Langsung ke konten utama

Seruan Damai yang Seru


Oleh Edi v.Petebang

Sore sehabis magrib sekitar tanggal 7 September 2009 saya menerima pesan singkat dari Bung Nur Iskandar, karib saya sejak sama-sama mengelola koran kampus era 90-an yang kini menjabat Pemred Harian Borneo Tribun. Isinya kira-kira demikian "Sabtu, 19 September 2009 sekitar 77 tokoh akan membuat seruan damai. Draftnya silakan baca di blog saya atau blog tribun institute". Esoknya saya membaca bebeberapa kali draft "Seruan Pontianak" tersebut dan memikirkan apa dampaknya di masyarakat. Kemudian saya kirim usulan/saran terhadap isi draft SP tersebut. Intinya: secara esensi saya setuju; tetapi secara teknis dan kepatutan tidak setuju. Karena itulah saya mengusulkan dua hal: pertama, jangan memasukkan angka-angka dan penyebutan nama etnis; kedua, kata-kata yang dipakai jangan vulgar. "Jika dua usulan saya ini tidak bisa diakomodir, maka saya menolak namanya dimasukkan",pinta saya. Akhirnya nama saya pun tidak ada di SP tersebut.

Ketika membaca draft SP tersebut saya menduga pasti akan ramai dibicarakan orang. Ramai karena SP ini dimuat satu halaman penuh dan di tiga koran terbesar di Kalbar--sehingga pembacanya banyak. Kalau dimuat di media yang lebih kecil mungkin tidak terlalu ramai. Ramai karena setelah SP ini terbit media massa nasional, lokal dan regional memuat tanggapan pejabat/tokoh soal SP tersebut. Ramai karena kemudian sejumlah elemen organisasi masyarakat, terutama Dayak dan Melayu, proaktif merespon SP ini. Ramai karena kemudian sejumlah orang yang namanya tercantum di SP tersebut membantah telah menyetujuinya. Saya kira itu sebabnya sejumlah orang/tokoh kemudian membantah ini (seperti Dr.Chairil Effendi) karena tidak sempat membuka draft SP di internet. Tetapi karena di SMS seperti yang saya terima, maka setuju saja. Intinya akhirnya SP itu menjadi kontroversi, bahkan cenderung kontra-produktif dengan semangat awalnya, yakini berkontribusi untuk menjaga dan mengisi perdamaian di Kalbar.

Seruan ini pun benar-benar seru setelah diterbitkan satu halaman penuh (iklan) di tiga Koran terbesar di Kalbar, yakni Borneo Tribun, Tribun Pontianak dan AP Post pada hari Senin, 28 September 2009.

Saya ditanyai beberapa orang, baik di luar Pontianak, di Pontianak maupun di kampung (Tebas, Singkawang, Nyarumkop, Ngabang, Ketapang, dll). Teman-teman dari daerah bertanya "kok ndak ada angin ndak ada hujan tiba-tiba ada seruan seperti itu? Maksudnya apa? Ini mengungkit luka lama,"telpon seorang teman dari Tebas, Sambas. Seorang teman, kadidat doktor di Cornell University, AS, yang meneliti soal konflik di Kalbar bertanya: "semarah itukah warga di Kalbar? ada apa sebenarnya?,"tanya via surat elektronik.

Mengapa SP itu menjadi kontroversi? Selama enam tahun terakhir saya, bersama rekan-rekan di credit union dan sejumlah organisasi non pemerintah, keluar masuk kampung di wilayah Kabupaten Sambas, Singkawang, Landak, Bengkayang, Kabupaten/Kota Pontianak. Menurut saya masyarakat kita belum siap untuk menerima informasi seperti yang disampaikan dalam SP tersebut. Di forum ilmiah oke-oke saja bicara vulgar, apa adanya. Tapi di masyarakat akan lain ceritanya. Angka yang disajikan dalam SP tersebut juga tendensius merujuk etnis tertentu. Kalau mau jujur bukankah etnis lain (yang tidak disebut dalam SP itu) juga puluhan, bahkan ratusan yang jadi korban? Kalau memang mau fair,mestinya semuanya dipaparkan.

SP ini memberikan pelajaran bagi kita semua, termasuk semua orang yang ingin berkontribusi dalam proses perdamaian di Kalbar ini agar lebih sensitive soal isu-isu etnis. Saya mengapresiasi penelitian Zainudin Isman (Zis) yang mengatakan bahwa 52% dari 300 respondennya tidak mengetahui SP tersebut. "Masyarakat tidak terlalu ribut, elit dan aktoir sosial yang belum siap. Tidak ada persoalan,"kata Zis, seperti dikutip Borneo Tribun (7/10 hlm.2). Tiga respon saya terhadap studi ini. Pertama, jangan meremehkan yang 48%. Kedua, kalau 52% tidak peduli/tidak rebut, berarti masa depan kedamaian di Kalbar ini terancam. Karena kalau masyarakat sudah tidak peduli lagi dan tidak mau terlibat aktif dalam proses perdamaian, maka merupakan preseden buruk bagi perdamaian Kalbar. Ketiga, kalau memang benar warga akar rumput yang tidak peduli dengan SP itu; pertanyaannya warga yang mana/dimana? Warga Pontianak tentu beda persepsi dan pandangannya (tentang SP) dibanding warga Sambas, Bengkayang, Landak atau daerah yang lain pada masa silam pernah terjadi konflik kekerasan.

Kita semua sepakat bahwa damai adalah proses, bukan tujuan akhir. Karena itu semua orang (di Kalbar) harus berbuat, berkontribusi untuk menjaga, memelihara dan mengisi perdamaian di Kalbar dengan apa yang dia punya dan mampu. Konflik adalah kondisi yang sangat buruk dan merugikan semua orang. Sesungguhnya tidak ada yang menang atau kalah jika konflik. Saya sudah mengalami beberapa kali konflik kekerasan di Kalbar ini dan sungguh sangat merugikan. Semua jadi korban, semua sektor kehidupan terkena dampak negatifnya.

Kita patut bersyukur dalam satu dasawarsa terakhir ini kesadaran warga untuk tidak meng-etniskan criminal semakin tinggi. Ini terbukti tidak meluasnya konflik-konflik skeala kecil yang terjadi. KIta patut mengapresiasi aparat keamanan yang kini mempunyai sensitivitas etnis yang tinggi sehingga setiap tindak kriminal bernuansa etnis diberi perhatian khusus.

SP ini menjadi ramai diperbincangkan warga. Mari kita memakai media untuk secara berkala menyampaikan seruan damai yang benar-benar mendamaikan suasana.

Minta maaf dan dicabut
Paska diterbitkan tanggal 28 September 2009 sampai 7 Oktober 2009, SP tersebut benar-benar menjadi kontroversi. Para penggagasnya (yang benaran maupun yang sekedar ikut) bertambah kerjaan karena setiap kali ketemu orang ditanya dan harus bolak-balik ke kepolisian daerah Kalbar karena dipanggil. Selama 28/9 sampai 5/10 setiap hari dimuat berita yang mengarah pada "pembenaran" SP tersebut. Misalnya headline Harian Borneo Tribun 6/10 berjudul "Polda nyatakan tidak ada unsur pidana dalam SP".

Namun tuntutan sejumlah Ormas yang meminta SP dicabut juga terus kencang. Akhirnya difasilitasi Kapolda Grigjen Erwin Tobing, Rabu 7 Oktober para penggas SP yang diwakili Nur Iskandar, meminta maaf secara terbuka dan dimuat satu halaman penuh di tiga Koran yang memuat SP tersebut, yakni Borneo Tribun, Tribun Pontianak dan AP Post.

Dari kasus ini agaknya memang kita harus belajar lebih banyak, lebih dalam untuk benar-benar bisa memahami, menyelami emosi, filosofi dan perasaaan masyarakat Kalbar kebanyakan. Kasus ini menjadi pelajarana penting bagi para aktivis perdamaian di Kalbar. Apapun, yang pasti kita semua warga Kalbar harus berbuat sesuatu untuk menjaga, memelihara dan mengisi perdamaian. Ingat, orang luar sering dating hanya untuk memanasi, tetapi ketika ada reaksi, kita yang sehari-hari hidup di bumi Khatulistiwa inilah yang merasakan langsung akibatnya.***

Pontianak, 8 Oktober 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany