Langsung ke konten utama

MELINDUNGI SAKSI DAN KORBAN UNTUK KEADILAN

Oleh Edi v. Petebang, anggota Komnas HAM Perwakilan Kalbar

Beberapa waktu lalu di Pontianak dilaksanakan diskusi terfokus tentang prosedur operasi standar pemberian bantuan kepada korban (19/5). Diskusi ini diikuti peserta dari Komnas HAM, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Dinas Kesehatan, psikolog, LSM, advokat, Dinas Sosial,dan korban. Tuan rumah diskusi ini adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seharusnya diskusi ini terfokus pada prosedur operasi standar pemberian bantuan kepada korban. Namun karena tema perlindungan saksi dan korban ini masih relatif asing, maka banyak pertanyaan seputar eksistensi dan fungsi lembaga ini. Di negara yang hukum, HAM dan demokrasinya sudah benar-benar ditegakkan, LPSK merupakan salah satu instrumen negara yang sangat penting. Namun di Indonesia lembaga ini baru seumur jagung. Padahal jika lembaga ini sudah efektif, banyak kasus pindana yang bisa diungkap, misalnya kasus (dugaan) perkosaan dan pembunuhan dalam Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Mungkin banyak diantara kita yang masih awam dengan LPSK. LPSK merupakan lembaga negara mandiri (setara Komnas HAM, KPK, KPI, Komnas Anak, dll), yang berkedudukan di ibukota negara dan bisa membuka perwakilan di daerah. LPSK dibentuk sebagai mandat dari UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) dan PP Nomor 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada saksi dan korban. Anggota/komisioner LPSK sebanyak 7 orang untuk masa jabatan 5 tahun. Untuk periode pertama anggotanya dipilih oleh presiden. Periode berikutnya diseleksi tim seleksi dan 14 orang dipilih presiden. Presiden mengusulkan kepada DPR untuk dipilih dan disetujui untuk selnjutnya ditetapkan presiden (pasal 19 sampai 22). Setelah sempat terkatung-katung, LPSK baru mulai aktif tahun 2009.

Ada dua dasar dibuatnya UU ini; pertama, dalam peradilan pidana keterangan saksi dan atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana merupakan salah satu alat bukti yang kuat. Kedua, aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya ancaman fisik dan psikis dari pihak tertentu.

Tugas utama lembaga ini adalah (hanya) memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus pidana (pasal 12). Pertanyaan mendasarnya adalah: saksi dan korban seperti apa; bagaimana perlindungan dan bantuan diberikan? Saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan atau alamai sendiri" (pasal 1 ayat 1).

Korban adalah "seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana" (pasal 1 ayat 2). Perlindungan adalah "segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini" (pasal 1 ayat 6).

Undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan (pasal 2). Tentu saja agar saksi dan atau korban mau memberikan kesaksian, maka mereka diberi hak-hak istimewa. Sesuai pasal 5, ada 13 hak saksi dan atau korban jika memberikan kesaksiannya. Antara lain: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya dari ancaman berkenaan dengan kesaksian yang diberikannya, mendapat identitas baru, dapat tempat kediaman baru, memperoleh bantuan biaya hidup sampai batas waktu perlindngan berakhir. Bagi saksi/korban kasus HAM berat, selain mendapat 13 hak seperti diatur dalam pasal 5, ditambah mendapat bantuan media dan bantuan rehabilitasi psiko sosial (pasal 6). Korban --melalui LPSK--berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi (kasus HAM berat) dan restitusi (ganti rugi) dalam tindak pidana.

UU ini memberikan perlindungan istimewa bagi saksi dan/korban dalam memberikan kesaksiannya. Atas persetujuan hakim, saksi dan atau korban dalam ancaman besar dapat bersaksi tanpa hadir di persidangan melalui tertulis, atau sarana elektronik (pasal 9). Saksi dan atau korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya (pasal 10).

Menurut pasal 28 UU 13/2006, alasan perlindungan dan bantuan yang diberikan LPSK adalah (a).sifat pentingnya keterangan saksi dan atau korban (b). tingkat ancaman yang membahayakan (c).hasil analisis medis/psikolog (d).rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan. Dalam UU ini juga diatur bagaimana mekanisme pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan/korban (pasal 29 sampai 36). Intinya saksi dan atau korban, baik atas inisiatif sendiri maupun permintaan pejabat berwenang, mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK. LPSK memeriksa apakah layak atau tidak. Jika layak, maka dibuat perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban antara pelapor dan LPSK.

UU ini juga sudah menentukan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan tindakan terhadap saksi dan/korban. Sanksinya berupa penjara paling rendah satu tahun atau denda Rp.40 juta dan paling tinggi seumur hidup atau denda Rp.500 juta (pasal 37-41). Misalnya, "stiap orang yang memaksakan kehendaknya

Kelemahan-hambatan
UU PSK mempunyai sejumlah keterbatasan dalam implementasinya. Salah satu yang paling mengganjal adalah pada kasus saksi dan atau korban pelanggaran HAM berat. Dalam melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM berat muncul masalah baru karena salah satu syarat saksi dan korban baru bisa mendapat perlindungan dan bantuan dari LPSK jika sudah ada rekomendasi resmi dari Komnas HAM bahwa saksi dan korban itu adalah saksi dan korban untuk kasus pelanggaran HAM berat (pasal 4 huruf e PP No.44/2008). Padalah untuk sampai pada kesimpulan ada tidaknya pelanggaran HAM berat, Komnas HAM harus melakukan penyelidikan (sesuai amanat UU 39/1999 tentang HAM) dan penyidikan (mandat UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM). Tentu ini butuh waktu lama. Sambil menunggu ini, bisa-bisa korban/saksi sudah meninggal atau banyak hal bisa terjadi.

Pada sisi lain, di internal Komnas HAM sendiri ada permasalahan karena tidak semua provinsi mempunyai perwakilan Komnas HAM. Sampai tahun 2009, dari 33 Provinsi di Indonesia yang sudah mempunyai Komnas HAM Perwakilan adalah Provinsi Kalbar, Sumbar dan Papua. Masih 30 provinsi yang belum ada. Bagaimana Negara melalaui LPSK melindungi saksi dan atau korban jika tidak ada rekomendasi dari Komnas HAM? Tentu ini perlu dibuat suatu terobosan agar UU ini tidak menjadi sia-sia bak macan ompong.

Kelemahan lain adalah prosedur administratif yang lumayan rumit serta jangka waktu yang cukup panjang dari proses permintaan perlindungan sampai disetujuinya oleh LPSK. Terlepas dari bermacam kelemahan dan hambatan yang akan diperoleh, kita semua patut memberikan apresiasi atas lahirnya UU 13/2006 dan LPSK. Dalam perjalanannya, pastilah akan dilakukan penyempurnaan di sana-sini.

Kapan korban dan saksi mulai bisa memintan perlindungan dan bantuan? Dalam perbincangan dengan penulis di sela-sela diskusi terfokus tentang prosedur operasi standar pemberian bantuan kepada korban di Pontianak (19/5), Wakil Ketua LPSK Kombespol I Ketut Sudiharsa mengakui bahwa lembaganya mulai aktif sejak November 2008. Tahun 2009 ini lembaganya fokus pada penataan internal kelembagaan dan pelan-pelan melakukan aktivitas pokok, yakni perlindungan saksi dan korban. "Lembaga ini baru benar-benar efektif menjalankan fungsinya mulai tahun 2010,"jelasnya.

Bagi pembaca yang ingin tahu lebih jelas tentang LPSK dapat menghubungi alamat Gedung Perintis Kemerdekaan Jaln Proklamasi 56 Jakarta 10320 Telepon 021-31930586; faks 021-31927881. Dengan hak-hak istimewa bagi saksi dan korban seperti diatur dalam UU ini apakah Anda, para saksid an atau korban perkara pidana berani bersaksi? Semoga demikian, demi makin tegaknya keadilan di Republik ini.

*artikel ini dimuat di Harian AP Post, Selasa 25 Mei 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany