Langsung ke konten utama

"Merah Putih di Dadaku; Malaysia di Perutku..."


Hampir 80 persen kebutuhan sehari-hari warga disuplai dari Malaysia


"Apapun yang terjadi, kami tetap cintai Indonesia. Darah dan jiwa kami untuk Republik ini; merah putih di dadaku. Tapi tolonglah perhatikan kesejahteraan kami warga perbatasan. Sudah 64 tahun kita merdeka, tapi kami tetap belum merdeka. Beri kami jalan, listrik, sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan dan lainnya,"ujar Temenggung Luther berapi-api.

Salah seorang kepala adat (temenggung) Dayak Iban di Kecamatan Badau ini menyampaikan keluh kesahnya kepada Tim sosialisasi hukum dan HAM di wilayah perbatasan di GOR Bulutangkis, Badau, Kabupaten Kapuas Hulu akhir Juli 2009. Tim itu terdiri dari Biro Hukum Pemprov Kalbar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalbar, Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Kalbar, Komnas HAM Perwakilan Kalbar dan Korem 121 Alambanawanawai.

Kekesalan Temenggung Luther, 65 tahun, sangat beralasan. Jika dibanding dengan negara tetangga Malaysia, fasilitas dan sarana umum yang disediakan pemerintah untuk warganya jauh lebih baik. Jalan beraspal mulus sampai ke kampung-kampung, sarana dan fasilitas kesehatan murah tersedia, pendidikan bermutu tersedia, air bersih, listrik 24 jam dan lainnya. Begitu juga kebutuhan konsumsi sehari-hari (Sembako) tersedia. Sedangkan pemerintah Indonesia? "Kami tidak pernah menikmati minyak tanah dan gas bersubsidi,"ujar Luther lagi.

Persoalan utamanya adalah jarak yang jauh serta jalan yang buruk antara Badau ke Putusibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu. Untuk mencapai Putusibau diperlukan waktu sekitar 5 jam dengan motor/mobil dari Badau. Sedangkan untuk mencapai Lubok Antu, setelah 15 menit jalan tanah merah melalui perkebunan kelapa sawit dan eks jalan illegal logging, kemudian jalannya beraspal mulus dan kurang dari sejam sudah sampai. Untuk mencapai Badau dari Pontianak melewati Entikong-Serian-Lubuk Antu bisa dalam 10 jam. Sedangkan jika dari Pontianak-Sanggau-Putusibau-Badau sekitar 22 jam. Jarak yang jauh Badau-Putusibau inilah yang menyebabkan harga barang kebutuhan sehari-hari dari Putusibau lebih mahal dibanding Lubuk Antu.

Jangan heran, hampir 80 persen kebutuhan makan minum sehari-hari sekitar 5.965 jiwa warga Kecamatan Badau dipasok dari Lubok Antu. Menurut pantauan KR dan dari informasi dari warga Badau, semua daging sapi, daging ayam, ikan laut, udang laut, sayuran, buah, susu, dan gula dibeli dari Lubuk Antu. Dari beberapa toko yang dipantau KR, produk dominan dari Indonesia di pasaran Badau hanya obat-obatan , pakaian dan rokok. "Beli di Lubok Antu lebih murah dan cepat. Tak mungkin kami beli daging sapi, ayam, ikan dari Putusibau karena akan busuk sesampai kesini,"ujar Ibu Juntera, pemilik toko di pasar Badau.

Sebagai gambaran, gula asal Malaysia di Badau Rp.6.000 perkilogram, sementara dari Putusibau Rp.8.000-,.Gas Malaysia 15 kg dijual Rp.150.000; sedangkan Gas Pertamina Rp.165.000-,.

Selain barang kebutuhan sehari-hari, mayoritas kendaraan roda dua dan roda empat berasal dari Malaysia. Namun kendaraan ini hanya beroperasi di Badau dan sekitarnya karena umumnya kendaraan ini tidak mempunyai surat menyurat. Dengan uang dua juta rupiah kita sudah bisa memiliki sepeda motor. Mobil sedan kecil (sejenis mobil kancil) bisa didapat dengan Rp.10 juta. Yang paling mencolok adalah jejeran mobil keluarga sejenis Daihatsu Taruna dan Mitsubishi Pajero di pasar Badau. Mobil-mobil ini digunakan untuk mengangkut barang dari dan ke Lubuk Antu. Jangan menyangka orang kaya yang bisa memiliki Pajero tersebut. Dengan harga Rp.25 juta Anda sudah bisa memiliki Pajero yang di pasaran resmi berharga ratusan juta rupiah.

Hampir lengkap ketergantungan warga Badau dengan Malaysia, karena listrik juga dipasok dari sana. Pemerintah RI menyetujui pembelian listrik dari Sarawak Energy Berhad (SEB) oleh PLN pada 10 Juli 2008. Kontrak pasokan listrik ditandatangani PLN Kalbar dengan Syarikat Sesco Berhad pada 25 November 2008 dan mulai 2 Maret 2009 tenaga listrik sebesar 22.809 kWh dipasok ke kota Badau. Pembelian listrik tersebut dilakukan karena penyambungan listrik lebih dekat dan lebih murah kepada SEB ketimbang PLN. Badau hanya berjarak 500 meter dari jaringan distribusi SEB. SEB menjual listrik Rp.1.000 per kWh; sedangkan PLN Rp.3.000 per kWh. Pembelian listrik dari Malaysia ini menjadi salah stau opsi pemerintah untuk mencukupi listrik di perbatasan lainnya. Tahun 2011 akan dipasok listrik untuk wilayah Badau, Entikong, Seluas, Sajingan sebesar 275 kV.

Sebaliknya, produk-produk terbaik asal Badau diijual ke Malaysia, seperti madu, ikan sungai, ayam kampung, buah-buahan, kopi, lada, kayu dan sebagainya karena harganya lebih mahal. Dan yang pasti, jual beli di perbatasan ini dilakukan secara illegal karena belum beroperasinya adanya pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) seperti di Entikong.

BTA 1970 untungkan Malaysia
Untuk mengatur perdagangan lintas batas, tahun 1970 telah diteken Border Trade Agreement (BTA) Indonesia-Malaysia. Dalam aturan ini, setiap warga perbatasan kedua Negara boleh berbelanja RM.600 tiap bulannya dan untuk kebutuhan sendiri; tidak diperjualbelikan. Namun kini terjadi banyak penyimpangan karena pemilik modal mengumpulkan KTP warga perbatasan untuk berbelanja barang dan dijual. Jika 20 orang saja, berarti bisa belanja RM.12.000 atau sekitar Rp.36.000.000-, tanpa kena pajak. Produk yang paling banyak dibeli adalah gula. Warga perbatasan diperalat membeli gula dan ditimbun di Entikong. Setelah terkumpul banyak, gula tersebut dibawa dengan truk menuju luar wilayah perbatasan, termasuk di Pontianak. Makanya banyak gula Malaysia di toko, warung di Pontianak.

BTA sendiri tidak mengatur barang apa saja yang boleh/tidak dibeli dan sampai di mana. Meski Pemerintah Indonesia sudah berkali-kali mengajak Malaysia untuk merevisi BTA tersebut dalam forum-forum Sosek Malindo, namun Malaysia tidak bergeming. Agaknya BTA 1970 itu menguntungkan pedagang Malaysia karena bisa menjual produknya ke Indonesia. Sebenarnya Malaysia-Indonesia telah sepakat membuka PPLB Badau-Lubuk Antu. Indonesia sudah membangun kantor imigrasi, bea cukai, polisi di sana tetapi secara sepihak Malaysia membatalkannya tahun 2007.

Terkait dengan perdagangan, pemerintah mengeluarkan Permendag No. 56 tahun 2008 tentang penetapan lima pelabuhan dan bandara sebagai pintu masuk lima komoditas sampai tahun 2010. Komoditas tersebut adalah alas kaki, garmen, produk elektronik, mainan, serta makanan dan minuman. Kelima komoditas ini hanya boleh masuk ke Indonesia melalui lima pelabuhan dan bandara, yakni Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Tanjung Emas, dan Pelabuhan Makasar. Sedangkan bandaranya ialah Soekarno Hatta-Jakarta, Juanda-Surabaya, Ahmad Yani-Semarang, Polonia-Medan, dan Sultan Hasanuddin-Makassar. Menurut Menperdag Marie Elka Pangestu, Pemerintah menerbitkan Permendag tersebut karena hebatnya serbuan lima produk itu ke Indonesia, baik legal maupun ilegal. Tujuannya untuk melindungi produsen dan konsumen.

Pemerintah Malaysia memprotes keputusan itu karena melanggar ketentuan WTO dan tentu secara langsung Malaysia tidak bisa lagi menjual lima produknya melalui border, seperti di Entikong. Permendag ini tidak berjalan baik. Cek saja, banyak makanan dan minuman Malaysia beredar di warung, toko, bahkan supermarket/mall di Kalimantan Barat, apalagi pada hari raya seperti Lebaran, Natal, Imlek.

Ironi warga perbatasan
Di Kalimantan Barat, ada 5 kabupaten yang berbatasan dengan Negara bagian Sarawak, Malaysia. Yakni Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dengan luas 956 km. Sedangkan divisi di Sarawak adalah Kuching, Samarahan, Sri Aman, Kapit, Miri, Limbang. Di sepanjang perbatasan ini dulunya rimba belantara. Mayoritas warga yang menghuni kawasan perbatasan ini adalah orang Dayak, baik di Malaysia maupun Indonesia. Dulu mereka hidup dengan cara berburu dan meramu, dengan hasil hutan utama adalah sarang walet dan gaharu.

Daerah perbatasan ini mulai terbuka dan warganya mengenal ekonomi uang setelah beroperasinya perusahan hak penguasahaan hutan (HPH). Kayu di perbatasan Kalbar-Sarawak ini dikuasai oleh PT Yayasan Maju Kerja (Yamaker), sebuah yayasan dibawah ABRI kala itu. Dari tahun 1967 sampai 1999 PT Yamaker diberi konsesi HPH seluas 843.500 hektar di perbatasan Kalbar-Sarawak dan 265.000 hektar di perbatasan Kaltim-Sarawak. Penguasan daerah perbatasan ini oleh tentara Indonesia juga tidak terlepas sebagai bagian dari upaya mempertahankan wilayah perbatasan Negara.

Setelah izin HPH PT Yamaker dibekukan, maka mulailah praktek pembalakan liar merajalela. Kawasan perbatasan ini digambarkan sebagai tempat bermandikan ringgit dan rupiah. Betapa tidak, ekpolitasi kayu besar-besar secara liar (illegal logging) di kawasan ini menghasilkan uang yang luar biasa banyak. Illegal logging ini melibatkan cukong Malaysia dan operator pengusaha lokal dengan pekerja masyarakat di sekitarnya. Kayu-kayu yang ditebang secara illegal di Kalbar dibawa ke wilayah Malaysia, terutama di Sirikin, Biawak, Sematan, Sematan, Tebedu, Lubuk Antu oleh perusahaan kayu Malaysia. Sepanjang tahun 2005 misalnya diperkirakan 1,2 juta meter kubik. Perusahaan ini kemudian melegalkan kayu ini dan dijual ke pasar Eropa, China, dll. Bisnis illegal ini menyebabkan Indonesia kehilangan pemasukan jutaan dollar dan kehancuran lingkungan yang parah.

Setelah illegal logging ditertibkan (dan memang kayunya sudah habis), maka lahan-lahan bekas areal HPH inilah yang dilirik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Saat ini di Kecamatan Badau sudah membuka lahan dua perusahaan dengan total areal 32.000 hektar. Dan secara umum, mega proyek pembukaan perkebunan kelapa sawit 1,8 juta hektar di sepanjang perbatasan RI-Malaysia, nampaknya sedang berjalan. Lihat saja, di kawasan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat-Sarawak saja sudah ada 31 perusahaan dengan luas areal 389.791 hektar. Lihat data selengkapnya di bawah ini.

Kabupaten/Kecamatan Jumlah Perusahaan Luas (hektar)
1.Sambas (Paloh dan Sajingan) 9 82.200
2. Bengkayang (Jagoi Babang) 4 51.336
3. Sanggau (Entikong dan Sekayam) 5 58.500
4. Sintang (Ketungau Hulu dan Ketungau Tengah) 5 80.255
5. Kapuas Hulu (Kedamin, Putusibau, Embaloh Hulu, Batang Upar, Badau, Empanang, Puring Kencana) 8 117.500
Total 31 389.791
Sumber: Dinas Perkebunan Kalbar,2009.

Jumlah luasan kebun sawit di sepanjang perbatasan lebih besar lagi jika ditambah areal kebun sawit di wilayah sekitar kecamatan yang berbatasan langsung. Seperti di Kecamatan Sekayam dan Entikong, yakni kecamatan Noyan, Kembayan dan Balai Sebut, sebagian besar wilayahnya sudah menjadi kebun sawit.

Nampaknya luas kebun sawit di sepanjang perbatasan akan terus bertambah karena di wilayah Malaysia--yakni Biawak, Serian, Kuching, Samarahan, Sri Aman, Kapit, Miri, Limbang--sebagian juga sudah menjadi perkebunan sawit. Secara bisnis kondisi ini sangat menguntungkan pengusaha Indonesia. Karena dengan membuka kebun sawit di wilayah perbatasan, mereka dengan mudah menjual tanda buah segar maupun CPO ke Malaysia.

Bagi warga setempat pun, meski masih ada pro-kontra, sepertinya perkebunan sawit menjadi alternative setelah kayu habis, sedangkan karet dan produk lainnya sangat sedikit. Seperti yang KR saksikan di Kecamatan Badau, Kapuas Hulu, areal-areal bekas tebangan kayu--umumnya illegal logging--dijadikan areal perkebunan kelapa sawit.***

Edi Petebang, redaktur Majalah KR (dimuat di Majalah KR edisi 169, September 2009)

Komentar

putraNangaKantuk mengatakan…
Pertengahan Februari 2010 lalu saya pulang kampung (Nanga Kantuk, Kec. Empanang) melalui Entikong-Serian-Lubok Antu-Badau dan langsung menuju Nanga Kantuk. Daerah Lubok Antu dan daerah Badau sama-sama ada hamparan kebun kelapa sawit yang luas. Bedanya, jalan dari Lubok Antu menuju perbatasan dengan Badau cukup mulus. Tapi jalan antara Badau - Nanga Kantuk rusak berat. Apakah kebun sawit akan menyejahterakan masyarakat kita di sana ? sementara kerusakan jalan dan jembatan di sana semakin parah!
Monyet mengatakan…
sudah setahun lebih saya berada di badau dan nanga kantuk
dan selama itu, saya sudah merasa bukan berada di Indonesi lagi..
disini semua serba malaysia seperti yang diulas di atas...

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany