Langsung ke konten utama

MENGEMBALIKAN KEDAULATAN MASYARAKAT ADAT

Sungguh berbahaya! Ternyata berdasarkan penelitian Tim Universitas Gadjah (2009) 80 persen tanah di Kalteng sudah dikuasai oleh pihak asing dan dibawah kontrol investor. Artinya, hanya 20 persen yang tersisa. Dari 20 persen itulah sebagian tanah masyarakat adat. Karena itulah, Gubernur Teras Narang membuat program sertifikasi gratis untuk masyarakat Dayak di sana seluas dua hektar. Kita tidak tahu apakah hal serupa terjadi juga di Kalbar dan daerah lain di Indonesia.

Perampasan terhadap tanah-tanah adat milik masyarakat adat seperti yang terjadi di Kalteng adalah salah satu akibat sangat lemahnya posisi masyarakat adat di Indonesia. Negara ini memang agak kacau; secara hukum formal masyarakat adat diakui, tetapi praktek di lapangan tidaklah demikian. Tiap hari tanah adat dan hak-hak masyarakat adat diambil alih begitu saja oleh perusahaan, pemerintah dan pihak luar masyarakat adat.

Padahal pada level internasional, sudah sangat jelas posisi hukum masyarakat adat. PBB dengan tegas mengakui eksistensi masyarakat adat dengan beragam haknya. Ini bisa terlihat dengan diterbitkannya Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) Nomor 169 tentang bangsa pribumi dan masyarakat adat di negara merdeka oleh PBB tahun 1989. Pasal 14 Konvensi ILO menyatakan "Hak pemilikan dan penguasaan bangsa pribumi dan masyarakat adat terhadap tanah yang secara tradisional mereka huni dan manfaatkan harus diakui…dst".
 
PBB menetapkan tahun 1995-2004 dan 2005-2014 sebagai "Dasa warsa Masyarakat Adat Dunia" agar dunia memberikan perhatian yang serius pada isu-isu masyarakat adat. Di PBB juga terdapat Forum Permanen untuk masyarakat adat. Forum ini di bawah Dewan Sosial Ekonomi PBB. Terakhir (2009) PBB mengeluarkan " Deklarasi Umum Hak-Hak Masyarakat Adat" (DUMA). DUMA secara internasional diakui Negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Sayangnya DUMA tidak mengikat secara hukum dan politik, tapi mengikat secara moral.

DUMA ini dibuat karena dua alasan pokok. Pertama, masyarakat adat paling rentan, paling terkena langsung dampak eksploitasi pembangunan. Kedua, timbul kesadaran bahwa MA benteng pertahanan terakhir dalam penyelamatan bumi ini..z.Forum Permanen;

Kamuflase
Di Indonesia sesungguhnya ada cukup banyak produk hukum yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Soal utamnya adalah, dari semua aturan hukum tersebut mengaku masyarakat adat tetapi bersyarat. Ada empat syarat yang dikemukakan, yakni pertama, sepanjang kenyataannya masih ada. Kedua, selaras dengan perkembangan masyarakat, jaman dan peradaban. Ketiga, sejalan dengan Negara Kesatuan RI. Keempat, diatur dengan undang-undang.

Keempat syarat ini sesungguhnya hanyalah kamuflase Negara karena Negara mempunyai kepentingan. Kepentingan Negara adalah ingin menguasai sumber daya alam yang ada di wilayah kekuasaan masyarakat adat. Dengan lemahnya posisi hukum masyarakat adat maka pihak luar lebih leluasa mengambil hak-hak masyarakat adat.

"Kehidupan masyarakat adat mengalami penderitaan-penderitaan yang serius. Penderitaan itu pada pokoknya bersumber dari tidak diakuinya kedaulatan masyarakat adat oleh pemerintah dalam berbagai praktek-praktek penyelenggaraannya,"papar Abdon Nababan, Sekjen AMAN dalam sebuah seminar di Pontianak.

Dari penelusuran KR, setidaknya ada 10 produk hukum yang mengakui masyarakat adat di Indonesia--tidak termasuk Tap MPR--sebagai berikut.

Pertama, UUD 1945 hasil Amandemen. Pasal 18 B ayat 2 dikatakan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang". Pasal 281 ayat (3) dikatakan "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban".

UUD 1945 adalah konstitusi atau dasar hukum atau hukum utama. Karena itu, maka sudah seharusnya jika masyarakat adat diakui eksistensinya dalam negara Indonesia, maka seluruh produk hukum di Indonesia harus mengakui dan menghormati masyarakat adat.
 
Kedua, UU No.39/1999 tentang HAM. Pasal 6 ayat (1) dikatakan "Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah". Pasal 6 ayat (2) berbunyi "Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman".

Ketiga, UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 51 ayat (1) huruf b berbunyi "masyarakat hukum adat dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara konstitusional".

Keempat, UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Pasal 67 ayat (1) berbunyi "Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak (1). melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan (2). Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan (3). Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Ayat 2 "Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat, sebagai mana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Daerah".

Kelima, UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 33 ayat (3) huruf a "Kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada (a) tempat pemakaman,tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat".

Keenam, UU No.27/2003 tentang Panas Bumi. Pasal 16 ayat (3) huruf a berbunyi: "Kegiatan usaha pertambangan panas bumi tidak dapat dilaksanakan pada : (a) tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat".

Ketujuh, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Sesuai pasal 14 ayat (1) huruf k dan pasal 200 ayat (2), warga/para pemuka masyarakat adat dapat memperjuangkan legalitas eksistensi masyarakat hukum adat serta hak atas tanah ulayatnya dengan peraturan daerah tingkat kota/kabupaten.
 
Kedelapan, UU No.11/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya. Kesembilan, UU No.12/2005 tentang Pengsahan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Terakhir (10) adalah UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut pasal 7 jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (1). UUD 1945 (2). UU/Perpu (3). PP (4).Perda.

Perda (lihat ayat 1 huruf e) meliputi Perda Provinsi, Perda Kabupaten/kota dan Perdes. Menurut amanat undang-undang diatas berarti bagi komunitas masyarakat adat, terbuka peluang membuat Peraturan Desa yang mengatur tentang hukum adat, wilayah adat, adat istiadat dan budaya di desa nya masing masing. Peluang ini harus dimanfaatkan oleh masyarakat adat.

Pada level di bawah UU ada Permenag/Kepala BPN No.5/1999 tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat.

Ada sejumlah daerah yang membuat Perda tentang masyarakat adat. Contoh, Perda Kabupaten Lebak, Provinsi Banten No.13/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Adat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak. Perda No.65/2001 Seri C tentang Perlindungan Atas Hak Masyarakat Baduy. Di Kalimantan, Provinsi Kalteng dibawah Gubernur Teras Narang, seorang Dayak, telah mengeluarkan Perda Kalteng No.16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak. Pergub Kalteng No.13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah.

Terobosan
Sejumlah terobosan pun dilakukan pihak-pihak yang selama ini konsen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Seknas Masyarakat Hukum Adat tengah memperjuangkan lahirnya UU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (lihat Draft RUU di KR edisi ini). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) misalnya, akhir 2009 membuat kesepakatan dengan Komnas HAM RI. Tujuannya untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa masyarakat adat.

Nota kesepahaman dibuat untuk mengarus-utamakan pendekatan berbasis hak asasi manusia masyarakat adat di indonesia. Kedua lembaga sepakat merumus beberapa poin dari kesepahaman tersebut, diantara poin-poin yang menjadi rumusan ialah:
1. Mensosialisasikan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples);
2. Menyelenggarakan pertukaran informasi secara teratur/berkala;
3. Melakukan kajian tentang keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak asasinya di Indonesia;
4. Mengembangkan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia Masyarakat Adat;
5. Mendorong ratifikasi Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
 
Tindak lanjut  dari nota kesepahaman ini AMAN dan Komnas HAM akan menindaklanjuti kasus-kasus yang dialami oleh masyarakat adat di Indonesia. "Kita sering mendapatkan laporan kasus, dengan nota kesepahaman ini, nanti AMAN akan bekerjasama dengan Komnas terkait kasus masyarakat Adat,"ujar Rainny Situmorang, pegiat AMAN.

Peluang Perdes
Sesungguhnya ada satu celah hukum yang bisa digunakan untuk memperkuat hak-hak masyarakat adat secara hukum formal. Yakni melalui peraturan desa (Perdes). Sebab sesuai
UU No.10/2004 tentang Tata Urutan Perundangan di Indonesia, Perdes mempunyai posisi hukum yang kuat.

Peluang tersebut makin kentara dengan keluarnya PP No 72 tahun 2005 tentang Desa yang secara tegas memberikan dasar hukum bagi perangkat desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk membuat peraturan desa.

Kendati diembel-embeli dengan beberapa persyaratan antara lain Perdes tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya, dan harus dicatatkan dalam berita daerah kabupaten yang bersangkutan, peluang ini layak untuk dipakai oleh masyarakat adat sebagai alat memperkuat hak-haknya.
 
Masyarakat adat harus terus memperjuangkan haknya agar bisa menjadi tuan di tanah tumpah darah sendiri. Pemda dan organisasi pendamping masyarakat seharusnya lebih proaktif mendampingi masyarakat, misalnya dalam pembuatan Perdes [Edi v Petebang]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei...

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami ru...

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K...