Langsung ke konten utama

Negara Digunakan Spekulan Menjajah Rakyatnya

"Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik….Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu-yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi kuli dan orang buangan di pulau Borneo ini”. [Charles Brooke, The White Rajah of Sarawak, 1915].

Kutipan pernyataan Charles Brooke 95 tahun silam itu dengan lantang dibacakan Johnson Panjaitan, SH, Ketua Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA) didampingi Sulistiyono SH, Martinus Yestri Pobas SH.MH, dan Hendi Chandra SH. Seisi ruang sidang utama Pengadilan Negeri Ketapang  sunyi senyap meski dihadiri tidak kurang 180 orang. Seluruh pengunjung sidang dengan seksama menyimak eksepsi yang dibacakan TPMA secara bergantian. Hakim dan jaksa tidak menyangka TPMA langsung menyampaikan eksepsi atas dakwaan jaksa saat sidang perdana itu.

Kejaksaan Negeri Ketapang yang diwakili Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sunoto, SH mendakwa Japin (39) dan Vitalis Andi (30) primair Pasal 21 Jo Pasal 47 Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasal 21 berbunyi: "setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan / atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan tergaggunya usaha perkebunan.

Pasal 47 berbunyi: setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan / atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

Dakwaan subsidair Pasal 368 KUHP berbunyi:”Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali  atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun.”

Menurut TPMA, kata-kata yang pernah disampaikan oleh Charles Bruoke sekitar 95 tahun yang lalu telah menjadi kenyataan, karena Japin dan Andi dihadapkan pada persidangan ini adalah karena masyarakat adat yang telah hidup turun temurun di atas tanahnya sendiri telah dijadikan Terdakwa oleh para Spekulan (Sinar Mas) karena ingin menguasai tanah dan kekayaan alamnya dengan melawan hak adat yang telah turun temurun ada bahkan sebelum bangsa Indonesia ada telah ada yang namanya masyarakat adat. Melalui penggalan kata dalam pendahuluan ini kami mengawali eksepsi/keberatan kami atas dakwaan JPU yang seharusnya bertindak atas nama negara untuk melindungi kepentingan warga negaranya, namun dalam kesempatan ini alat negara dipergunakan oleh para spekulan untuk menjajah secara ekonomi, politik dan hukum atas warga negaranya.

Kasus ini menurut TPMA berawal dari konflik tapal batas masyarakat adat Silat Hulu dengan masyarakat adat Bayam Sungai Lalang yang dirampas PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM), grup PT Sinas Mas. BNM telah melakukan pelanggaran berupa penggusuran dan pengrusakan wilayah adat Silat Hulu seluas 350 Ha sejak April 2008 lalu. Masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan penggusuran lebih lanjut tetapi hasilnya tetap nihil. Pelanggaran adat yang dilakukan PT. BNM adalah adat merusah belalai belayu, sumpah serapah pajuh bilai, langkah batang jajak tunggul kepada demung tua, merurut muka menampar atik pelecehan damung tua, dara diumbungan kampung buah kabun pasah, menungkal menjuaran membuta mengicingan mata membaji menyakit di lakau humaq, kantung membaliki apiq atau tunggul begarak batang bekalih. Total sanksi/hukum adat adalah 15 tajau, 4 keping piring porselen, 4 keping mangkuk porselen. 

Atas pelanggaran dan sanksi adat  tersebut sudah beragam cara damai dilakukan, termasuk minta bantuan kecamatan tetapi PT BNM tidak bergeming. Karena itu pada 28 September 2009 warga melalui Japin melapor ke Polsek Marau, dan tanggal 29 September 2009 sekitar 70 orang warga Silat Hulu mengamankan barang bukti penggusuran berupa 2 unit bouldozer dan 1 unit dorulit.

Masyarakat meminta perusahaan menghentikan penggusuran, memenuhi hukum adat dan membayar ganti rugi tanam tumbuhan yang digusur. Tapi perusahaan menolak. Warga tidak diam. Mereka mengadu ke Komnas HAM Kalbar, Polda Kalbar dan Kapolres Ketapang. Barang bukti berupa kunci buldozer diserahkan tetapi 2 unit bulldozer baru akan diserahkan jika sudah dilaksanakan ritual adat “tuak tumpah manuk mati” dan pemenuhan hukum adat 15 tajau  untuk wilayah adat yang tergusur dan 6 tajau untuk penggusuran kuburan. Pihak BNM tanggal 19 November 2009 memenuhi hukum adat 21 buah tajau dan perlengkapan adat lainnya. Alat berat pun diserahkan ke kepolisian.

Pada 22 February 2010 Japin-Andi menghadap penyidikan di Polres Ketapang dan sorenya ke Kejaksaan. Secara tiba-tiba, kejaksaan menahan Japin-Andi.

Proses pemeriksaan polisi sampai penahanan Japin-Andi menurut masyarakat adat adalah pelanggaran kesepakatan adat. PT BNM sudah membayar adat maka kasus ini dianggap sudah selesai. Karena PT BNM mengungkit lagi kasus ini maka harus dihukum adat dua kali lipat.

Alasan keberatan
Mengutip pasal 156 dan Pasal 143 ayat (3) KUHAP dan pendapat ahli hukum Yahya Harahap, TPMA mengajukan eksepsi/keberatan atas kasus ini. Pertama, ada perselisihan hukum dan kedua, pelanggaran proses pemeriksaan pendahuluan.

Pasal 81 KUHP menyatakan "Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara karena ada perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dahulu oleh suatu mahkamah lain, mempertangguhkan gugurnya penuntutan untuk sementara".
           
Kasus ini sudah diselesikan secara adat dengan fasilitasi polisi. Pertanyaannya, mengapa polisi selaku penyidik yang telah menyelesaikan secara adat membawa kasus ini ke peradilan pidana? Polres Ketapang justru menghancurkan jasa baiknya dengan membawa kasus ini ke pidana. Disinilah terjadi perselisian prejudicial sebagaimana diatur dalam pasal 81 KUHP yang harus diputuskan oleh Majelis Hakim.

Adapun pelanggaran proses pemeriksaan pendahuluan ada lima hal. Pertama, rekayasa laporan polisi. Laporan kasus oleh Ivong Effendi tanggal 9 September 2009 untuk kejadian yang terjadi pada hari Selasa tanggal 29 September 2009. Ini jelas rekayasa karena laporan dibuat sebelum peristiwa. kedua, BAP Ivong Effendi yang keliru dan rekayasa tidak sah menurut hukum karena mengandung cacat formil dan materil. Ketiga, barang bukti tidak dihadirkan dalam pelimpahan berkas. Ini memperlihatkan kekeliruan dan dakwaan JPU tidak sah dan dapat dinyatakan tidak dapat diterima. Keempat, manipulasi alat bukti berupa pengadaan barang bukti dua buah unit buldozer tidak sah dan melanggar KUHAP.

Kelima, rekayasa penciptaan  para tersangka. Dalam surat panggilan polisi masyarakat adat Silat Hulu yang dijadikan Tersangka enam orang. Namun dalam berkas hasil penyidikan yang dijadikan Tersangka hanya 2 dua orang dan 4 orang dijadikan sebagai saksi. Dalam dakwaan JPU 2 orang Terdakwa bersama masyarakat berjumlah 30 orang tidak termasuk 4 orang dari 6 orang yang sejak awal dipanggil sebagai Tersangka dalam kasus ini. Ini menunjukkan kasus ini merupakan pesanan, rekayasa dan konspirasi antara PT. Bangun Nusa Mandiri, Polres ketapang dan Kejaksaan Negeri Ketapang.  Kalau pengadilan tidak teliti, jujur dan impartial maka pengadilan akan terjebak pada praktek peradilan sesat hasil rekayasa mafia hukum.

Keberatan TPMA
Menurut TPMA ada dua keberatan terhadap dakwaan JPU. Pertama, surat dakwaan tidak memenuhi syarat formil. Kedua, surat dakwaan tidak memenuhi syarat materil sesuai pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

Kasus ini sudah diselesaikan menurut hukum adat. Dan hukum adat, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat diakui keberadaannya di Indonesia. Pasal 18 B, Pasal 28 I (3) jelas mengakui masyarakat adat. “Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU” (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945).

Kasus masyarakat adat Silat Hulu dan PT. BNM adalah ruang lingkup hukum adat dan atau hukum perdata. Jadi kasus ini tidak bisa diadili secara pidana.

Surat Dakwaan Tidak Memenuhi Syarat Materil karena tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap (obscuur Libel) sehingga berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, dakwan Jaksa Penuntut Umum harus dibatalkan.

Penahanan alat berat dilakukan oleh seluruh masyarakat adat kampung Silat Hulu. Jadi terdakwa seharusnya seluruh warga, bukan hanya Japin dan Vitalis Andi. Dakwaan tidak jelas karena tidak diuraikan peran terdakwa dalam penahanan alat berat; peran 30 orang masyarakat kapan dan  bagaiman menyerahkan  kunci tidak dijelaskan, tidak jelas siapa yang mengemudikan alat berat menuju kampung Silat Hulu.

Setelah mempelajari Surat Dakwaan dengan cermat dan seksama, ketentuan KUHAP pasal 156 ayat (1) serta pendapat para ahli, TPMA berkeyakinan bahwa Surat Dakwaan dalam perkara ini harus dinyatakan sebagai dakwaan yang tidak dapat diterima, karena dakwaan Penuntut Umum tidak tepat baik mengenai dasar hukumnya, maupun sasaran dakwaannya, karena apa yang didakwakan kepadanya  sama sekali bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, karena dalam perbuatan Terdakwa sama sekali tidak ada unsur melawan hukumnya. Dan tidak kalah pentingnya, yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tetapi masalah Perdata. Bahkan surat dakwaan JPU tidak jelas dan kurang cermat tentang perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa bahkan sifatnya kasuistis dan samar-samar ataupun mencoba dengan alternatif tuduhan yang interprestasinya tidak pasti. 

