
Sebanyak 132 juta atau 55% dari 240 juta rakyat Indonesia hanya memiliki rata-rata 0,25 hektar tanah; sisanya dimiliki dan dikuasai segelintir perusahaan dan Negara. Masyarakat adat terancam hilang karena tidak tegasnya pengakuan tentang tanah adat. Karena itulah, mutlak dilakukan reformasi agrarian untuk kesejahteraan rakyat banyak.
Belasan warga--mewakili ratusan warga lainnya--dari Desa Wonodadi, Kabupaten Kubu Raya "berunjuk rasa" di kantor Komnas HAM Perwakilan Kalimantan Barat di Jalan D.A Hadi akhir tahun 2008 silam. "Kami tidak tahu harus mengadu kemana lagi, Pak. Jangan sampai konflik ini menjadi berdarah-darah karena kami siap melakukan apapun untuk mempertahankan tanah kami dan tanah tumbuh diatasnya yang sudah kami tempati puluhan tahun,"papar seorang warga. Mereka minta bantuan Komnas HAM untuk mencari jalan keluar atas sengketa tanah yang berlarut-larut antara warga dengan seorang pengusaha. Baik warga maupun pengusaha tersebut sama-sama memiliki sertifikat tanah yang sah pada lahan yang sama.
Yang paling menyedihkan adalah warga relokasi eks kerusuhan 1999 yang menghuni kawasan Zakia, Sungai Asam, Panca Bakti dan lainnya di Kabupaten Kubu Raya. Nasib mereka kini sangat tidak menentu karena tanah yang mereka tempati dan diolah untuk pertanian belum memiliki sertifikat dan terancam akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit.
Kasus sertifikat tanah ganda atau bahkan triple paling banyak terjadi pada tanah pembelian lelang dan kaplingan. Itu terjadi karena pembeli tanah yang dilelang tidak pernah melihat fisik tanahnya; begitu juga dengan tanah kaplingan. Misalnya, banyak warga Siantan, Pontianak yang hanya memiliki sertifikat tanah seluas satu hektar di kawasan bukit rel, Batu Layang, Pontianak tetapi tidak pernah tahu di mana tanahnya karena pada tanah yang sama sudah terbit sertifikat lain. Jika demikian, siapa yang sah dan benar?
Kasus-kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari menumpuknya sengketa tanah di Kalimantan Barat khususnya dan Indonesia umumnya. Tumpang tindih lahan (antara sektor satu dengan lainnya), sertifikat ganda/tripel dan tanah adat adalah tiga persoalan utama terkaitan masalah pertanahan kita. Ini terjadi di seluruh kawasan Indonesia. Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, ada 7.491 kasus tanah yang mengendap dalam masa 20-50 tahun. Dan 60 persen kasus berkenaan langsung mau pun tidak langsung dengan BPN. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang bertanggung jawab?
Tentang sertifikat ganda dan tumpang tindih lahan sebabnya menurut Kepala Kanwil BPN Kalbar, Emmiel Poluan ada delapan. Pertama, tidak ada data inventaris tanah di desa atau kelurahan. Padahal pembuatan sertifikat itu berawal dari data ini. Kedua, tanah yang dikuasai tidak dijaga; bahkan belasan-puluhan tahun tidak pernah dilihat. Ketiga, tanah yang dikuasai tidak dimanfaatkan/diolah. Keempat, budaya tunjuk batas oleh pemohon sertifikat. Kelima, petugas BPN tidak profesional. Keenam, masih memakai kordinat lokal, belum internasional. Ketujuh, ketidakjujuran dari si pemohon tentang tanahnya. Petugas BPN mempercayai masyarakat. Kedelapan, terbitnya surat pemberitahuan tanah (SPT) oleh kepala desa.
Menurut Menurut Fajri Nailus Subchi, aktivis pembaruan agraria, akar dari sengkarutnya persoalan tanah di Indonesia adalah salah persepsi dalam menterjemahkan "hak menguasai negara" dalam pasal 33 UUD'45 dan UUPA No. 5/1960 yang ditafsirkan menjadi hak memiliki negara sehingga menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi tanah. "Terjadi monopoli atas tanah dan kekayaan alam oleh Negara yang mengakibatkan mayoritas rakyat Indonesia (132 juta atau 55% dari 240 juta rakyat Indonesia) hanya memiliki rata-rata 0,25 hektar tanah. Sisanya dimiliki dan dikuasai segelintir perusahaan dan Negara,"ujarnya.
Secara teknis, carut marutnya persoalan tanah di Indonesia akibat banyaknya peraturan perundangan yang saling tumpang tindih antar satu dengan lainnya. Setidaknya pada level undang-undang saja ada banyak yang berkaitan dengan tanah. Undang-undang yang paling banyak tumpang tindih di lapangan adalah antara UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dengan UU No.24/ 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 41/1996 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal dan UU No.4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara (pengganti UU 11/1967).
Tumpang tindih lahan inilah misalnya yang menyebabkan terjadinya konflik tanah di Dabong, Kubu Raya. Sejak tahun 1982 Departemen Kehutanan RI sudah menetapkan kawasan hutan bakau di Desa Dabong sebagai hutan lindung. Tetapi belakangan Departemen Kelautan dan Perikanan malah mengeluarkan izin untuk pertambakan di areal tersebut.
Kini yang marak di Kalbar adalah tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dan tambang. Karena ijin lokasi dan lahan wewenang bupati, maka banyak sekali ijin perusahaan sawit yang dikeluarkan butapi saling tumpang tindih. "Di daerah Penyelimau, Kecamatan Kapuas-Sanggau ini, aada beberapa perusahaan sawit pada areal yang sama. Sangat buruk pengaturan distribusi tanah kita,"jelas C.Djelani, tokoh masyarakat Sanggau yang juga Komite Pemantau AMDAL Sanggau kepada KR.
Gubernur Kalbar Cornelis menegaskan BPN, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan agar melakukan koordinasi secara baik mengenai penerbitan izin perkebunan di Kalbar. ”Jangan asal beres dan gampang. Jangan sampai Bupati terjebak dan masuk parit,"pinta Cornelis ketika memberi sambutan rapat koordinasi penanganan gangguan usaha perkebunan serta pengendalian kebakaran kebun dan lahan se-Kalbar (31/7).
Distribusi tanah
Pemerintah menyadari adanya carut marut dalam pengelolaan dan ketidakadilan distribusi tanah di Indonesia, tetapi bingung mau mulai dari mana. Untuk distribusi tanah, misalnya dibuat "proyek nasional" (Prona) sertifikat tanah (kini diganti dengan nama proyek ajudikasi) rakyat untuk warga pedesaan. Celakanya, proyek ajudikasi ini pesanan Bank Dunia (pinjaman dari Bang Dunia) dan motifnya adalah komersialisasi tanah. Proyek ini selama 2004-2009 menghabiskan dana pinjaman 65,6 juta dolar AS (Rp.6,5 triliun). Setelah tanah-tanah rakyat diberi sertifikat, maka dengan mudah perusahaan atau negara membelinya; beda jika tanah dikuasai secara koletif seperti halnya tanah-tanah masyarakat adat. Ini justru menjebab dan memiskinkan rakyat.
Menurut Kepala BPN RI Joyo Winoto, di Indonesia 45% tanah sudah bersertifikat. Kalau menggunakan cara-cara biasa, bisa 100 tahun untuk menyelesaikannya. "Karena itu dibuatlah program Prona, Ajudikasi, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dan mobil Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertipikasi Tanah) diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu 18 tahun,"ujarnya ketika penyerahan 14.657 persil sertifikat tanah gratis kepada warga Kalbar di Bukit Suharto, Mandor April silam.
Program lain untuk distribusi tanah bagi rakyat dilakukan melalui program transmigrasi, pola perkebunan inti rakyat (PIR perkebunan, transmigrasi, peternakan, pertambakan). Di sektor kehutanan ada system Tumpang Sari, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), PMDH, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan lainnya.
Ada juga "inisiatif" pemerintah daerah seperti program redistribusi tanah, HTI pola inti-plasma, akses masyarakat terhadap hutan, Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI), Kota Mandiri Terpadu dan sebaginya.
Reforma agrarian menurut Kakanwil BPN Kalbar Emmiel Poluan sudah, sedang dan akan teruas dilakukan di Indonesia dan Kalbar khususnya. Namun menurut KPA, pemerintahan tidak menunjukkan itikad menjalankan pembaruan agraria yang sejati. "Kami mengusulkan agar dibentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang sifatnya ad hoc atau khusus untuk kurun waktu tertentu. BORA yang musti dipimpin langsung Presiden, lanjutnya, di dalamnya terdiri dari figur yang memiliki pengalaman, dan keberpihakan dan kapasitas serta memiliki jaringan kuat untuk menjalankan pembaruan agraria,"ujar Usep Setiawan dari KPA dalam siaran persnya. Menurut KPA, keliru jika Pemerintahan SBY menganggap diri telah menjalankan program pertanahan untuk rakyat, apalagi menjalankan reforma agraria (pembaruan agraria).
Solusi
Untuk memperkecil kesemrawutan pengelolaan tanah di Indonesia oleh BPN, maka sudah saatnya BPN melibatkan instansi lain. Misalnya jika di daerah, libatkanlah pemerintah daerahnya, jangan mentang-mentang instansi vertikal. Pemkot Singkawang misalnya berharap BPN ada sinkronisasi dengan Pemkot, minimal kalau ada orang mengajukan permohonan hak tanah mereka harus konsultasi, apakah sesuai tidak dengan RTRW. "Jangan main berikan, jangan bergerak sendiri. Kadang-kadang money talk; uang yang berbicara. Ada uang, ada barang. Kami tidak bisa intervensi mereka (BPN-red.),"ujar Walikota Singkawang Hasan Karman kepada Hendrikus Adam dari KR di ruang kerjanya.
Menurut Fajri Nailus Subchi, aktivis pembaruan agraria, solusi terbaik dari sengkarutnya maslaha pertanahan di Indonesia adalah melakukan reformasi agraria untuk penguasa tanah (pengusaha dan Negara). Hasil dari reforma agraria untuk (1) kaum tani, akan mendapatkan hasil redistribusi lahan; (2) masyarakat adat, mendapatkan hasil pengesahan wilayah teritorialnya; (3) pekerja pedesaan, hasil dari desa yang dinamis roda sosial ekonominya; (4). kaum perempuan mendapatkan hasil dari runtuhnya basis sosial budaya patriarki.
Sebagai sektor masyarakat yang paling berkepentingan maka petani, masyarakat adat dan pekerja pedesaan harus menjadi garda depan dan mempunyai wawasan mumpuni tentang politik agraria. Bersatunya petani, masyarakat adat dan pekerja ke dalam satu organisasi adalah pilihan yang tidak bisa ditawar. Kampanye untuk memperluas gagasan agar menjadi wacana umum di masyarakat maupun cerdik pandai harus terus dilakukan. Mempertahankan tanah dan kekayaan alam dari tipu muslihat dan perampasan yang dilakukan oleh tuan tanah besar tipe baru. Politik adu domba menjadi jalan halal (sah) buat mereka. Maka persatuan rakyat terwujud didalam organisasi massa mutlak adanya.***
Edi v.Petebang, Hendrikus Adam, Yulius Higaang
(dimuat dalam Majalah KR Edisi 169, September 2009)
Komentar