Langsung ke konten utama

IDEOLOGI PANCUR KASIH


“Prinsipnya, dalam memperbaiki kualitas kehidupan kita, kita harus berangkat dari apa yang ada dulu. Bukan dari apa yang harus ada, atau apa yang idealnya ada. Inilah pedoman utama kita. Memulai sesuatu harus berangkat dari apa yang kita miliki. Ini syarat utama kemandirian. Di dalam kata-kata kemandirian itu terdapat juga prinsip bahwa kitalah yang harus aktif, melakukannya sendiri. Orang lain hanya sekedar membantu. Tapi, jangan lupa juga, kita ini bagian dari warga dunia. Maka kita juga harus mengerti dan mengikuti aturan, nilai yang disepakati masyarakat global itu.”


Demikianlah pandangan dasar yang dikemukakan A.R. Mecer dalam menjelaskan seluruh arah perjuangan GPPK. Lebih jauh menurut Mecer, GPPK melandaskan perjuangannya pada "Empat Jalan Keselamatan" dan "Tujuh Tuah Manusia Dayak"; serta ada visi, misi, nilai-nilai yang harus dipatuhi. Itulah apa yang disebut sebagai "ideologi" GPPK.


Menurut Mecer, dengan empat jalan keselamatan manusia Dayak hari ini dapat mengembangkan kehidupan yang lebih berkualitas. Keempat Jalan Keselamatan itu adalah pertama konsumsi dan produksi (makan minum hari-hari). Kedua, investasi (benih); ketiga, kebersamaan (sosial); keempat, kebertuhanan (spiritualitas).


Adapun tujuh tuah manusia Dayak, yang dimaksud adalah nilai-nilai sosial dan budaya luhur yang terkandung dalam orientasi makro-kosmos dan mikro-kosmos masyarakat Dayak itu sendiri. Tujuh tuah itu adalah 1). mengutamakan keanekaragamanèkesinambungan 2). mengutamakan kerjasamaàkolektifitas 3). organikànaturalitas 4). ritualàspiritualitas 5).prosesàefektivitas 6).domestikàsubsistensi 7).hukum adatàlokal.


Visi, misi, nilai

GPPK mempunyai visi "masyarakat ”Dayak”, dan masyarakat tertindas pada umumnya, mampu menentukan dan mengelola kehidupan dalam kebersamaan dengan semangat cinta kasih, hingga mandiri secara ekonomi, bermartabat secara sosial-budaya dan berdaulat secara politik".

Misinya adalah "menyelamatkan kaum tertindas, khususnya suku bangsa Dayak dari dominasi sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang menindas".


GPPK mempunyai lima nilai sebagai pemandu gerakan yang wajib dilaksanakan seluruh aktivisnya. Pertama, mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Azazi manusia yang universal. Kedua, menghormati keberagaman. Ketiga, penghargaan atas hak hidup dan hak penguasaan atas sumber-sumber kehidupan. Keempat, prinsip pengakuan otonomi politik, sistem ekonomi dan peran negara. Kelima, mengutamakan kebebasan.


Selain nilai-nilai gerakan, para aktivis GPPK juga mempunyai nilai sebagai insan pergerakan. Yakni nilai personal dan nilai perdaulan sosial. Nilai personal terdiri dari adil, kasih saying, jujur dan disiplin, percaya diri dan rendah hati. Landasan untuk mengembangkan praktik gerakan dalam berhubungan dengan sesama adalah pancaran dari nilai-nilai individual. Sebagai konsekuensi dari apa yang ditanam pada nilai-nilai individual itu maka kader-kader pergerakan akan berusaha untuk mencipta tata sosial macam apa yang akan dihidupkan.


Berangkat dari kelima nilai-nilai dasar di atas, GPPK mempunyai cita-cita yang secara singkat dinyatakan ke dalam 3 (tiga) cita-cita otonomi. Yakni otonomi sosial-budaya, yang berarti adalah bermartabat secara sosial-budaya; otonomi ekonomi, yang berarti adalah mandiri secara ekonomi; dan otonomi politik, yang bermakna berdaulat secara politik.


Upaya-upaya ke arah mandiri secara ekonomi ini harus benar-benar awas dengan 7 (tujuh) tulah yang tengah menggerogoti kearifan ekonomi masyarakat Dayak tersebut. Masing-masing adalah monokulturalisasi, privatisasi, pencemaran, rasionalitas, efisiensi, komersialisasi, globalisasi.

GPPK mempunyai pedoman dasar penguatan dan pengembangan gerakan yang wajib dihormati, dijunjung dan diperjuangkan. Yakni berbasis pada pengelompokkan dan penggolongan sosial yang luas, keanggotaan yang teregistrasi dan aktif, kepemimpinan berbasis pada pengetahuan yang luas dan mendalam, strategi dan taktik gerakan yang beragam, tetapi tetap terintegrasi, independen secara politik, tidak sekedar perjuangan pembebasan diskriminasi kelas, melainkan juga meliputi perjuangan pembebasan diskriminasi identitas ras, etnik, kebudayaan, jender, dan seksualitas, berdaya jelajah kosmopolitan dan solidaritas global.


Makna “Pancur Kasih”

Pemberian nama Pancur Kasih bagi gerakan ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Penamaan ini berangkat dari pandangan filosofi tertentu. Di dalam nama Pancur Kasih itu terkandung nilai-nilai yang dianut dalam pengabdian dan pelayanan gerakan ini.


Kata “Kasih” berasal dari ajaran “cinta kasih” yang menjadi ajaran dasar Kristiani, agama yang dianut sebagain besar masyarakat Dayak. Sedangkan kata “Pancur” diangkat dari realitas lingkungan yang menghidupi masyarakat Dayak. Di sekitar alam kehidupan masyarakat Dayak itu biasanya terdapat banyak pancuran kecil di aliran air pada sela-sela bebatuan dan pepohonan. Debit air yang dialirkannya terbilang kecil memang. Namun, demi mendukung kehidupannya, rembesan air yang kecil-kecil itu kemudian dialirkan ke dalam penampung berupa belahan-belahan batang bambu, hingga bermuara pada bak penampung tertentu. Akhirnya, meski terbilang perlahan, air terkumpul juga bagi kehidupan rumah tangga maupun untuk pertanian keseluruhan masyarakat. Gejala alam yang demikian itu dijadikan landasan filosofi gerakan ini.


Dengan begitu, frasa “Pancur Kasih” merupakan gambaran dari keinginan untuk menampung dan menyatukan potensi-potensi masyarakat Dayak yang ada, seberapapun kecilnya, berbagai nilai kebajikan itu dapat dikumpulkan satu sama lainnya, hingga menjadi aliran yang besar adanya, yang mampu memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak orang.


Frasa “Pancur Kasih” pada hakekatnya ingin mendeskripsikan keinginan untuk mengumpulkan dan menyatukan potensi-potensi manusia Dayak yang berserakan dan belum terorganisir hingga menjadi kekuatan cinta kasih yang besar bagi sesama manusia dan lingkungannya.


Terkandung pula makna bahwa “Pancur Kasih” adalah pedoman daya cipta dan berkarya yang lebih mengutamakan aspek “memberi” (pelayan) ketimbang “menerima”. Kemandirian adalah cita-citanya. Karenanya pula, segala upaya gerakan harus pula diletakkan dalam jalur misi penyelamatan umat manusia di muka bumi ini. Inilah roh GPPK.


Pontianak, 22 Januari 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany