Langsung ke konten utama

Mengawal Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang HAM

Oleh Edi v.Petebang

Mungkin banyak diantara kita yang tidak tahu bahwa pada tanggal 22 Juni 2009 Kapolri Bambang Hendarso Danuri telah menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan ini merupakan langkah maju dari kepolisian kita dalam upaya pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Tentu harus kita berikan apreasisi untuk itu. Sebelumnya Polri telah menjalin MoU dengan Komnas HAM RI dalam upaya penegakkan HAM. Polri juga telah berusaha mengubah citranya yang selama ini bercorak militer dengan konsep perpolisian masyarakat (Polmas). Masyarakat wajib mengetahui peraturan ini untuk mengontrol dan memastikan polisi tidak melanggar HAM.

Secara mendasar peraturan yang terdiri dari 64 pasal ini dibuat agar seluruh jajaran Polri dapat menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya (huruf c.Menimbang). Dalam pasal 2 disebutkan, maksud dari Peraturan ini adalah (a). sebagai pedoman dasar implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas Polri dan (b). menjelaskan prinsip-prinsip dasar HAM agar mudah dipahami oleh seluruh anggota Polri dari tingkat terendah sampai yang tertinggi dalam pelaksanaan tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.

Tujuan dari Peraturan ini adalah (a). untuk menjamin pemahaman prinsip dasar HAM oleh seluruh jajaran Polri agar dalam melaksanakan tugasnya senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip HAM; (b). untuk memastikan adanya perubahan dalam pola berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan prinsip dasar HAM; (c). untuk memastikan penerapan prinsip dan standar HAM dalam segala pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri tidak ragu-ragu dalam melakukan tindakan; (d). untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan Polri agar selalu mendasari prinsip dan standar HAM (pasal 2 ayat 2).

Inti dalam peraturan ini adalah panduan agar polisi menerapkan prinsip dan standar HAM dalam tugasnya. Apa saja prinsip dan standar HAM tersebut? Dalam pasal 3 disebutkan ada 12 prinsip HAM. Yakni (1).perlindungan minimal (2). melekat pada manusia (3). saling terkait (4). tidak dapat dipisahkan (5). tidak dapat dibagi (6). universal (7). fundamental (8). keadilan (9). kesetaraan/persamaan hak (10). kebebasan (11). non-diskriminasi (12). perlakuan khusus bagi kelompok yang memiliki kebutuhan khusus (affirmative action).

HAM apa saja yang termasuk dalam cakupan tugas Polri? Ada 8 hak, yakni (a). hak memperoleh keadilan (b). hak atas kebebasan pribadi (c).hak atas rasa aman (d). hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penghilangan secara paksa, (e). hak khusus perempuan, (f).hak khusus anak, (g). hak khusus masyarakat adat, (h). hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang cacat, orientasi seksual (pasal 7).

Peraturan ini juga "memaksa" seluruh aparat polisi wajib memahami instrumen internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan HAM (pasal 7). Ada 19 intrumen yang wajib dipahami, antara lain Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT); Konvensi Hak-hak Anak; Resolusi PBB Nomor 43/174 Tahun 1988 tentang Prinsip Perlindungan semua Orang Dalam Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan; dan Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia;

Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya: (a). menghormati martabat dan HAM setiap orang; (b). bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (c). berperilaku sopan; (d). menghormati norma agama, etika, dan susila; dan e. menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM (pasal 8).

Bagian terbanyak dalam peraturan ini adalah mengatur tentang standar perilaku petugas/anggota Polri dalam penegakkan hukum dan tindakan kepolisian (pasal 10 sampai 34). Standar petugas polisi dalam penegakkan hukum adalah wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h. Antara lain: menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya, tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan; tidak boleh menghasut, tidak boleh menyiksa, melindungi tahahan, tidak korupsi, harus menghormati hukum.

Standar perilaku petugas/anggota Polri dalam tindakan kepolisian terdiri dari tindakan penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan orang dan tempat/rumah, dan penyitaan barang bukti.

Dalam penyelidikan ada 8 larangan bagi polisi (pasal 13-14). Antara lain, dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; dilarang menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan yang sah; dilarang menolak permintaan bantuan dari seseorang yang membutuhkan pertolongan atau mencari keadilan tanpa alasan sah.

Dalam melakukan pemanggilan polisi dilarang antara lain melakukan pemanggilan dengan tujuan untuk menakut-nakuti yang dipanggil atau untuk kepentingan pribadi yang melanggar kewenangannya; melecehkan atau tidak menghargai hak dan kepentingan orang yang dipanggil.

Ketika melakukan tindakan penangkapan polisi wajib antara lain memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri, memberitahukan alasan penangkapan, senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap. Setelah melakukan penangkapan, setiap petugas wajib untuk membuat berita acara penangkapan. Jika anak-anak yang ditangkap maka wajib diperhatikan hak tambahan bagi anak, antara lain didampingi orang tua/wali, diperiksa di ruang pelayanan khusus. Jika yang ditangkap perempuan maka wajib antara lain sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau petugas yang berperspektif gender dan di ruang pelayanan khusus

Dalam rangka menghormati HAM, tindakan penahanan harus memperhatikan standar-standar penahanan, antara lain tidak seorangpun dapat ditangkap ataupun ditahan dengan sewenang-wenang, harus menghormati azas praduga tidak bersalah. Dalam pasal 23 ditegaskan bahwa penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan standar

Internasional HAM dalam penahanan (ada 24 item), antara lain: tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya; tahanan anak-anak harus dipisahkan dari tahanan dewasa, perempuan dari laki-laki, dan tersangka dari terpidana. Penahanan terhadap anak-anak dan wanita diberi perhatian khusus (pasal 25 dan 26).

Tindakan pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi antara lain diberikan kesempatan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai. Polisi dilarang melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak terperiksa, polisi dilarang menghalangi-halangi penasehat hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi/ tersangka yang diperiksa. Pemeriksaan terhadap anak dan perempuan diberi perhatian khusus (pasal 28-29)

Menggeledah orang dan tempat/rumah polisi harus dilengkapi administrasi penyidikan, memberitahu ketua lingkungan setempat, dilarang menggeledah dengan cara yang sewenang-wenang, sehingga merusakkan barang atau merugikan pihak yang digeledah, tidak bertindak arogan atau tidak menghargai harkat dan martabat orang yang digeledah (pasal 33). Jika menyita barang bukti polisi harus memberitahu tujuan penyitaan, membuat berita acara dan merawat barang sitaan (pasal 34).

Hak tersangka

Polisi harus benar-benar melaksanakan azas praduga tidak bersalah kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Tiap anggota Polri wajib menerapkan asas praduga tak bersalah dalam proses investigasi dengan memperlakukan setiap orang yang telah ditangkap atau ditahan, ataupun orang yang tidak ditahan selama masa investigasi, sebagai orang yang tidak bersalah (pasal 35)

Polisi wajib menghormati hak-hak tersangka. Ada 20 hak tersangka yang diatur dalam pasal 36 peraturan ini. Antara lain: mendapatkan penasihat hukum tersangka berhak memilih sendiri penasehat hukumnya, berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan, berhak mengirim dan menerima surat dari penasihat hukumnya, tersangka berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini secara tegas memerintahkan polisi agar menghormati martabat dan privasi seseorang (pasal 38).

Dalam situasi darurat pun (yang secara resmi dinyatakan pejabat berwenang), polisi tidak boleh mengurangi hak-hak sipil dan hak politik seseorang. Yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjarakan atas ketidakmampuannya memenuhi suatu kewajiban, hak untuk tidak dinyatakan bersalah atas perbuatan pidana yang bukan merupakan tindakan pidana pada saat dilakukannya baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional dan hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama (pasal 41 ayat2).

Hak-hak sipil dan hak politik yang dapat dikurangi dalam keadaan darurat antara lain: hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berkumpul/ berserikat, hak memperoleh informasi (pasal 41 ayat 3)

Jika terjadi kerusuhan massal, Polri wajib melaksanakan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat secara profesional dengan tetap menghargai dan melindungi HAM terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi pada setiap saat dan dalam keadaan apapun (pasal 42). Polisi dilarang melakukan tindakan kekerasan dengan dalih untuk kepentingan umum atau untuk penertiban kerusuhan; polisi dilarang keras melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang telah menyerahkan diri atau yang ditangkap (pasal 44 ayat 1-2).

Penggunaan kekuatan/tindakan keras dan senjata api juga diatur sedemikian rupa untuk menjamin polisi tidak melanggar HAM. Pasal 47 ayat 1 mengatakan "penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia".

Aturan ini memberikan jaminan kepada warga bahwa polisi dalam memberikan pelayanan tidak diskriminatif. Pasal 50 ayat 1a dikatakan "dalam melaksanakan tugas pelayanan masyarakat setiap anggota Polri wajib memberikan pelayanan yang adil, tanpa membedakan ras, suku, agama/kepercayaan, golongan, status sosial, ekonomi, dan jenis kelamin".

Sering ada pertanyaan dari aparat polisi, bagaimana perlindungan HAM bagi para anggota polisi? Dalam peraturan ini secara jelas diatur tentang perlindungan HAM bagi anggota Polri (pasal 56 dan 57). Yakni (1) bebas dari perlakuan sewenang-wenang dari atasannya; (2) setiap anggota Polri yang menolak perintah pimpinan yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum berhak mendapat perlindungan hukum (immunity); (3).setiap anggota Polri berhak meminta perlindungan hukum kepada pimpinannya atas pelaksanaan tugas yang telah diperintahkan oleh pejabat Polri kepada anggotanya.

Dalam pasal 57 diatur 7 kewajiban Polri terhadap anggotanya. Pertama, tiap pejabat Polri wajib memperhatikan keadaan kesehatan anggotanya. Kedua, tiap pejabat Polri wajib mempertimbangkan kemampuan anggotanya yang akan diberikan perintah penugasan. Ketiga, tiap Pejabat Polri dilarang mengeksploitasi anggotanya atau memerintahkan anggota Polri untuk melakukan tindakan untuk kepentingan pribadinya yang di luar batas kewenangannya. Keempat, tiap pejabat Polri wajib memberikan perlindungan HAM bagi anggotanya, terutama di dalam melaksanakan tugas kepolisian. Kelima, tiap pejabat Polri wajib mengusahakan kecukupan peralatan tugas anggotanya, sehingga dapat menghindarkan atau mengurangi terjadinya tindakan yang melanggar HAM yang dilakukan oleh anggotanya. Keenam, tiap pejabat Polri bertanggung jawab atas resiko pelaksanaan tugas yang diperintahkan olehnya. Ketujuh, tanggung jawab atas resiko pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mencakup pertanggung jawaban pidana maupun administrasi.

Bagaimana agar tiap personil polisi melek HAM? Dalam peraturan ini ditugaskan kepada kepolisian agar setiap pejabat Polri wajib menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan pemahaman HAM di lingkungan tugasnya. Setiap pejabat Polri yang berwenang wajib mengalokasikan anggaran untuk pembinaan kesadaran dan pemahaman HAM di lingkungan tugasnya. Setiap pejabat Polri wajib melakukan evaluasi perkembangan pemahaman dan kemampuan penerapan HAM di lingkungan tugasnya (pasal 59).

Wajib dikawal

Kita tentu patut memberikan apresiasi yang tinggi atas usaha, niat baik dari kepolisian RI untuk memperbaiki dirinya dengan menerapkan HAM dalam operasionalnya. Karena sangat sering kita dengar polisi dituding melanggar HAM, terutama kasus-kasus penyiksaan terhadap tahanan ataupun berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak kejahatan. Dengan adanya peraturan ini, rakyat berharap polisi semakin bermartabat, semakin professional, semakin dicintai masyarakat karena menghormati dan menerapkan HAM.

Kritikan terbesar terhadap peraturan ini adalah tidak tegasnya pemberian reward dan sanksi bagi aparat/pejabat kepolisian yang tidak mengindahkan/menerapkan peraturan ini. Peraturan ini tidak mempunyai kekuatan memaksa yang tegas. Dalam Pasal 60 dikatakan bahwa "setiap pejabat Polri wajib melakukan pengawasan penerapan HAM, terutama di lingkungan anggotanya; memberikan penilaian bagi anggota Polri dalam menerapkan prinsip HAM dengan memberikan penghargaan bagi yang berprestasi; memberikan tindakan koreksi terhadap tindakan anggotanya yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan HAM; dan menjatuhkan sanksi terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM dalam pelaksanaan tugas. Sanksi yang dimaksud dijatuhkan melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika kepolisian dan/atau proses peradilan pidana.

Peraturan ini lebih berfungsi sebagai panduan dan "moral binding. Pada akhirnya tegak atau tidaknya peraturan ini sangat tergantung dari panggilan nurani tiap pejabat dan personil polisi kita. Namun kita berharap, demi profesionalisme dan kredibilitas polisi, maka peraturan ini bisa diterapkan.

Masyarakat, terutama media massa, wajib turut serta menyebarluaskan dan menjadi pengawas untuk menjamin peraturan ini ditegakkan; untuk menjamin bahwa polisi tidak melanggar HAM. Jika semakin banyak masyarakat tahu dan paham tentang peraturan ini, maka akan sangat membantu upaya pemajuan, perlindungan dan penegakkan HAM oleh kepolisian RI. Semoga.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany