
Hampir hari terjadi konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan kelapasawit. Di Kalimantan Barat, konflik ini sudah sangat mengkuatirkan. Komnas HAM PerwakilanKalbar (2009) misalnya menempatkan perkebunan sawit sebagai potensi terbesar pelanggaranhak azasi manusia. Konflik terbesar adalah sengketa tanah berupa penolakan masyarakatterhadap perusahaan, perampasan lahan/tanah masyarakat yang, penggusuran tanam tumbuhtanpa ganti rugi lagi), penggusuran tempat keramat, penggusuran sumber air, pola kemitraantidak jelas dan lainnya. Kasus terbaru antara PT BNM dengan masyarakatSilat Hulu di Ketapang (KR November 2009).
Karena itulah berbagai kalangan sudah berulangkali meminta dan mendesak agar pemerintahprovinsi maupun kabupaten benar-benar serius menanggapi persoalan perkebunan sawit ini. Bulan November lalu, utusan para rohaniwan/wati dan tokoh Katolik se-Kalimantan yang tergabung dalam Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi menemui Gubernur Kalbar untukmeminta peninjauan ulang terhadap industri perkebunan sawit.
Perjuangan masyarakat berhadapan dengan perusahaan sawit masih terus berlangsung karenapemerintah Kalbar telah menjadikan sawit sebagai produk andalan. Menurut rencanaperkebunan sampai tahun 2025 Dinas Perkebunan Kalbar, dari sekitar 14,68 juta ha luaswilayah Kalbar ada 6,1 juta ha lahan kering. Dari 6,1 juta ha tersebut 3,5 juta ha untukperkebunan dan dari 3,5 juta ha itu sebanyak 1,5 juta ha dicadangkan untuk perkebunan sawitsudah 478.174 ha). Sisanya untuk karet (1,2 juta ha), kelapa 300 ribu ha, lada 50 ribu ha, kakao 50 ribu ha, kopi 20 ribu ha, aneka tanaman 70 ribu ha (tebu, pinang, jarak pagar, cengkehdll). Berikut ini data perkebunan sawit di Kalbar.
Kenali Tahapan
Dalam sebagian besar konflikantara perusahaan sawit denganmasyarakat adat, umumnyamasyarakat adat tidak tahu tentangurutan perizinan suatu perusahaanperkebunan sawit. Ketidaktahuanini dimanfaatkan oleh perusahaan. Misalnya, ijinnya hanya untuksurvei, tetapi sudah dilakukanpembukaan lahan. Padahal, sesuaiPasal 11 Peraturan MenteriPertanian No.26/2007 dikatakanbahwa "perusahaan perkebunanmemiliki Izin UsahaPerkebunan (IUP) wajibmembangun kebun masyarakatsekitar paling rendah seluas 20% dari total luas kebun yang diusahakan, di luar areal hak gunausaha (HGU). Pola pembangunankebun dilaks dengan pola yang disepakati dan disetujui bersamaantara perusahaan dan masyarakatsekitar".
Masyarakat harus mengetahui apaesensi dari tiap tahapan tersebutdan apa yang seharusnya dilakukan. Kewenangan pemberian izin untuk kebun yang berlokasi di dalam satu kabupaten, maka oleh bupati. Jika arealnya lebih dari satu kabupaten oleh gubernur. Setelah mendapat informasi lahan sampai izin lokasi, ada proses penyunanan analisa mengenai dampak lingkunagn (AMDAL).
Setelah mendapat informasi lahan, maka perusahaan wajib melakukan survey pendahuluan. Pada saat inilah lahan yang sudah dan sedang diusahakan masyarakat dikeluarkan dari areal perusahaan (di-enclave). Masa berlaku izin informasi lahan ini enam bulan.
Pada tahap izin lokasi, perusahaan wajib memperoleh lahan secara langsung kepada pihak berkepentingan melalui jual-beli/pelepasan hak/cara lain yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tanah/tanam tumbuh tidak dikeluarkan melalui perantara. Wajib didahului dengan melakukan sosialisasi. Perusahaan wajib berkoordinasi dengan Camat, Kades, tokoh masyarakat/adat, TP3K. Masa berlaku 3 tahun dan dapat diperpanjang sekali. Perusahaan wajib menghormati hak-hak dan kepentingan pihak lain, tidak diperkenankan menutup aksesibilitas terhadap tanah-tanah yang belum dibebaskan; wajib menerapkan pola kemitraan dengan masayarakat; wajib berperan aktif memelihara lingkungan. Perusahaan tidak diperkenankan membuka lahan dengan cara membakar; dilarang membuka lahan diluar izin lokasi; dan dilarang mengalihkan/memperjualbelikan izin lokasi yang sudah diperoleh.
Tahap berikutnya adalah keluarnya ijin usaha perkebunan (IUP). Ada banyak syarat keluarnya IUP, antara lain ada AMDAL, pernyataan kesediaan membangun kebun masyarakat 20% dari luas kebun. Jika IUP sudah ada, maka perusahaan mulai beroperasi. Sambil beroperasi, perusahaan mengurus hak guna usaha (HGU) ke BPN.
Untuk mendapatkan HGU banyak syaratnya. Misalnya harus ada ijin lokasi dan IUP; ada bukti perolehan lahan, pemasangan patok tanah yang dikuasai perusahaan dan pelepasan kawasan hutan. Menurut Iwan Sulanjana, Direktur Penyelesaian Konflik Dan Sengekata Lahan BPN, setiap perusahaan sawit yang melakukan pembukaan lahan tanpa memiliki HGU adalah kegiatan illegal dan harus ditangkap. Persoalannya, aparat mana yang harus menangkap? Padahal banyak perkebunan sawit tanpa HGU.
Menurut Iwan, ijin lokasi artinya perusahaan boleh ada di suatu kawasan. Sedangkan IUP berarti perusahaan boleh buka kebun di tempat tadi. Tapi tanpa HGU perusahaan tidak punya hak atas tanah. Menurut BPN, perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa HGU hanya untuk dapat pinjaman dari bank. Setelah duit didapat, diinvestasikan ke usaha lain, sehingga menyebabkan konflik lahan.
Jika perusahaan sawit sudah mendapat HGU, maka ada sejumlah kewajiban. Antara lain wajib memelihara keberadaan tanda-tanda batas bidang tanahnya; dilarang menelatarkan tanahnya; memanfaatkan potensi dan memberdayakan masyarakat, menyediakan sarana fasilitas sosial dan umum; dilarang untuk menyerahkan pengusahakan tanah HGU ke pihak lain.
Kenali perusahaan sawit yang akan maupun yang sedang beroperasi di daerah Anda. Lakukan tindakan jika melanggar aturan seperti diatas.[EvP]
Komentar