Langsung ke konten utama

TOYET MENJADI CALEG

TOYET MENJADI CALEG

Oleh Edi v. Petebang

Hari-hari ini pemandangan di berbagai sudut kota di Pontianak (dan kota, desa lainnya di Indonesia) sangat meriah. Sejak November 2008 lalu—diperkirakan makin ramai sampai puncaknya bulan April 2009--di terminal, pelabuhan, halte, jembatan, perempatan jalan, pinggir jalan, di atas jalan (digantung maksudnya), bis umum, perahu motor, kapal, oplet, mobil pribadi sepeda motor, dan tempat-tempat atau fasilitas umum disesaki dengan poster, stiker, baliho, banner, spanduk para calon anggota legislatif atau yang familiar disingkat caleg. Ada caleg DPD, DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.

Belum lagi yang dibagi-bagikan kepada pengendara di jalan atau datang ke rumah-rumah; atau kalendernya sekedar dilemparkan ke halaman rumah warga. Bahkan ada yang memajang posterya di batang pohon. Ada juga yang mengecat mobilnya dengan foto, partai dan nomor urutnya. Ada yang mengecat kios, rumah, pondok atau apapun banguan dengan warna parpol tertentu disertai nomor dan nama caleg. Iseng-iseng saya tanya ke pemilik warung yang dicat, ternyata selain dicat mereka juga diberi “uang terima kasih”. Uang terima kasih ini juga harus diberikan kepada pemilik tanah yang dipakai memajang baliho ataupun poster caleg (kecuali caleg teman pemilih tanah, maka gratis). Tarifnya beda-beda; mulai dari lima puluh ribu sampai dua ratus ribu; tergantung strategis atau tidaknya lokasi dan besar-kecilnya areal yang dipakai.

Ada caleg perempuan yang merasa dirinya cantik (mungkin), memajang fotonya dengan rambut tergerai seperti sehabis mandi dan bibir yang bergincu merah merekah. Ada caleg yang menuliskan di balihonya “Calek”--entah apa yang dimaksudnya. Ada caleg DPRD Kota Pontianak yang menulis di baliho/posternya “Caleg DPR-RI Dapil Pontianak Utara”.

Ada caleg yang nyeleneh di Jakarta. Untuk menarik perhatian, Eggy Masadiah, celag DPR-RI dari partai Golkar membuat poster yang menggambarkan dirinya seperti Batman. Di Gorontalo lain lagi. Rafflyn Lamusu yang merupakan caleg PPRN untuk kotamadia Gorontalo memajang fotonya dengan latar belakang Cynthia Lamusu, anaknya yang penyanyi itu.

Gaya berpose caleg pun menarik diamati. Ada yang pasang muka sangar: muka seram, berkumis tebal dan mengepalkan tangan. Ada yang tersenyum manis; senyum dikulum, senyum terpaksa, senyum simpul. Ada yang biasa-biasanya saja; pose nampak kiri, nampak kanan, nampak persis depan. Ada pose sebahu, sedada dan sepinggang. Di beberapa tempat kita bisa lihat caleg berpose dengan ulama atau tokoh nasional lainya. Di jalan Gusti Situt Mahmud Siantan ada baliho caleg dengan latar belakang Soeharto, Soekarno, mantan presiden RI. Ada caleg dengan latarbelakang capres dari parpolnya.

Caleg-caleg juga ramai-ramai promosi secara sendiri ataupun bersama-sama. Ada partai/caleg yang memajang foto seluruh calegnya: pusat, provinsi, kabupaten/kota. Ada pula yang yang memajang daftar caleg di daerah pemilihan (Dapil) tertentu. Belum lagi yang beriklan di radio, televisi, koran, majalah dan aneka media massa lainnya. Momen hari raya dimanfaatkan untuk menyapa sekalian sosialisasi diri. Pokoknya para caleg berlomba-lomba memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. Maklumlah, banyak diantara caleg ini yang belum dikenal publik luas karena latar belakangnya seperti pedagang keliling, penjahit, guru, ibu rumah tangga, bapak rumah tangga, preman dan sebagainya.

Ada sebagian orang muak melihat ramainya atribut kampanye tersebut; sebagian orang lagi menikmatinya karena hanya terjadi lima tahun sekali.

Cara “menjual diri” yang paling berbeda dilakukan oleh caleg bernama Toyet. Toyet berasal dari partai yang tidak terkenal, tetapi bukan partai yang didirikan oleh orang-orang yang dituduh menculik, membunuh, menindas atau menyengsarakan rakyatnya sendiri ketika berkuasa. Toyet adalah seorang tokoh kampung yang dikenal jujur, suka menolong, banyak ilmu dan berakhlak mulia. Meski demikian, ia sangat humoris dan kadang-kadang kelihatan konyol, persis Toyet, tokoh dalam dongeng masyarakat Dayak Pesaguan di Ketapang. Ia dikenal luas karena kebaikannya dan humornya sehingga di mana ada dia suasana selalu ceria. Ia tidak menghamburkan uangnya dengan mencetak poster, stiker, baliho, spanduk, kaos, bendera dan lainnya.

Sejak Lebaran, Natal, Imlek lalu ia sibuk berkeliling dari kampung ke kampung mendatangi penduduk dari rumah ke rumah, mengajak penduduk berdiskusi tentang permasalahan mereka dan mencari alternatif penyelesaiannya. “Rakyat sekarang lebih pintar dari politisi; mereka tidak mau dibohongi lagi. Pada akhirnya mereka akan memilih orang yang benar-benar mereka kenal dan berjasa terhadap mereka,”ujar Toyet dalam wawancara imajiner dengan saya soal strategi kampanyenya itu. Toyet menyadari dan menerapkan filosofi “The Brand Is You” dalam ilmu marketing.

Ternyata pernyataan Toyet itu ternyata sama dengan rahasia kemenangan Muda Mahendrawan dan Andreas Muhrotin dalam pemilihan bupati Kubu Raya. “Kemenangan ini hasil dari proses panjang saya bekerja bersama rakyat di Kubu Raya,”papar Muda kepada saya, Elias Ngiuk dan Uyub dari KR dalam satu wawancara khusus di kediamannya.

Toyet sengaja tidak mau keluar duit, apalagi sampai minjam karena ia yakin perbuatannya selama ini untuk masyarakat pemilihnya dan ia akan dapat ganjarannya. Apalagi ia takut kalau sampai habisa-habisan bisa gila. Toyet tidak mau seperti calon Bupati Ponorogo-Jawa Timur, Yuli Nursanto yang ditayangkan di televisi dan media massa karena gila lantaran kalah dalam pemilihan bupati yang menghabiskan dananya Rp.3 miliar.

Kita lihat saja, mana strategi menjual diri yang efektif: seperti para caleg di Indonesia atau seperti yang dilakukan Toyet?


*Dimuat di majalah KR edisi 163, Maret 2009.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany