/meta>
Menurut Leo, jika pendidikan nilai berjalan baik di Indonesia, maka akan memberikan sumbangan terbesar terhadap perbaikan aneka masalah social, budaya, politik, ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. "Ini kan tidak. Pendidikan di Indonesia diarahkan untuk hanya menjadi alat iindustri, tenaga kerja; bukan lagi memanusiakan manusia,"paparnya. Ia berharap para guru, terlebih peserta pendidikan ini, bisa menerapkan pendidikan nilai dalam proses belajar mengajar sehari-hari di sekolah masing-masing.
Suatu hari seorang siswa di sebuah SD di Pontianak diminta ayahnya mencatat berapa kali kata "jangan" digunakan oleh guru selama di sekolah. Ternyata selama belajar pukul 07.00-12.00 gurunya mengatakan lebih dari 30 kali kata jangan. Setelah ditambah kata jangan dari teman, orang tua dan kakek-neneknya, total selama seharian sang siswa mendapat hampir 100 kali kata "jangan".
Pernah juga suatu kali, seorang guru marah-marah kepada muridnya yang menanyakan kenapa sang guru ingkar janji tidak mengembalikan pekerjaan rumah siswanya padahal ia sudah berjanji.
Ilustrasi diatas disampaikan Dr.Leo Sutrisno, akademisi dari Universitas Tanjungpura ketika menjadi salah seorang narasumber dalam pendidikan perdamaian yang dilaksanakan Aliansi untuk Perdamaian dan Transformasi (ANPRI) yang diorganisis oleh PEK-Pancur Kasih. Menurut Leo, itulah dua contoh pendidikan nilai yang salah. Pendidikan nilai adalah bagian terpenting dari pendidikan damai. "Dalam contoh kasus diatas, sudah seharusnya sang guru mengakui kesalahan, meminta maaf, berjanji ulang dan menepati janjinya,"papar Leo.

Narasumber kedua adalah XF.Asali, salah seorang tetua Tionghoa Kalbar. Kepada Asali banyak hal ditanyakan peserta berkenaan dengan budaya, tradisi dan kebiasaan masyarakat Tionghoa. Ternyata banyak hal yang salah dipersepsi masyarakat, termasuk di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri, tentang aneka budaya, tradisi masyarakat Tionghoa. "Misalnya, membunyikan mercon itu tidak harus semalam suntuk, tapi cukup beberapa buah mercon saja dinyalakan sebagai adat wajib,"jelas penulis buku "Aneka Budaya Tionghoa Kalbar" ini.
Pendidikan perdamaian yang dilaksanakan tanggal 29-31 Januari 2010 tersebut diikuti 32 orang guru dari 20 sekolah menengah pertama (SMP) negeri dan swasta serta Madrasah Tsnawiyah (MTs). Dari Kota Pontianak ada 9, yakni SMP St.Fransiskus Asisi, SMP Islam Al-Asyi’Ariyah, MTs.Al-Anwar, MTs. Al-Iklhas, SMP Islam Haruniyah, SMP Islam As'Asyariah, SMPN Terpadu 21, SMP Pertiwi, SMP Bhayangkara, SMP Abdi Agape. Dari Kabupaten Pontianak SMP St.Fransiskus Asisi Sungai Pinyuh dan MTs Nurul Alamiah, Wajok. Dari Kabupaten Landak ada 5 SMP, yakni SMPN 2 Menjalin, SMP St.Benediktus Pahauman, SMP Kandayan, SMPN 5 Pahauman, dan SMP Don Bosko Menjalin. Dari Kabupaten Kubu Raya adalah SMP Kemala Bayangkari, Sungai Raya dan MTs Nahdatul Atfal Sungai Ambawang. Dari Kabupaten Sambas adalah SMP 9 Tebas dan MTs Gerpemi, Tebas. Pendidikan perdamaian ANPRI yang kesebelas tersebut difasilitasi Edi V.Petebang, pekerja perdamaian yang juga wartawan KR.
Sejak tahun 2007 ANPRI sudah melaksanakan 11 kali pendidikan perdamaian dengan total peserta 300 orang. Mereka terdiri dari siswa SMA, guru SMP, anggota/aktivis credit union, tokoh organisasi kemasyarakat, tokoh masyarakat/agama dan masyarakat umumnya. Pendidikan perdamaian merupakan salah satu upaya yang dilakukan ANPRI untuk menciptakan budaya damai, memelihara dan mengisi perdamaian di Kalbar serta membuat semakin banyak orang agar bisa menerima, menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.
Sesuai dengan temanya, pendidikan ini selalu mengedepankan perdamaian, dan keberagaman dalam kebersamaan. Misal, ketika di awal acara dibuka dengan doa secara Kristen (Katolik dan Protestan), maka di akhir acara ditutup dengan doa agama Islam. Begitu juga sebaliknya. Suasana pendidikannya pun didesain seakrab mungkin. Selain itu, peserta diberikan ruang kebebasan untuk mendiskusikan tentang potensi damai dan potensi konflik yang ada dalam masyarakat Kalbar, tentang pelanggaran hak azasi manusia (HAM), penilaian secara positif dan negatif terhadap etnis yang ada di Kalbar, serta rencana tindak lanjut setelah pulang dari kegiatan ini.
Acara diisi dengan diskusi kelompok dan pleno, paparan, nonton film, sharing pengalaman tentang masalah aktual di Kalbar yang mengancam perdamaian, tentang hak asasi manusia, ketidakadilan dan multikulturisme.
Salah satu sesi yang paling disenangi peserta adalah ketika peserta dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan etnisnya. Dalam sesi ini, setiap etnis disuruh untuk menilai, memberikan pandangan secara jujur baik positif ataupun negatif terhadap etnis lainnya. Saat presentasi kelompok, semua peserta memperhatikan dengan penuh seksama. Malahan, suara riuh rendah penuh kegembiraan kadang bersahutan ketika ada kelompok etnis lain yang memperolok streotip kelompok lainnya.
Menurut Edi Petebang, lahirnya pandangan negatif terhadap kelompok lain dikarenakan faktor pendidikan, pengetahuan yang minim, lingkungan wilayah pergaulan, media massa yang bias, dan citra diri negatif terhadap kelompk lain (stereotip). "Hal-hal inilah yang turut menyumbang terhadap kerap terjadinya konflik kekerasan bernuansa etnis di Kalbar pada masa silam"ujar penulis buku "Konflik Etnis di Sambas" ini.
Konflik kekerasan di Kalimantan Barat merupakan puncak dari multidimensi persoalan. Persoalan budaya, ekonomi, politik dan pengelolaan sumber daya alam. Konflik melibatkan banyak pihak, banyak aspek, banyak level. Karena itulah, untuk mencapai penyelesaian konflik yang menyeluruh menuju perdamaian abadi di Kalbar diperlukan upaya penanggulangan yang terencana dan tidak ada hentinya. Konflik kekerasan adalah manifestasi dari budaya kekerasan karena itulah upaya penanggulangannya harus dilakukan dengan menciptakan budaya anti kekerasan atau dengan kata lain adalah menciptakan budaya perdamaian; dan budaya dibentuk dan dipengaruhi banyak aspek.proses penciptaan budaya ini memerlukan waktu yang lama,sumber daya manusia dan dana yang banyak. Dan harus dilakukan secara terencana serta lansung menyentuh masyarakat pada akar rumput.
Para peserta pendidikan damai tersebut adalah agen, kader damai di komunitasnya masing-masing. “Saya sudah banyak ikut pelatihan. Tapi pelatihan ini beda dan membuat saya sangat terkesan. Karena inilah pelatihan satu-satunya dimana peserta benar-benar diajak saling menilai diri, kelompoknya secara terbuka. Mohon agar pelatihan seperti ini melibatkan lebih banyak orang dan berkelanjutan,”kesan Novi, guru SMPN 9 Tebas, Kabupaten Sambas dalam kesan-kesannya di akhir acara.
Gema Diana, pendidik dari SMP St.Fransiskus Asisi Pontianak mengharapkan agar pendidikan damai ini diikuti sebanyak mungkin guru, kalau bisa seluruh guru di Kalbar karena sangat berguna. “Pendidikan seperti ini penting diikuti untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan pendalaman nilai-nilai kemanusiaan. Saya juga mengusulkan agar bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat agar pemerintah tahu dan mendukung kegiatan yang sangat mulia seperti ini,”harap Nurmah, guru SMP Pertiwi Pontianak.
Acara yang berjalan santai, segar dan menyenangkan tersebut ditutup dengan doa bersama sambil berpegangan tangan, tanda persahabatan. Semoga makin banyak orang yang menjadi pembawa damai di Kalbar agar kedamaian ini terus abadi selamanya.
Menurut Ketua Panitia Paulus Darem, kegiatan serupa akan diadakan terus, baik untuk para guru maupun masyarakat laiinnya. "Bahkan tahun 2010 ini pendidikan perdamaian akan dilaksanakan di Kalimantan Tengah,"jelasnya bersama Fransiska Yuniati, anggota panitia lainnya.
Buku Mulok
Sejak tahun 2007 sampai 2010 ada tujuh SMP/sederajat yang mengajarkan mata pelajaran Muatan Lokal Pendidikan Multikultur. Untuk menunjang proses belajar mengajar, disusun bersama silabus dan buku paket. Kini sudah tersedia buku paket Mulok Pendidikan Multikultur untuk kelas 7 dan 8 SMP/Sederajata dan sedang disusun buku untuk kelas 9. "Tahun ajaran 2010-2011 direncanakan buku paket kelas 9 sudah siap dipakai,"jelas Anton P.Wijaya, kordinator Mulok ANPRI.
Salah satu tindak lanjut dari pendidikan perdamaian tersebut adalah akan diajarkannya Mulok Pendidikan Multikultur di sekolah-sekolah yang belum mengajarkan. "Saya senang bisa mendapat bahan Mulok ini karena selama ini saya mengajarkan Mulok tetapi sangat kesulitan mencari bukunya. Setelah berkordinasi dengan Kepala Sekolah, mudah-mudahan buku Mulok ANPRI ini bisa kami ajarkan ke siswa" harap Triadi, gurun SMPN Terpadu 21 Pontianak.
Buku Paket Mulok ANPRI ini sudah mendapat rekomendasi dari Kepala Diknas Pendidikan Kalbar (Drs.Ngatman kala itu-red.) sehingga layak dipakai di sekolah formal. Bagi sekolah yang ingin mendapat informasi lebih lanjut bisa menghubungi ANPRI di alamat: Jalan Budi Utomo Blok B4, Pontianak Telp.0561-884567 Faks.0561-883135.*
Komentar