Langsung ke konten utama

LEGISLATOR TOYET

Oleh Edi v.Petebang

Bunyi gong, gendang dan tetabuhan lainnya bersahutan merdu mengiringi pantun dan nyayian yang terdengar sumbang. Gelak tawa menyertai kelakar dan canda mereka. Sesekali terdengar rentak kaki para penari dadakan dari para tamu undangan. Rumah beratap sirap, berdinding papan berlantai kayu belian nan asri dikelilingi aneka pohon buah-buahan itu menjadi sangat meriah sore hingga malam itu. Para undangan disuguhi aneka jenis makanan khas masyarakat di kampung; ditemani tuak, beram dan minuman "pandai berkata-kata" lainnya. Semua orang yang hadir nampak bergembira. Namun yang paling bahagia adalah sang empunya acara: Toyet. Toyet membuat syukuran itu sebagai wujud terima kasihnya setelah dilantik menjadi anggota legislatif. Ditemani isteri dan ketiga anaknya ia tak henti-hentinya menebar senyuman sambil menyapa dan menyalami para tetamu yang silih berganti dating. "Selamat Pak. Semoga bisa terus memperjuangkan aspirasi kami,"ujar seorang warga sambil menyalaminya. "Semoga Bapak tidak tergoda oleh uang dan tetap vokal memperjuangkan penderitaan kita warga di kampung-kampung ini,"pinta yang lainnya.

Hari itu Toyet mengadakan syukuran setelah dilantik menjadi anggota legislatif. Sebenarnya Toyet tidak mau mengadakan pesta seperti itu, tapi terpaksa diadakan karena untuk menghargai dan teman-teman, kerabat dan semua orang yang telah mendukungnya. Toh ia tidak banyak keluar uang. Ada temannya yang punya banyak ayam dan babi menyumbang lauk; beberapa tamu yang datang membawa sebotol tuak.

Toyet dilantik bersamaan dengan 455 angota DPRD dari 12 kabupaten dan 2 kotamadia di Kalimantan Barat; 55 anggota DPRD Provinsi Kalbar; 4 anggota DPD-RI asal Kalbar dan 10 anggota DPR-RI dari Kalbar. Total ada 525 orang warga Kalbar yang menduduki kursi empuk legislatif. Ia akan berjuang memajukan rakyatnya bersama 40 orang anggota DPRD Kota Pontianak; 45 anggota DPRD Kab.Pontianak; 45 orang DPRD Kubu Raya; 45 orang anggota DPRD Sambas; 25 orang anggota DPRD Singkawang; 30 orang anggota DPRD Bengkayang; 35 orang anggota DPRD Landak; 35 orang anggota DPRD Sanggau; 25 orang anggota DPRD Sekadau; 35 orang anggota DPRD Sintang; 30 orang anggota DPRD Kapuas Hulu; 40 orang anggota DPRD Ketapang.

Toyet dilantik bersama 70 persen wajah baru di parlemen, orang lama maupun mantan pejabat, seperti Prabasa Anantatur (mantan Bupati Sambas), Baisuni (mantan Bupati Sanggau) dan HAM.Djafari, mantan bupati Kapuas Hulu. Toyet, satu diantara 10.1702 caleg yang terpilih, diambil sumpahnya bersamaan dengan tiga ornag anggota DPRD yang paling sedikit memperoleh suara. Yakn Julwind Francisius dari PIB (217 suara-Singkawang); M.Ridlo'I Ubaidillah dari PPNUI (314 suara-Kab.Pontianak) dan Nobertur Partai Pakar Pangan (338 suara-Sekadau).

Strategi kampanye Toyet terbukti ampuh sehingga ia untuk kali pertama terpilih sebagai wakil rakyat. Sebagai anggota legislatif di level kabupaten, Toyet berjanji akan semaksimal mungkin memperjuangkan aspirasi, kebutuhan rakyat minimal di daerah pemilihannya. Ia sangat ingin agar ada kebijakan membuat pemerintahan desa berdaya dan mandiri. Sebab pemerintahan desa inilah ujung tombak pembangunan di pedalaman. Masuk tidaknya industri ke pedalaman turut ditentukan kepala desa (Kades). Sangat disayangkan, kini banyak Kades yang tidak mau belajar tapi hanya memanfaatkan jabatnnya untuk keuntungan pribadi. Seperti korupsi dana desa, korupsi dana proyek PNPM Mandiri, korupsi BLT bahkan beras Raskin. Banyak desa baru dibentuk justru menambah masalah dengan rakyatnya. "Sebagai anggota legislatif saya akan mendesak eksekutif agar memfasilitasi semua desa untuk bisa menyusun peraturan desa. Karena itu ada training penyusunan Perdes untuk anggota BPD, Kades dan aparatusnya,"janji Toyet.

Di tengah sistem perundangan yang sangat tidak memihak masyarakat adat, Toyet melihat ada peluang dalam Perdes karena Perdes itu dalam sistem hukum Indonesia menjadi bagian dari Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota. Misalnya, jika ada Perdes tata ruang di setiap kampung, maka tidak sembarangan perusahaan bisa mengambil tanah rakyat.

Sudah barang tentu bukan hanya Perdes yang menjadi concern Toyet. Ia tahu di daerahnya sedang marak pembabatan pohon buah-buahan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan; baik yang sedang maupun yang akan masuk. Pohon durian, tengkawang dibabat tukar sepeda motor. Kebun sawit dan tambang menghancurkan lingkungan dan budaya masyarakat di sana. Banyak orang kampung tidak bertanah karena diserahkan ke perusahaan. Orang-orang akhirnya menjadi kuli di tanah tumpah darahnya sendiri, persis seperti pesan Charles Broke awal abad IX silam.

Sendi-sendi kehidupan sosial budaya masyarakat di sana juga rusak akibat pengaruh luar dan dalam diri masyarakat adat sendiri. Gotong-royong mulai langka; putus sekolah tinggi; narkoba, judi, mabuk-mabukan dan kenakalan remaja merambah ke kampung; adat istiadat mulai dilupakan dan terkadang dilecehkan oleh pemiliknya; orang tua tidak mau menjadi pemimpin kampung (semangat pengabdian, jiwa sosial yang luntur); kawin cerai hal yang biasa bak selebritis. Dan masih banyak persoalan yang dihadapi dan sedang menimpa rakyat yang diwakilinya. Tentu tidak semua rakyatnya begitu. Masih ada yang baik, masih ada yang manusia benaran.

Tentu saja sebagai wakil rakyat harus bekerja sesuai dengan kewenangan anggota legislatif, yakni pengawasan, penyusunan undang-undang/peraturan (legislasi) dan penganggaran (budgeting). "Setiap proyek pemerintah harus diawasi agar benar-benar untuk kesejahteraan rakyat banyak, khususnya kaum miskin. Perda yang dihasilkan harus mampu memperbaiki nasib rakyat. Dana-dana pemerintah harus benar-benar bermuara pada peningkatan harkat dan martabat manusia, rakyatnya,"papar Toyet dalam wawancara di ruang kerjanya yang harum dan segar.

Mampukah Toyet membantu rakyatnya keluar dari Sodom dan Gomora tersebut?***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany