Edi v.Petebang, pemerhati tradisi lisan
Sebagai pribadi dan sebagai salah satu anggota masyarakat adat yang eksistensinya ditentukan tradisi lisan, saya mengucapkan selamat kepada Prof.Dr.Chairil Effendi yang memberikan perhatian besar pada tradisi lisan sehingga memperoleh gelar bergengsi sebagai professor sastra lisan pertama dan satu-satunya di Kalimantan Barat. Proficiat Prof.
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, seperti teknologi, pengetahuan, politik, seni, budaya, filsafat dan sebagainya. Bagi masyarakat adat, misalnya masyarakat adat Dayak, seluruh pengetahuan, seluruh informasi tentang masyarakat adat diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Meski pun kini sudah mulai banyak dokumentasi tertulis (dan gambar) tentang masyarakat adat, tetapi dokumentasi lisan ini mempunyai nilai, makna yang sangat tinggi yang tidak bisa digantikan dengan metode apapun.
Bicara mengenai sastra lisan, tradisi lisan, tidak bisa dipisahkan dengan bahasa. Dalam konteks bahasa ini, maka bahasa ibu atau bahasa daerah menempati peran sentral. Bahasa daerahlah medium mempertahankan, merevitalisasi tradisi lisan. Jika bahasa daerah hilang, sama artinya tradisi lisan punah. Bahasa ibu sama dengan ibu bahasa. Sehingga agak aneh jika ada sekelompok masyarakat di kota Pontianak ini yang berdemonstrasi melarang pemakaian salah satu bahasa daerah.
Mengenai bahasa ibu ini, saya baru tersadar, ternyata telah turut--secara tidak disengja--pelan tapi pasti menghilangkan bahasa ibu saya dan isteri. Meski kami suami-isteri dari etnis yang sama; tapi bahasa kami beda sehingga sejak lahir ketiga anak kami diajari bahasa Indonesia. Mereka sama sekali tidak tahu bahasa kami lagi, tidak ada bahasa ibu lagi. Bahasa daerahnya ya bahasa Indonesia. Saya duga banyak diantara kita yang secara tidak sengaja mematikan bahasa daerah. Ini terjadi jika ayah-ibunya berasal dari penutur bahasa yang berbeda. Belum lagi tuntutan globalisasi, anak-anak diajari bahasa Inggris, Mandarin atau lainnya ketimbang bahasa Teocu, Hakka, Melayu, Dayak atau Madura misalnya.
Bahasa-bahasa daerah atau bahasa ibu di dunia ini, sebagai elemen utama tradisi lisan, dalam ambang kepunahan. Menurut data UNESCO, badan PBB yang mengurusi budaya, dari 6.900 bahasa di dunia, 2.500 diantaranya berada dalam bahaya kepunahan. Tahun 2001 ada 900 bahasa yang terancam hilang. Tahun 2008, ada 199 bahasa di dunia yang dikuasai kurang dari selusin orang, antara lain bahasa Karaim yang hanya digunakan oleh 6 orang di Ukraina, dan bahasa Wichita hanya digunakan 10 orang di negara bagian AS, Oklahoma. Di Indonesia, bahasa Lengilu hanya digunakan oleh 4 orang. India berada di peringkat atas jumlah total bahasa yang terancam punah (196 bahasa), disusul Amerika Serikat 192 dan Indonesia di peringkat ketiga (147 bahasa).
Dr. Gufran Ali Ibrahim, pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun Ternate, dalam Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta tahun 2008 rata-rata jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanya berkisar 6.000 orang atau lebih, hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebih; dan hanya separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang. Kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Sebagian besar dari bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnis minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki begitu beragam bahasa dan budaya.
Menurut Gufran, ada dua penyebab utama kepunahan bahasa daerah, termasuk didalamnya sastra lisan. Pertama, para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya di rumah. Kedua, pilihan sebagian masyarakat tidak memakai bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Indonesia di satu sisi sebagai perekat bangsa, namun disisi lain sebagai salah satu sumber penghancur bahasa daerah.
Faktor berikutnya yang memusnahkan bahasa ibu (dan sastra lisan) adalah "pembangunan". Faktor ini yang menjadi konsen Prof. Chairil. "Praktik pembangunan tidak berkelanjutan yang selama ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan sastra lisan dan kearifan lokal di sejumlah wilayah di Indonesia. Sastra lisan semakin tergerus karena habitat kebudayaannya banyak yang rusak. Cerita-cerita tentang binatang atau kearifan di hutan misalnya, menjadi tidak relevan bagi anak cucu dan sulit dipahami mereka karena hutan banyak yang rusak ditebangi," kata Chairil.
Menurutnya, saat habitat kebudayaan itu rusak maka akibat yang paling serius adalah hilangnya identitas budaya. Bukti dari semakin tergerus sastra lisan, salah satunya adalah semakin sedikitnya penutur sastra lisan atau pedande di Sambas.
Hal memprihatinkan lainnya menurut Prof. Chairil adalah sangat minimnya dokumentasi tradisi/sastra lisan. Ia memperkirakan dari ribuan tradisi maupun sastra lisan yang ada di Kalbar, hanya separuh yang sudah didokumentasikan. Ia sendiri mendokumentasikan sekitar 300-an buah. "Banyak data tradisi dan sastra lisan Kalbar yang dihimpun di Institut Dayakologi musnah sewaktu gedung Institut tersebut terbakar dua tahun lalu," kata dia.
Selaku Rektor Untan ia mendorong mahasiswa untuk meneliti tentang tradisi lisan yang ada di Kalbar. Ia menambahkan, sastra lisan murni kini semakin tergerus oleh perkembangan jaman. "Mungkin anak cucu menganggap yang diceritakan sudah tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Misalnya tentang binatang karena hutan habis binatang pun sudah tidak ada lagi," kata Chairil Effendy.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar tradisi lisan ini tidak hilang; agar bahasa ibu tidak punah? Pertama, mulailah ajarkan kata-kata penting dalam bahasa daerah dari ibu atau ayah atau keduanya kepada anak kita. Kedua, ajaklah anak-anak ikut kegiatan budaya, ritual dan sejenisnya. Ketiga, ajaklah anak-anak dalam kegiatan paguyuban yang memakai bahasa ibu. Keempat, ajaklah ke kampung. Kelima, carilah kaset, CD, buku berbahasa daerah. Ada keuntungan ganda jika anak diajak ikut kegiatan-kegiatan diatas. Pertama, mereka belajar tentang esensi dari kegiatan tersebut dan kedua tentu belajar bahasa. Menarik juga kalau ada gerakan Cinta Bahasa Ibu--tentu bukan saingan gerakan cinta bahasa Indonesia seperti yang dikumandangkan tiap peringatan hari sumpah Pemuda 28 Mei. Dengan gerakan cinta bahasa ibu ini mungkin akan memperlambat kepunahan bahasa-bahasa ibu.***
(artikel ini dimuat di Harian Borneo Tribun, Minggu 17 Mei 2009)
Sebagai pribadi dan sebagai salah satu anggota masyarakat adat yang eksistensinya ditentukan tradisi lisan, saya mengucapkan selamat kepada Prof.Dr.Chairil Effendi yang memberikan perhatian besar pada tradisi lisan sehingga memperoleh gelar bergengsi sebagai professor sastra lisan pertama dan satu-satunya di Kalimantan Barat. Proficiat Prof.
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, seperti teknologi, pengetahuan, politik, seni, budaya, filsafat dan sebagainya. Bagi masyarakat adat, misalnya masyarakat adat Dayak, seluruh pengetahuan, seluruh informasi tentang masyarakat adat diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Meski pun kini sudah mulai banyak dokumentasi tertulis (dan gambar) tentang masyarakat adat, tetapi dokumentasi lisan ini mempunyai nilai, makna yang sangat tinggi yang tidak bisa digantikan dengan metode apapun.
Bicara mengenai sastra lisan, tradisi lisan, tidak bisa dipisahkan dengan bahasa. Dalam konteks bahasa ini, maka bahasa ibu atau bahasa daerah menempati peran sentral. Bahasa daerahlah medium mempertahankan, merevitalisasi tradisi lisan. Jika bahasa daerah hilang, sama artinya tradisi lisan punah. Bahasa ibu sama dengan ibu bahasa. Sehingga agak aneh jika ada sekelompok masyarakat di kota Pontianak ini yang berdemonstrasi melarang pemakaian salah satu bahasa daerah.
Mengenai bahasa ibu ini, saya baru tersadar, ternyata telah turut--secara tidak disengja--pelan tapi pasti menghilangkan bahasa ibu saya dan isteri. Meski kami suami-isteri dari etnis yang sama; tapi bahasa kami beda sehingga sejak lahir ketiga anak kami diajari bahasa Indonesia. Mereka sama sekali tidak tahu bahasa kami lagi, tidak ada bahasa ibu lagi. Bahasa daerahnya ya bahasa Indonesia. Saya duga banyak diantara kita yang secara tidak sengaja mematikan bahasa daerah. Ini terjadi jika ayah-ibunya berasal dari penutur bahasa yang berbeda. Belum lagi tuntutan globalisasi, anak-anak diajari bahasa Inggris, Mandarin atau lainnya ketimbang bahasa Teocu, Hakka, Melayu, Dayak atau Madura misalnya.
Bahasa-bahasa daerah atau bahasa ibu di dunia ini, sebagai elemen utama tradisi lisan, dalam ambang kepunahan. Menurut data UNESCO, badan PBB yang mengurusi budaya, dari 6.900 bahasa di dunia, 2.500 diantaranya berada dalam bahaya kepunahan. Tahun 2001 ada 900 bahasa yang terancam hilang. Tahun 2008, ada 199 bahasa di dunia yang dikuasai kurang dari selusin orang, antara lain bahasa Karaim yang hanya digunakan oleh 6 orang di Ukraina, dan bahasa Wichita hanya digunakan 10 orang di negara bagian AS, Oklahoma. Di Indonesia, bahasa Lengilu hanya digunakan oleh 4 orang. India berada di peringkat atas jumlah total bahasa yang terancam punah (196 bahasa), disusul Amerika Serikat 192 dan Indonesia di peringkat ketiga (147 bahasa).
Dr. Gufran Ali Ibrahim, pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun Ternate, dalam Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta tahun 2008 rata-rata jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanya berkisar 6.000 orang atau lebih, hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebih; dan hanya separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang. Kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Sebagian besar dari bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnis minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki begitu beragam bahasa dan budaya.
Menurut Gufran, ada dua penyebab utama kepunahan bahasa daerah, termasuk didalamnya sastra lisan. Pertama, para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya di rumah. Kedua, pilihan sebagian masyarakat tidak memakai bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Indonesia di satu sisi sebagai perekat bangsa, namun disisi lain sebagai salah satu sumber penghancur bahasa daerah.
Faktor berikutnya yang memusnahkan bahasa ibu (dan sastra lisan) adalah "pembangunan". Faktor ini yang menjadi konsen Prof. Chairil. "Praktik pembangunan tidak berkelanjutan yang selama ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan sastra lisan dan kearifan lokal di sejumlah wilayah di Indonesia. Sastra lisan semakin tergerus karena habitat kebudayaannya banyak yang rusak. Cerita-cerita tentang binatang atau kearifan di hutan misalnya, menjadi tidak relevan bagi anak cucu dan sulit dipahami mereka karena hutan banyak yang rusak ditebangi," kata Chairil.
Menurutnya, saat habitat kebudayaan itu rusak maka akibat yang paling serius adalah hilangnya identitas budaya. Bukti dari semakin tergerus sastra lisan, salah satunya adalah semakin sedikitnya penutur sastra lisan atau pedande di Sambas.
Hal memprihatinkan lainnya menurut Prof. Chairil adalah sangat minimnya dokumentasi tradisi/sastra lisan. Ia memperkirakan dari ribuan tradisi maupun sastra lisan yang ada di Kalbar, hanya separuh yang sudah didokumentasikan. Ia sendiri mendokumentasikan sekitar 300-an buah. "Banyak data tradisi dan sastra lisan Kalbar yang dihimpun di Institut Dayakologi musnah sewaktu gedung Institut tersebut terbakar dua tahun lalu," kata dia.
Selaku Rektor Untan ia mendorong mahasiswa untuk meneliti tentang tradisi lisan yang ada di Kalbar. Ia menambahkan, sastra lisan murni kini semakin tergerus oleh perkembangan jaman. "Mungkin anak cucu menganggap yang diceritakan sudah tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Misalnya tentang binatang karena hutan habis binatang pun sudah tidak ada lagi," kata Chairil Effendy.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar tradisi lisan ini tidak hilang; agar bahasa ibu tidak punah? Pertama, mulailah ajarkan kata-kata penting dalam bahasa daerah dari ibu atau ayah atau keduanya kepada anak kita. Kedua, ajaklah anak-anak ikut kegiatan budaya, ritual dan sejenisnya. Ketiga, ajaklah anak-anak dalam kegiatan paguyuban yang memakai bahasa ibu. Keempat, ajaklah ke kampung. Kelima, carilah kaset, CD, buku berbahasa daerah. Ada keuntungan ganda jika anak diajak ikut kegiatan-kegiatan diatas. Pertama, mereka belajar tentang esensi dari kegiatan tersebut dan kedua tentu belajar bahasa. Menarik juga kalau ada gerakan Cinta Bahasa Ibu--tentu bukan saingan gerakan cinta bahasa Indonesia seperti yang dikumandangkan tiap peringatan hari sumpah Pemuda 28 Mei. Dengan gerakan cinta bahasa ibu ini mungkin akan memperlambat kepunahan bahasa-bahasa ibu.***
(artikel ini dimuat di Harian Borneo Tribun, Minggu 17 Mei 2009)
Komentar