Menurut TPMA dakwaan JPU tidak disusun secara cermat, jelas dan lengkap. Surat dakwaan kabur atau obscurd libel karena lima alasan.

Pertama, surat dakwaan tidak bisa merangkaikan dengan benar mengenai kaitan peristiwa dengan pasal yang didakwakan. Kedua, masih belum jelas apa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para Terdakwa dengan pasal yang didakwakan. Ketiga, status lahan  itu penting diuraikan karena ini menjadi dasar mengenai apakah buldozer itu memiliki hak untuk melakukan penggusuran atau tidak. Yang ini juga tidak dijelaskan di dalam surat dakwaan jaksa. Sehingga berdasarkan semua tersebut di atas, dakwaan adalah batal demi hukum. Faktanya bahwa keadaan lahan yang menjadi locus delicti adalah lahan yang  baru di-land clearing dan belum berupa perkebunan karena baru pembebasan lahan dan baru mendapat izin lokasi pembangunan kelapa sawit tertanggal 6 Pebruari 2009.

Keempat, peristiwa penggusuran telah dilakukan oleh PT. BNM dengan cara berulang kali melakukan penggusuran lahan diatas wilayah milik Adat Dusun Silat Hulu Desa Bantan Sari, Kecamatan Marau yaitu pada tanggal 10 April 2008, 7 Mei 2008, 8 Juli 2008, Agustus 2009, September 2009 dengan total areal yang digusur 350 hektar. Lahan yang digusur adalah areal perladangan, kebun karet dan buah-buahan dan pekuburan.  PT BNM mendapat ijin untuk perkebunan sawit di wilayah Desa Priangan, Dusun Riam dan Desa Biku Sarana (Kecamatan Jelai Hulu). Wilayah Silat Hulu, Kec.Marau tidak termasuk areal PT BNM.

Sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.2/1999 tentang izin lokasi Bab V hak dan kewajiban pemegang izin lokasi pasal 8 dikatakan: “(1) pemegang izin lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam areal izin lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai ketentuan yang berlaku

Ayat 2: sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang izin lokasi sesuai ketentuan pada ayat (1), maka semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui, termasuk kewenangan yang menurut hukum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertifikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain.  

Ayat 3: pemegang tanah yang bersangkutan dibebaskan dari pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menutup atau mengurangi aksebilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi, dan menjaga serta melindungi kepentingan umum.”.

          
Kelima, batas antar Kecamatan Marau dan Kecamatan Jelai Hulu telah disepakati dan dibuat pada bulan Oktober 2008 dengan patok kayu belian/ulin bercat putih dan terhadap patok batas tersebut PT.BNM telah melakukan pengrusakan dan penggusuran pada tanggal 8 Juli 2009. Selanjutnya  diperkuat keputusan tertanggal 22 Desember 2009 antar Kepala Desa dan antar Camat Jelai Hulu dan camat Marau.

Atas fakta-fakta hukum yang telah diuraikan, TPMA meminta Majelis Hakim yang diketuai Besman Simarmata, SH (ketua PN Ketapang) dan hakim anggota Bambang Edhy Supriyanto SH.MH dan M.Syafrudin SH agar membuat putusan sela. Pertama, menerima eksepsi/keberatan TPMA. Kedua, menyatakan surat dakwaan jaksa batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan tidak memenuhi persyaratan formil dan syarat materil. Ketiga, membebankan biaya perkara kepada Negara.

JPU Sunoto menyatakan akan mempelajari keberatan TPMA. Tentang hukum adat, menurut Sunoto secara pribadi ia menghormati dan mengakui keberadaan hukum adat. Namun secara instituai Kejaksaan ia tidak bisa berkomentar. "Hukum adat ini fakta baru dalam persidangan ini karena dalam BAP polisi dijelaskan bahwa kasus ini sudah diselesaikan secara hukum adat,"jelas Sunoto kepada KR sesuai sidang perdana Japin-Andi (9/3) di PN Ketapang.

Sedangkan Bambang Edhy Supriyanto SH, Humas PN Ketapang yang juga hakim anggota persidangan Japin-Andi mengatakan bahwa Hakim mengakui keberadaan hukum adat. "Jika suatu kasus telah diselesaikan secara hukum adat seharusnya sudah selesai. Dan jika sampai ke persidangan, maka hukum adat itu menjadi bahan pertimbangan penting bagi hakim,"jelasnya kepada KR.

Meski Japin-Andi dikeluarkan dari tahanan dengan jaminan 650 orang, namun sidang terus berlanjut. Mari sama-sama kita kawal kasus ini agar tidak menjadi pelecehan dan penghinaan bagi masyarakat adat dan hukum adat Dayak.n

[Edi v Petebang. Disarikan dari Eksepsi Tim Pembela Masyarakat Adat/TPMA. Artikel ini dimuat dalam Majalah KR Edisi 176, April 2010]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei...

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami ru...

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K...