seluruh Indonesia untuk menghentikan atau setidaknya meminimalisir praktek rekayasa kasus atau kriminalisasi kasus oleh polisi. "Oknum polisi yang merekayasa kasus atau mengkriminalisasi kasus akan ditindak tegas,"ujar Bambang.
Kuatnya hukum adat
Menurut R. Soepomo, ahli hukum adat, hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi/ tidak tertulis.
Hukum adat adalah cita-cita hukum (rechts idee) dari pembentukan dan pembangunan sistem hukum Indonesia sehingga hukum adat memiliki kedudukan yang kuat dan sentral dalam Tata Hukum Indonesia karena berfungsi sebagai landasan serta sebagai sumber norma dalam pembentukan dan pengembanan segala hukum positif di Indonesia. Menurut Soepomo, hukum adat dimaknai sebagai asas, sehingga mempunyai nilai universal dan dapat berlaku secara nasional. Hukum adat adalah bahan dasar dari hukum nasional.
Secara lebih tegas pengakuan tentang eksisitensi hukum adat sebagai salah satu sumber hukum nasional adalah diatur dalam Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pasal 25 ayat 1 , yang berbunyi: "Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Selanjutnya dalam Pasal 28 UU 24/2004 dijelaskan bahwa: (1). Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2). Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Publik sangat berharap majelis hakim menjatuhkan vonis seadil-adilnya atas kasus ini agar prahara yang menimpa masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Dayak, yang sedang dipentaskan aparat penegak hukum di PN Ketapang tidak membawa kehancuran bagi sistem hukum kita.
Kebenaran dan keadilan itu akhirnya masih berpihak pada orang kecil. Dalam sidang kedua tanggal 18 Maret 2010 yang mendengarkan duplik dari Jaksa, Majelis Hakim menyatakan gugatan jaksa batal demi hukum dan memvonis bebas Andi-Japin serta membebankan biaya perkara kepada Negara. Jaksa menyatakan pikir-pikir atas putusan ini. Jaksa bisa mengajukan banding atau memperbaiki gugatan. "Kami menerima putusan Hakim. Kami bersyukur Majelis Hakim cermat dalam memvonis kasus yang sejak awal tidak layak dimajukan ke persidangan,"jelas Yestri Pobas kepada KR sesaat setelah sidang selesai.
Publik memantau kasus ini dan memberikan dukungan. Dukungan mengalir untuk Andi-Japin, baik secara langsung maupun tidak. Dukungan langsung berupa kunjungan ke LP dan persidangan. Dukungan tidak langsung dalam bentuk surat protes dan di jejaring sosial. Di Facebook selama tiga minggu ada 500 orang mendukung dan bersimpati dengan Andi Japin. Dukungan terus mengalir. Seseorang yang bernama Kimul Pangkoras menulis: "kami tidak ada kepentingan apa pun, manusiawi jika kita peduli pada Andi-Japin yang peduli terhadap harkat dan mertabat orang kita. Mari kita bersama satukan pikiran utuk melawan rezim ini".
"Lawan PT. Sinar Mas dan anak perusahaannya, mereka perampas tanah adat dan perusak alam", tulis Salassaga. Raja Goda berkata "inilah ironi di negeri tirani penguasa=pengusaha, pejabat= penjahat. Persoalan ini harus di selesaikan di tingkat global, persoalan nya di negara kita banyak penghianat bangsa yang mengaku sebagai lembaga adat Dayak yang bertopeng adat. Ganggu pasarnya, boikot bank nya, ratakan lahan nya, itu baru perjuangan".
Odi Chandra dari Kaltim berkata "teruskan perjuangan kalian..,Dayak Tonyooi Kaltim selalu mendukung. Kita sama-sama perjuangkan hak kita". Noval Lother mengancam mau berpisah dari NKRI jika diskriminasi terhadap masyarakat adat Dayak terus berlanjut.
Kasus ini menjadi pertaruhan kredibilitas polisi, jaksa dan hakim di Kabupaten Ketapang. Apalagi kasus ini sudah dilaporkan ke sejumlah pihak di tingkat nasional dan internasional.*
Edi v Petebang
Komentar