Hari-hari ini sebagian besar perhatian rakyat Indonesia, tak terkecuali di Kalbar, tersedot pada kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah (KPK) melawan kepolisian RI (dan pihak terkait lainnya). Rakyat, senang atau tidak, "dipaksa" untuk memberi perhatian pada kasus ini karena dua hal. Pertama, kasus ini membuka kebobrokan yang selama ini diduga terjadi pada institusi penegak hukum kita dan rakyat ingin institusi-institusi ini dibersihkan dari mafia-mafia hukum--meminjam istilah Presiden SBY. Kedua, media massa cetak dan elektronik yang hampir tiap detik mengabarkan perkembangan kasus ini sehingga penonton yang semula tidak tertarik, akhirnya mengikuti perkembangan kasus ini.
Dalam kasus ini (Bibit-Chandra vs Polri), ada dua hal yang paling menarik perhatian kita. Pertama, materi kasus, yakni persoalan penolakan tuduhan dan klaim kebenaran dari masing-masing pihak, baik Bibi-Chandra; Polri; Kejaksaaan maupun para saksi kunci: Anggodo, Ari Muladi, Susno Duadji, AH. Ritonga, Wisnu Subroto dan lainnya. Kedua, yang sangat fenomenal adalah lahirnya kekuatan baru, yakni kekuatan dunia maya yang menjadi semacam "parlemen online". Fenomena "parlemen online" ini telah menjelma menjadi kekuatan baru sebagai kelompok penekan (pressure group) dan penyalur aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI mengatakan bahwa "parlemen online" bahkan dinilai berhasil menjalankan fungsi parlemen sebenarnya dibanding anggota parlemen di Senayan (Kompas 6/11).
Dunia maya telah menggantikan kekuatan massa rakyat. Pada era silam, orang harus berkumpul untuk meruntuhkan kekuasaan. Lihat saja Ferdinand Marcos di Filipina tumbang; Soeharto yang 32 tahun berkuasa di Indonesia bisa runtuh. Dalam gerakan massa ini diperlukan "orang berpengaruh". Filipina butuh Kardinal Sin, reformasi Indonesia 1998 perlu Amien Rais, Abdurahman Wahid, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan para orator mahasiswa. Kini peoples power tidak perlu "orang berpengaruh". Mereka tidak perlu kordinator lapangan ataupun mencari sumbangan. Orang pun memakai Facebook dan Twitter dan situs jejaring social lainnya. Siapa yang kenal dengan pembuat "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto"? Hampir 99 persen pendukung gerakan ini (sebelum Usman Jasin, pembuatnya, nongol di tv) tidak mengenal wajahnya dosen Universitas Muhamadiyah Bengkulu ini.
Sejak dibuat tanggal 29 Oktober 2009 sampai Senin pagi (9/11) telah 1,133,257 Facebookers mendukung Bibit dan Chandra. Artinya rata-rata perhari pendukung gerakan ini bertambah 94.438 orang. Jumlahnya akan terus bertambah. Saya setuju dengan Jaleswari bahwa melonjaknya partisipasi publik melalui Facebook, Twitter dan jejaring social lainnya menunjukkan bagaimana demokrasi dimanfaatkan publik sebagai sarana kebebasan mengekspresikan gagasan dan kemarahan, sekaligus merepresentasikan ketidakpuasan terhadap pertanggungjawaban politik elitenya. Para elite dimaksud menunjuk institusi penegak hukum seperti kejaksaan, peradilan, dan polisi yang dianggap angkuh dalam kekuasaan, tercermin dalam jargon "cicak lawan buaya" yang diperkenalkan Susno Duadji, seorang petinggi Mabes Polri.
Gerakan Facebookers pendukung Bibit-Chandra ini kasus kedua di Indonesia. Gerakan massa rakyat melalui dunai maya (peoples power online) yang pertama adalah dalam kasus Prita Mulyasari, penulis e-mail yang dipenjarakan Rumah Sakit Omni Internasional. Prita yang mendapat dukungan dari dunia maya kemudian dikeluarkan dari tahanan dan aparat yang bobrok ditindak.
Penguasa jangan meremehkan gerakan parlemen online ini. Kini Facebook dan Twitter, dua diantara beragam situs jejaring social, sedang digilai masyarakat Indonesia. Pengguna Facebook tercatat sekitar 11,8 juta dan Twitter 1,8 juta. Dua media ini sekarang mempunyai dampak besar di Indonesia. Dalam sekejap, sebuah pesan dapat menyebar kemana-mana; apalagi isunya sedang hangat. Siapa pengguna jejaring social ini? Menurut Wicaksono (Koran Tempo 7/11) mereka adalah berusia produktif 18-35 tahun, terdidik, berstatus social ekonomi menengah keatas dan akrab dengan internet. Mereka berseliweran di kampus, café, kantor dan tempat mentereng lainnya baik dengan laptop maupun handphone.
Parlemen online ini menggambarkan kemarahan rakyat terhadap para wakilnya. Mengutip pendapat sejumlah tokoh berpengaruh di tanah air, Kompas menulis dalam headlinenya " DPR melawan suara rakyat "(headline Kompas 7/11). Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan bahwa DPR tidak bisa lagi diharapkan mewakili suara rakyat. DPR malah menjadi pembela polisi. Ketika suara rakyat sudah begitu meluas, DPR seperti tidur. Tapi begitu mendengar penjelasan Kapolri, DPR seakan sudah mendengar kebenaran.
Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif menilai DPR telah menentang arus besar rakyat, tidak kritis, dan pembela polisi. Mayoritas kekuatan DPR telah dipakai oleh kekuasaan. "DPR menunjukkan kepada publik secara telanjang bagaimana kualitas yang sesungguhnya,"kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang.
Seperti yang sudah diduga, penjelasan Kapolri di DPR yang secara tidak langsung ingin mendapat dukungan rakyat, ternyata sulit mengubah opini masyarakat tentang terjadinya kriminalisasi terhadap KPK. INi terbukti dengan terus meningkatnya dukungan terhadap Bibi dan Chandra melalui sejumlah aksi dan di jejaring sosial.
Kita tentu sependapat dengan Mahfud MD, Ketua MK agar penguasa jangan melawan arus kekuatan rakyat. "Siapa yang meremehkan gerakan rakyat akan tergilas. Kalau pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri,"ujarnya.
Bagaimana dengan di daerah? Bagaimana DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota kita? Apakah mereka setali tiga uang dengan parlemen di Senayan? Apakah DPRD benar-benar menjalankan fungsinya atau sekedar tukang stempel kebijakan eksekutif? Mari kita membuktikannya bersama.[EvP]
Komentar